Secara umum negara dan konstitusi merupakan dua Lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Konstitusi secara harfiah berasal dari Bahasa Prancis yaitu constituer yang artinya membangun. Maksud kata 'membangun' di sini adalah membangun suatu negara. Dalam pengertiannya constituer juga mengandung makna awal segala peraturan perundang undangan. Menurut Mahfud MD konstitusi merupakan pedoman dasar bagi penyelenggara negara dalam melaksanakan suatu bangsa, yang kemudian memiliki aturan dalam negara demokrasi  seperti di Indonesia.
Konstitusi dapat dianggap sebagai perwujudan dari hukum tertinggi yang harus ditaati oleh negara dan para pejabat negara. Konstitusi yang berlaku di negara Indonesia saat ini ialah Undang Undang Dasar 1945 (UUD1945). Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) merupakan konstitusi pertama yang ada di Indonesia yang berbentuk dokumen tertulis yang memuat hukum dasar dan pedoman pembentukan peraturan. Dalam tata susunan peraturan perundang undangan negara, UUD 1945 menempati tempatan tertinggi di mana dalam pembukaannya mengandung empat pokok pikiran, yaitu: (1) Negara persatuan yang melindungi dan meliputi segenap bangsa Indonesia; (2) Negara kesejahteraan yang hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; (3) Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan atau perwakilan; (4) Negara berdasarkan atas ketuhanan Yang Maha Esa, menurut dasar kemanusiaan yang adil, dan beradap.
Membahas isi pembukaan dari Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang berisi tentang keadilan dan kesejahteraan, membuat saya bertanya-tanya; apakah saat ini Indonesia sudah mencerminkan hal ini? Apakah hukum Indonesia sudah berlaku adil atas seluruh masyarakatnya? Dan bagaimana kedudukan UUD 1945 sebagai konstitusi tertinggi di Indonesia saat ini?
Hukum di Indonesia saat ini dimata saya hampir tak ada artinya, bagaimana bisa saya bilang seperti itu? Karena hukum yang ada saat ini seperti kutipan 'tumpul ke atas runcing ke bawah', di mana hukum berlaku lebih tajam bagi masyarakat kelas bawah dari pada para pejabat tinggi. Bisa kita lihat terapannya dalam kehidupan sehari-hari bagaimana para tikus berdasi yang dengan kata lain adalah para pejabat yang ekonominya kelas atas yang terjerat kasus korupsi dan suap, bagaimana mereka diperlakukan lebih spesial di atas hukum yang setara. Sedangkan rakyat kecil yang terjerat karena masalah kecil namun dianggap besar terus dipermasalahkan, yang sebenarnya mampu diselesaikan secara kekeluargaan namun dibesar-besarkan dengan mempersulit persidangan.
Bisa kita bandingkan dalam kasus nenek Asyani dengan Setya Novanto. Kasus nenek Asyani yang terjerat kasus pencurian kayu jati sebanyak 38 batang kayu jati olahan. Saat itu nenek Asyani mengaku bahwa kayu jati tersebut dari lahan milikinya yang mana peninggalan dari sang suami. Namun tiga saksi dari Perhutani bersikukuh berdasarkan corak dan bentuk warna, identik dengan bonggol kayu Perhutani yang hilang. Hingga nenek Asyani mendapatkan hukuman 1 tahun 3 Â bulan dan denda Rp 500 juta subsider 1 hari hukuman percobaan. (liputan6.com, news.detik.com)
Sedangkan kasus Setya Novanto yang saat itu menjabat sebagai ketua DPR RI sekaligus ketua Umum Partai Golkar terjerat kasus korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik  (e-KTP). Pada tahap awal Setya memenangi gugatan peradilan terhadap KPK sebagai status tersangka, berselang empat bulan pada tanggal 10 November 2017 KPK menetapkan Kembali Setya sebagai tersangka, setelah lima bulan proses persidangan, Setya Novanto divonis bersalah dalam kasus korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP pada April 2018 dan mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 2,3 triliun dan Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkannya hukuman 15 tahun penjara dan membayar denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan. (nasional.kompas.com). Sangat terlihat bukan perbedaannya? Di mana sang nenek yang mencuri kayu dengan seorang koruptor yang menghabiskan uang negara sebesar Rp 2,3 triliun namun  mereka mendapatkan denda dengan jumlah yang sama. Tidak hanya itu saja, Setya Novanto sebagai mantan ketua umum partai Golkar itu mendapati sel dengan fasilitas yang cukup mewah saat ditemui oleh reporter, dengan memiliki kamar mandi yang sudah diperbarui, terdapat juga kitchen set dan dua exhaust fan ada juga furnitur meja dan empat kursi untuk tamu, serta dua Kasur spring bed dengan salah satu Kasur dengan ukuran yang cukup besar. (tribunnews.com). Dari keterangannya sepertinya bapak koruptor satu ini seperti tinggal dalam sebuah kamar hotel ya dibandingkan dengan sel tahanan?
Tidak hanya kasus d iatas saja yang memperlihatkan lemahnya hukum konstitusi di Indonesia, beberapa kasus lainnya saya jabarkan di bawah:
- Kasus korupsi Rokhmin Dahuri yang merupakan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan dengan korupsi sebesar Rp 31,7 miliar. Dengan hukuman 7 tahun penjara yang dipangkas menjadi 4,5 tahun dengan denda 200 juta subsider enam bulan penjara.
- Mantan Menteri sosial Idrus marham yang terbukti menerima suap Rp 2,250 miliar dari pengusaha sekaligus pemegang saham. Ia divonis 3 tahun penjara dengan denda Rp 150 juta subsider 2 bulan kurungan. Idrus Marham ini saat ditangkap masih bisa tersenyum lohh
- Laporan dari pegawai KPI yang mengaku dilecehkan, dipukul, dimaki, dan di rundung oleh delapan rekan kerjanya pada tahun 2011. Dan sampai saat ini belum ada tanda-tanda bahwa pelaku akan di adili. Malah muncul berita dalam megapolitan.kompas.com pada tanggal 7 Januari 2022 bahwa para pelaku tidak diperpanjang kontrak bekerja di KPI. Apakah hal ini cukup? Sedangkan korbannya saja mengalami trauma pada psikisnya.
Dari kasus-kasus tersebut perlu kita pertanyakan, bagaimana penerapan hukum tertinggi di Indonesia yang mana adalah UUD 1945? Apakah UUD 1945 ini masih dipandang oleh para pejabat? Apakah masih berlaku bagi para pejabat? Bagaimana tanggapan para Readers?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H