Mohon tunggu...
Bimo Nurcahyo
Bimo Nurcahyo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Part Time Worker, Full Time Learner

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Isu Desentralisasi Fiskal: Pemerataan Kesejahteraan dan Kemandirian Keuangan Daerah

12 Februari 2024   02:17 Diperbarui: 12 Februari 2024   02:31 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Penerapan Otonomi Daerah memiliki tujuan strategis untuk mengoptimalkan pelayanan publik dan meningkatkan kesejahteraan setiap lapisan masyarakat di seluruh Indonesia. Konsep ini dirancang sebagai salah satu langkah masif dalam memperkuat pondasi pembangunan nasional melalui pengelolaan dan pemberdayaan kapasitas daerah di tangan masing-masing pemerintah daerah sehingga diharapkan mampu mewujudkan pemerataan kesejahteraan dan kemandirian sebagai daerah otonom. Dengan demikian, Otonomi Daerah dapat dikatakan menjadi instrumen penting dalam usaha mencapai kemajuan ekonomi daerah yang inklusif dan berkelanjutan serta secara koheren mendukung kemajuan negara secara keseluruhan.

Pengelolaan pemerintahan oleh Daerah Otonom harus berjalan searah dengan kebijakan Pemerintah Pusat. Keselarasan ini diwujudkan melalui mekanisme pembagian wewenang yang terstruktur, dimana masing-masing pihak memiliki peran yang telah ditetapkan dalam pengelolaan dan penyelenggaraan urusan pemerintahan untuk menghasilkan alokasi sumber daya nasional yang efektif dan efisien. Hal ini kemudian membentuk suatu konsepsi hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah yang disempurnakan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

UU HKPD berlandaskan pada 4 (empat) pilar utama yang ingin dicapai yaitu meminimumkan ketimpangan vertikal antaranPemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (vertical fiscal imbalance) dan ketimpangan horizontal antar Pemerintah Daerah (horizontal fiscal imbalance), memperkuat sistem perpajakan daerah, meningkatkan kualitas Belanja Daerah, dan harmonisasi kebijakan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Praktis ruang lingkup yang dibahas dalam ketentuan ini dititikberatkan bagaimana strategi Pemerintah Pusat dalam menyerahkan sebagian urusan pemerintahan konkuren kepada Pemerintah Daerah di bidang keuangan melalui kebijakan Desentralisasi Fiskal.

Desentralisasi Fiskal dapat diartikan sebagai penyerahan kewenangan fiskal dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, artinya terdapat dua sisi yang terlibat dimana Pemerintah Pusat bertanggung jawab dalam menyediakan sumber daya dan menentukan arah kebijakan sebagai bentuk pelimpahan wewenang, sementara Pemerintah Daerah bertanggung jawab membiayai urusannya atas diskresi penuh yang dimiliki dalam mengelola secara mandiri alokasi dana yang diterima sebagai konsekuensi Daerah Otonom.

Kebijakan ini selanjutnya menimbulkan beberapa isu yang perlu disorot yakni pemerataan kesejahteraan antar Pemerintah Daerah, dimana masih terdapat kesenjangan (disparitas) antardaerah yang dapat dilihat dari perbandingan pertumbuhan ekonomi daerah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) secara nasional, serta tingkat kemiskinan daerah yang menunjukkan daerah di wilayah Indonesia Bagian Timur memiliki rerata lebih tinggi jika dibandingkan dengan wilayah Indonesia Bagian Barat. 

Hal lainnya yakni terkait isu kemandirian keuangan daerah yang dapat dilihat dari Indeks Kemandirian Daerah dan Kinerja Fiskal Daerah, yang secara umum menunjukkan bagaimana suatu Daerah menghasilkan total Pendapatan Daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah dibandingkan dengan yang didapat dari Dana Transfer ke Daerah. Data yang dirilis dalam Laporan Hasil Reviu atas Kemandirian Fiskal Pemerintah Daerah Tahun 2021 mengindikasikan jika cukup banyak Pemerintah Daerah yang terklasifikasikan "Belum Mandiri".

Pada dasarnya, pemerataan kesejahteraan dapat terwujud melalui andil bersama dengan menjalin hubungan kemitraan baik secara vertikal maupun horizontal. Pemerintah Pusat seyogyanya melakukan monitoring atas alokasi dan realisasi anggaran seluruh bidang di setiap Pemerintah Daerah, sementara Pemerintah Daerah dapat melakukan kerja sama pembangunan antardaerah, memperkuat sinergi antardaerah serta berkonsultasi dengan Pemerintah Pusat terkait langkah kebijakan strategis yang sebaiknya diambil.

Sementara itu, dalam urusan peningkatan kemandirian keuangan daerah, penting bagi Pemerintah Pusat untuk memberikan asistensi dalam peningkatan kualitas penggunaan anggaran serta melakukan pengawasan terhadap kinerja fiskal daerah. Kemandirian keuangan daerah yang baik diindikasikan dengan Pendapatan Asli Daerah yang dihasilkan lebih besar dibandingkan dengan Pendapatan Transfer ke Daerah yang diterima. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah perlu banyak menggali inovasi dalam ekstensifikasi potensi daerahnya serta pemanfaatan alternatif pembiayaan lainnya.

Dengan diberlakukannya UU HKPD sebagai pelengkap ketentuan terdahulu yakni Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, diharapkan mampu menstimulus pertumbuhan kapasitas fiskal daerah. Beberapa pembaruan yang diatur di dalamnya antara lain perubahan konsep dari Dana Perimbangan menjadi TKD, Pengetatan Dana Alokasi Umum terbatas pada Kebutuhan Pelayanan Publik Daerah, Pemberlakuan Block Grant dan Specific Grant berdasarkan Kinerja Daerah, Pengalokasian DAK berfokus pada Tujuan, Insentif Fiskal, serta Perubahan Konsep Penyaluran. Selain itu penambahan batasan maksimal alokasi belanja pegawai selain tunjangan guru sebesar 30% dari total belanja dalam APBD, penambahan kewajiban pengalokasian dan persentase minimal pengalokasian untuk belanja infrastruktur sebesar 40%, penambahan pembentukan dana abadi daerah, serta konsep sinergi kebijakan pendanaan infrastruktur dan sinergi kebijakan fiskal nasional.

Dukungan dari berbagai pihak termasuk Lembaga Legislatif di setiap tingkatan, serta andil serta masyarakat dalam berkontribusi bagi daerahnya menjadi penting untuk memastikan kebijakan dalam UU HKPD dapat diimplementasikan secara tepat sasaran. Hal ini akan memungkinkan tercapainya tujuan utama dari Undang-Undang ini, yaitu terciptanya kondisi yang kondusif bagi pemerataan kesejahteraan dan peningkatan kemandirian keuangan daerah. Keterlibatan dan komitmen seluruh pihak adalah kunci untuk mewujudkan visi pembangunan nasional yang inklusif dan berkelanjutan, memastikan bahwa setiap daerah dapat berkembang dan berkontribusi penuh terhadap kemajuan Indonesia secara keseluruhan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun