Identitas nasional merupakan istilah yang berasal dari kata identitas dan nasional. Kata identitas berarti ciri-ciri, jati diri atau tanda diri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang membedakannya dengan sesuatu yang lain dan kata nasional berarti identitas yang melekat pada kelompok-kelompok yang terikat oleh kesamaan fisik seperti budaya, agama, bahasa dan kesamaan non fisik seperti keinginan, cita-cita dan tujuan yang sama.
Pada hakikatnya identitas nasional merupakan kepribadian nasional atau jati diri nasional yang dimiliki suatu bangsa yang membedakan bangsa satu dengan bangsa yang lainnya. Identitas Indonesia sebagai bangsa dan negara diantaranya memiliki bendera negara (Sang Merah Putih), lambang negara (Garuda Pancasila), slogan/Semboyan (Bineka Tunggal Ika), sarana komunikasi/bahasa negara (Bahasa Indonesia), lagu kebangsaan (Indonesia Raya), dan kebudayaan daerah (bola.com, 2022).
Terdapat berbagai macam identitas nasional sebagai jati diri bangsa Indonesia. Salah satu identitas nasional Negara Indonesia yaitu kebudayaan daerah. Negara kita terdiri dari berbagai daerah dan setiap daerah di Indonesia memiliki keunikan  budayanya masing-masing.
Salah satunya yaitu tradisi Bau nyale. Tradisi Bau Nyale adalah sebuah perayaan yang melegenda dan memiliki nilai sakral bagi suku asli Sasak. Dalam bahasa sasak, bau artinya menangkap dan nyale adalah binatang kaut sejenis cacing kecil yang hidup dikarang dan lubang-lubang batu di bawah permukaan laut. Perayaan ini erat kaitannya dengan cerita rakyat yang berkembang di masyarakat Lombok Tengah, terutama masyarakat Desa Pujut. Bau Nyale merupakan kegiatan penangkapan cacing laut yang dilaksanakan setiap tanggal 20 bulan 10 dalam penanggalan tradisional suku Sasak (pranata mangsa) atau tepat lima hari setelah bulan purnama. Biasanya antara bulan Februari dan Maret setiap tahun.
Nah, asal-usul tradisi Bau Nyale sendiri tidak terlepas dari kepercayaan lama penduduk Desa Pujut terhadap kisah Putri Mandalika. Penduduk setempat percaya bahwa Nyale adalah penjelmaan Putri Mandalika yang merupakan pasangan Putra Raja Tonjang Beru dan Dewi Seranting dari Kerajaan Tonjang Beru dalam hikayat Sasak kuno.
Putri Mandalika diceritakan sebagai sosok yang berparas cantik yang diperebutkan oleh banyak pangeran dari berbagai kerajaan Lombok seperti kerajaan Johor, kerajaan Lipur, kerajaan Pane, kerajaan Kuripan, kerajaan Daha, dan kerajaan Beru. Karena tidak ingin ada kekacauan di masa depan, Putri Mandalika memutuskan untuk menolak semua lamaran dan mengasingkan diri.
Akhirnya pada tanggal 20 bulan 10, tepatnya sebelum matahari terbit. Putri Mandalika memutuskan untuk mengundang semua pangeran dan rakyat ke Pantai Kuta, Lombok. Seluruh undangan berbondong-bondong menuju lokasi. Putri Mandalika pun muncul di lokasi, dengan dikawal ketat oleh prajurit kerajaan. Kemudian Putri Mandalika berhenti dan berdiri di atas batu karang di pinggir pantai. Kemudian, Putri Mandalika terjun ke laut dan menghilang tanpa jejak. Setelah itu, semua undangan panik dan sibuk mencari Putri Mandalika, namun mereka hanya menemukan kumpulan cacing laut yang kemudian mereka yakini sebagai jelmaan Putri Mandalika yang mana Nyale atau cacing laut terebut diyakini sebagai jelmaan rambut Putri Mandalika. Sebagai pelepas rindu, penduduk suku Sasak melakukan upacara tradisional untuk mengumpulkan nyale.
Makna filosofis dari legenda Putri Mandalika yang terjun ke laut dan menjadi Nyale dapat kita petik berdasarkan nilai-nilai di dalam masyarakat. Nilai pertama adalah sikap rela berkorban demi masyarakat suku Sasak untuk menghindari peperangan yang akan terjadi pada para pangeran yang merebutkannya. Semangat berkorban inilah yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin yang ingin menjadi contoh bagi bawahannya. Nilai filosofis kedua adalah Bau Nyale juga hadir sebagai pesta bisnis yang dapat dihadiri siapa saja. Yang berarti tidak seorang pun berhak untuk menjadikan acara milik pribadi untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Kemudian masyarakat setempat juga meyakini bahwa nyale-nyale berkaitan dengan kesejahteraan dan keselamatan. Mereka juga percaya bahwa nyale dapat menyuburkan tanah agar tanaman tetap subur. Semakin banyak cacing yang keluar dari laut, semakin baik hasil panennya. (id.theasianparent.com, 2022).
Tradisi Bau Nyale sebagai identitas nasional semakin maju dan semakin banyak dikenal oleh para wisatawan. Saat ini festival Bau Nyale tidak hanya memanggil cacing-cacing di laut saja melainkan juga diramaikan dengan berbagai lomba tradisional seperti Bekayaq, Cilokaq, Peresean, Begambus, berbalas pantun, dan lomba mendayung perahu. Sebagai acara terbesar masyarakat suku Sasak, Festival nyale Lombok juga akan menampilkan berbagai petunjuk kesenian, seperti wayang kulit, penginang robek, dan teater legenda Putri Nyale. Festival ini semakin meriah dengan adanya Peresean. Peresean merupakan pertarungan adu nyali antar suku Sasak. Mereka dipersenjatai dengan batang anyaman (untaian), yang ujungnya ditutupi dengan aspal dan pecahan kaca halus. Para peserta Peresean ini menunjukkan keberanian, ketangkasan dan keuletan bertarung pria sasak.
Dari kemajuan tradisi Bau Nyale tersebut menunjukkan bahwa meskipun saat ini Indonesia semakin maju ke era yang serba digital, masyarakat Indonesia mampu mempertahankan identitas nasionalnya terutama penduduk suku Sasak, mereka mampu mempertahnkan ciri khas sukunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H