Fenomena Lembaga Pemasyarakatan, Rumah Tahanan atau biasa disebut dengan istilah "PENJARA" seakan menjadi rumah hantu yang sangat mencekam bagi orang yang baru pertama kali menghuni di dalamnya, demikian pengalaman yang pernah dialami penulis ketika pertama tinggal di penjara.
Bila kita melihat dan merasakan kehidupan dibalik terali besi maka kita akan dapat melihat dengan jelas tentang Fenomena dagelan hukum di Indonesia, betapa tidak kasus-kasus kecil seperti mencuri permen, telur, semangka, ayam dimasukkan penjara sementara mereka yang korupsi uang negara miliaran rupiah dibiarkan mencari mangsa berikutnya. Ini bukannya tanpa bukti orang mencuri ayam di vonis 6 bulan sementara yang korupsi hanya di vonis 12 bulan (contoh kecil lihat kasus di demak tahun 2006).
Wajar saja jika kemudian Lembaga Pemasyarakatan, Rumah Tahanan atau biasa disebut Penjara akhir-akhir ini mengalami kebanyakan penghuniover leavinglantaran karena kasus-kasus kecil asal di tangani oleh pihak penyidik tanpa memperhatikan metode mediasi yang baik.
Karena kebanyakan penghuni inilah yang kemudian menjadikan pola manajemen pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakat WBP (istilah narapidana didalam lapas) menjadi tak terkendali dengan baik. ujung-ujungnya timbul pemerasan, kekerasan, pencabulan, perjudian, pesta narkoba dan miras. pemandangan ini tidak bisa dibantah oleh siapapun yang pernah tinggal di lapas karena kejadian tersebut bukannya tanpa kontrol oleh sipir akan tetapi sebaliknya justru di kordinasi dengan rapi antara sipir dan kepala kamar.
Bagi simiskin yang masuk penjara tentu menjadi beban yang sangat berat karena mereka akan menjadi korban pemerasan bagi kepala kamar, jika simiskin pada saat di penjara dibesuk saudaranya tidak bisa memberi setoran uang pada kepala kamar maka si miskin atas perintah kepala kamar dihajar ramai-ramai oleh para penghuni lainnya, belum lagi si miskin disuruh mencuci baju, memijit para penghuni lain yang lebih kuat dari si miskin.
Buat apa setoran uang tersebut, ternyata uang tersebut dibagi dengan beberapa sipir, untuk beli minuman keras, narkoba, judi dan jika terkumpul banyak uang mendatangkan group dangdut untuk pesta bersama para sipir.
Yang miskin tak berani melawan kecuali mereka benar-benar berani melawan dengan kekuatan fisik yang memastikan dirinya untuk menang karena mereka tak punya uang untuk membeli jasa keamanan di dalam penjara.
Bagi yang punya uang tentu tinggal di penjara tidak menjadi masalah, karena mereka bisa membeli keamanan, tempat tidur yang nyaman maupun fasilitas catering bahkan untuk kebutuhan biologispun tentu hal ini tidak jadi soal (seperti pengakuan Arswendo Atmowiloto dalam TV One dalam dialog bersama Menkumham Selasa : 5 Januari 2010). Bahkan untuk urusan remisi maupun masalah Pembebasan Bersyaratpun bisa di beli.
Jangan Omong Kosong
Dari dulu Pemerintah melalui DEPKUMHAM selalu koar-koar akan melakukan pembenahan manajemen di Lembaga Pemasyarakatan namun kenyataannya kehidupan di LAPAS masih meninggalkan banyak dilemma seperti Terabaikannya pemenuhan hak-hak dasar warga binaan pemasyarakatan (WBP), baik yang tercantum dalam UU No. 12 tahun 1995, yang didalamnya juga mencamtumkan sepuluh prinsip pemasyarakatan, kemudian adanya beberapa hukum internasional seperti Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik, Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia, bahkan PBB pada tahun 1955 telah mengeluarkan apa yang Standard Minimum Rules for Treatment of Prisoners atau Peraturan-Peraturan Standar Minimum bagi Perlakuan terhadap Narapidana. Tidak dipenuhinya secara ideal hak-hak napi ini sesungguhnya merupakan efek kesekian dari begitu kompleksnya masalah yang ada dalam lembaga pemasyarakatan.
Disamping itu adalah masalah kelebihan penghuni (over capacity), Secara nasional data dari DitJend Pemasyarakatan menunjukkan, prosentase peningkatan penghuni LP lebih tinggi dibanding perkembangan bangunan LP. Pada tahun 2003 penghuni LP (Tahanan dan Narapidana) 71.587 orang kapasitas 64.345 orang, tahun 2004 penghuni 86.450 orang kapasitas untuk 66.891 orang, tahun 2005 penghuni 97.671 orang kapasitas untuk 68.141 orang, tahun 2006 penghuni 118.453 orang kapasitas 76.550 orang, dan tahun 2007 sekitar 116.000 penghuni Lapas dengan kapasitas yang sama, Berarti terdapat kelebihan penghuni sekitar 54,73 persen dari kapasitas yang semestinya, dari jumlah ini kasus yang menempati urutan pertama adalah kasus narkoba sekitar 30 persen atau 32.000 , khusus untuk DKI Jakarta jumlahnya lebih tinggi lagi menghampiri 60 persen atau 4.068 dari total 6.742 narapidana.