Pemenang dari Hati dan Logika murni, aku?Â
Dalam perjalanan hidup proses yang dilalui manusia bercabang, berliku, dan penuh dinamika. Pada gilirannya ditentukan oleh siasat dan kecerdasan pada isi otak (akal) sendiri. Pada isi otak terdapat kata dan bahasa tingkat tinggi, dan mengeluarkan paradigma sesuai kemampuan menentukannya. Apabila isi otak terdapat keliaran logika, pasti berperangai liar dalam bertindak. Apabila bertertib sesuai prosedur atau disiplin yang benar, maka manusia berperilaku sesuai kebutuhan dan sesuai aturannya. Kehidupan ini memberi pelajaran banyak hal ketika rasio dan akal berfikir ini murni.Â
Apabila dilihat dengan taraf logika yang menggunakan dasar dan dalil yang benar pada konteks kebenaran, maka bisa dipastikan kebenaran sebagai prinsip dan jalan hidup dapat digapainya. Persoalan pada manusia sekarang ialah memiliki rasio yang benar dan kearifan jiwa yang tinggi tersebut sulit. Tidak cukup dengan keinginan yang prosesnya dilakukan dengan waktu singkat saja, tetapi disitu diperlukan jangkauan berfikir, pengalaman, dan penalaran yang memadai sesuai konteks saat manusia tersebut hidup.Â
Manusia masing-masing sudah memiliki kepakeman dalam berfikir dan bernalar, tidak ada satupun yang hidup tanpa menggunakan akal dikepalanya. Maka, apabila ada pertanyaan kepada manusia soal apakah sudah dipakai akal dan otak manusia tersebut, jika ada orang mengatai dan menanyainya? Tentu didalam kehidupan manusia sudah memprasaranai isi kepala dengan pengetahuan dan kemampuan dibidang yang dilaluinya dengan skill dan pengetahuan yang dapatkan sebelumnya.Â
Kalau penulis bertanya pada diri sendiri dengan keadaan sekarang yang dialaminya, sudah berfikirkah akal yang dimilikinya? Sudah berjalan sesuai aturan berfikir belum? Sudahkah isi diakal sesuai dan layak? Dengan ilmu dan pengalaman apa pikiran yang ada dikepalanya sehingga sekarang yang keluar dari otaknya demikian wujudnya?Â
Pada beberapa pertanyaan tersebut penulis merasa senang karena dibalik diam dan kosongnya otak dikapala, sehingga banyak bilang penulis ketinggalan zaman dalam berfikir akhirnya masih mengeluarkan unek-unek dan suara yang aktif dari dalam pikirannya, walaupun bagi para pemikir dan ahli ilmu pertanyaan tersebut dianggap masih dangkal dan jauh dari kata keilmiahan.Â
Namun karena berfikir yang sesuai runtutan keilmiahan dan sesuai pakemnya disiplin ilmu yang berlaku dirasa sangat sukar, rumit, sulit dan membutuhkan segudang drama dan menguras banyak waktu dan kecanggihan tersendiri, maka kekhasanahan pemikiran yang mulia dan yang dianut banyk orang itu membutuhkan waktu dikemudian hari.Â
Ilmu yang ku yakini ialah sarana menjalankan kehidupan yang penuh dinamika dan dalam menghadapinya perlu seni dan perjuangan tersendiri, sehingga ilmu yang dianggap ilmu tersebut butuh jadi keyakinan terlebih dahulu. Pada titik ini sedikit sekali manusia sedang merasakan zona menelusuri dan merenungi kehidupan ditengah sebuah proses zona keilmuan dan keilmiahan.Â
Dalih pemutaran kata dan kalimat pada bagian kali ini, merupakan sebuah ruang refleksi diri pada isi otak yang ku miliki, sadar pada keadaan diri, bahwa sederet kata yang terangkai ini menjadi sebuah benih pergolakan secara pribadi, yang secara murni dan jujur apa adanya, perasaan belum tahu apa-apa tentang sesuatu hal, belum memiliki apapun atas sesuatu, belum menjadi siapapun terhadap pertanyaan siapa aku, belum mendapatkan apapun terhadap proses menjalani pembelajaran, belum sesuai yang diharapkan atas keharusan yang sepatutnya dimilikinya, dan lain sebagainya. Bahwa manusia yang secara umum pasti menghendaki kesempurnaan dan kelebihan tertentu, didalam diriku? masih jauh dari unsur dan aspek tersebut.
Ku renungi, bersama denyut aliran darah yg masih mengalir, god bless you.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H