Pengukuran kinerja sering kali dilihat sebagai alat teknis yang mengatur bagaimana karyawan bekerja dan mencapai target di dalam dunia kerja modern. Namun, penelitian terbaru yang berjudul “The Effect Of Performance Measurement System On Psychological Empowerment And Employee Performance” yang dilakukan oleh Eka Travilta Oktaria, mengungkap dimensi lain yang lebih mendalam: pengukuran kinerja ternyata dapat menjadi kunci pemberdayaan psikologis karyawan. Bukan sekadar alat kontrol, sistem pengukuran kinerja berfungsi sebagai katalis untuk meningkatkan rasa percaya diri, inisiatif, dan bahkan kesejahteraan mental para pekerja.
Mari kita renungkan sejenak, dalam lingkungan kerja yang kerap didominasi oleh target dan angka, sering kali yang terlupakan adalah elemen manusia. Penelitian ini menggaris bawahi bahwa saat karyawan memahami bagaimana kinerja mereka diukur dan diberi umpan balik secara transparan, mereka merasa lebih berdaya. Pengukuran kinerja yang dilakukan dengan benar tidak hanya memberi tahu karyawan di mana mereka berdiri dalam hierarki organisasi, tetapi juga memberikan mereka perasaan bahwa mereka memiliki kendali atas nasib karier mereka. Ini mirip dengan filsafat eksistensial yang mengatakan bahwa manusia nencapai kebebasan melalui refleksi diri. Menariknya, penelitian ini juga menunjukkan bahwa pengukuran kinerja tidak berhenti pada pemberian angka atau penilaian.
Pengukuran ini membuka jalan bagi karyawan untuk merasa lebih terhubung dengan pekerjaan mereka, merasa dihargai, dan memiliki tujuan yang lebih jelas. Saat seseorang merasa diberdayakan secara psikologis, produktivitasnya tidak hanya meningkat, tetapi juga kualitas kerja yang mereka hasilkan lebih baik. Pengaruhnya menyentuh semua aspek kehidupan kerja: motivasi, kinerja, dan bahkan kebahagiaan individu. Namun, di sinilah letak tantangan bagi kita sebagai masyarakat. Pengukuran kinerja sering kali dikritik karena terlalu mekanis, hanya berfokus pada angka dan hasil, tanpa memperhatikan aspek kemanusiaan. Jika sebuah sistem pengukuran kinerja dirancang tanpa memperhitungkan kompleksitas dan kebutuhan psikologis karyawan, ia justru bisa berbalik menjadi sumber stres dan alienasi. Pekerja yang merasa bahwa mereka hanya angka dalam laporan perusahaan akan kehilangan rasa memiliki, yang pada akhirnya menurunkan kualitas hidup mereka di tempat kerja.
Penelitian ini secara tidak langsung mengingatkan kita untuk mempertimbangkan kembali bagaimana kita menilai kinerja di era industri 4.0 ini. Masyarakat perlu menyadari bahwa keseimbangan antara efisiensi dan humanisme di tempat kerja bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan produktif. Bagaimana pengukuran kinerja ini diterapkan bisa menjadi faktor penentu apakah seorang karyawan merasa berdaya atau justru tertekan. Temuan dari penelitian ini memberikan pandangan baru mengenai bagaimana sebuah perusahaan tidak hanya berfungsi sebagai mesin pencetak keuntungan, tetapi juga sebagai institusi yang dapat membentuk kualitas kehidupan karyawannya. Hal ini penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa sistem pengukuran kinerja yang baik tidak hanya tentang pencapaian target finansial, melainkan juga tentang menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan potensi manusia.
Pemberdayaan psikologis yang dihasilkan oleh sistem pengukuran kinerja berfungsi layaknya sebuah dorongan untuk mendorong setiap individu mencapai versi terbaik dari diri mereka. Filosofi di balik hal ini adalah bahwa manusia bekerja tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan material, tetapi juga untuk mendapatkan makna, harga diri, dan tujuan dalam kehidupan. Di sini, dunia kerja menjadi refleksi dari upaya manusia untuk menemukan tempatnya di masyarakat. Sistem pengukuran kinerja yang benar-benar memberdayakan dapat membantu individu memahami kontribusi mereka, bukan hanya kepada perusahaan, tetapi juga kepada dunia secara lebih luas.
Namun, ada risiko jika sistem ini diterapkan secara salah, alih-alih memberdayakan, pengukuran kinerja yang terlalu kaku atau berfokus pada angka semata dapat menciptakan tekanan yang tidak sehat, merusak keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, serta memperburuk kesejahteraan mental karyawan. Di sinilah pentingnya pemahaman dari manajemen dan pemimpin perusahaan untuk merancang sistem yang tidak hanya mengejar efisiensi, tetapi juga memperhatikan kebutuhan manusiawi yang lebih mendalam.
Implikasi lebih luas dari temuan penelitian ini adalah bahwa masyarakat, terutama generasi muda yang memasuki dunia kerja, perlu memahami bahwa tempat kerja yang ideal bukan hanya tentang berapa banyak keuntungan yang dihasilkan, tetapi tentang bagaimana tempat tersebut memperlakukan karyawannya sebagai manusia. Pengukuran kinerja yang memperhitungkan aspek psikologis dapat menjadi jalan menuju transformasi sosial yang lebih besar, di mana kesejahteraan mental dan pemberdayaan individu menjadi fondasi bagi kemajuan ekonomi dan sosial.
Sebagai penutup, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sistem pengukuran kinerja memiliki potensi besar untuk memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan individu dan perusahaan, asalkan diterapkan dengan cara yang tepat. Pengukuran kinerja bukanlah sekadar alat penilaian, tetapi juga bisa menjadi jembatan untuk menghubungkan antara efisiensi kerja dan pemenuhan kebutuhan manusia yang lebih mendasar: rasa memiliki, makna, dan pengembangan diri. Bagi masyarakat umum, ini adalah pengingat bahwa setiap sistem yang kita ciptakan di tempat kerja memiliki dampak yang jauh lebih luas daripada yang terlihat di permukaan akhirnya mencapai kesuksesan jangka panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H