Mestinya Binhad Nurrohmad berterima kasih pada komputer. Karena kelebihan fungsi komputer itu tidak dijumpai pada mesin ketik. Seandainya penyair Binhad menggunakan mesin ketik untuk sajak-sajaknya, dapat dibayangkan bagaimana dia harus menyediakan banyak waktu hanya untuk menyusun sebuah sajak saja. Tanpa kehadiran komputer, dia takkan berani membilangkan puisinya rata kanan dan puisi kalian rata kiri. Memang posisi teknologi itu, meski pun mesin ketik juga demikian, merupakan salah satu penunjang untuk keperluan manusia agar keinginan yang ada dapat terlaksana. Bertolak dari antologi pertamanya Binhad Nurrohmad yaitu “Kuda Ranjang” perbincangan inilah bermula. Karena menurut kacamata saya berdirinya konstelasi penulisan sajaknya mestilah dihadapi. Di samping pula kedirian maupun penawaran nilai yang terkandung di dalamnya.
Konstelasi tersebut bermula ditemukan secara tersirat tatkala si penyair pernah mondok di sebuah pesantren di Yogyakarta. Di dalam dunia pesantren dimana setiap santri harus menguasai pembacaan maupun penulisan bahasa arab. Sudah diketahui oleh dunia bahwa karakter aksara arab atau arab melayu mesti menuliskannya dimulai dari kanan ke arah kiri pada lembaran kertas secara horisontal, berlaku juga pada media di luar itu. Jika saja aksara tersebut ditulis dengan cara kebalikannya, saya jamin takkan mungkin dapat dilakukan. Dan kenaan terhadap pembicaraan ini benang merahnya adalah aksara. Aksara arab maupun arab melayu sangat berbeda dengan aksara latin, disamping itu juga terhadap cara penulisannya. Bahasa Indonesia adalah salah satu contoh yang lebih dekat dengan karakter dari aksara latin berikut penulisannya.
Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional. Menjadi nasional karena bahasa itulah yang mempersatukan komunikasi antar suku-suku bangsa di kepulauan nusantara ini. Posisi bahasa ini begitu penting peranannya dengan tidak menampik posisi bahasa lokal yang ada yang sama pentingnya untuk negeri ini. Sehingga para penyair di negeri ini menggunakannya sebagai media untuk menyatakan sikap atau posisi serta pandangannya terhadap suatu persoalan dalam bentuk karya sajak. Namun mempertemukannya dengan konstelasi penulisan sajak Binhad dan tempelannya atas dunia santri yang pernah dilaluinya, secara jelas memperlihatkan suatu hasil yang tidak memberikan suatu apa (dalam hal ini ditinjau dari sudut pendobrakan yang dilakukannya). Pengadopsian karakter aksara arab atau arab melayu terhadap “Bukan Sekedar Kredo”-nya tidak menimbulkan lebihan arti. Hal itu jelas tercermin dalam sajaknya yang berjudul ‘Berak’ (hal.17) di dalam antologi tersebut.
Jika dikonfrontasikan dengan fisik sajak-sajak dari Sutardji Calzoum Bachri (SCB), Ibrahim Sattah, dan Ikranegara (ketiga penyair ini tidak berangkat dari landasan yang sama dalam perpuisian), jejak yang tertangkap dari mereka adalah suatu penggalian bentuk terhadap kandungan isi. Karena kandungan isi, menurut saya adalah tujuan, maka bentuk laksana kendaraan yang siap mengantarkannya ke sana. Tetapi terhadap sajak Binhad meski pun dibalikkan menjadi rata kiri sekali pun tidak menegaskan perubahan apa-apa. Point inilah yang menjadi sikap saya yang pertama.
Hal lain adalah kedirian. Kedirian sang penyair mestinya jelas di setiap posisi persoalan apapun. Karena aspek pengkaryaan suatu karya seni tetap memerlukan kedirian dari si seniman. Setiap persentuhan personal dengan kenyataan menimbulkan sebuah jejak dalam memorinya. Jejak tersebut membuka peluang artikulasi tersendiri. Dengan melewati proses ini kemunculan sebuah nilai menjadi keniscayaan. Konfrontasi menjadi resiko (konsekuensi) yang tidak bisa dihindarkan bagi nilai dalam kenyataan dan nilai yang terbentuk pada personal. Jika sudah seperti itu kedirian si penyair pada aspek pengkaryaan menjadi kuat terasa. Persinggungannya dengan sajak Binhad ditilik dari pembahasan tadi, kediriannya hanya sampai sebatas jejak. Walau pun berpeluang memunculkan sebuah nilai itu terasa gagu. Gagu yang diakibatkan pada pengambilan resiko untuk berkonfrontasi ke luar dan bukan bersifat ke dalam.
“.../Di mana kini kucari kecut keringat senggama/dan hitam jembutmu dulu?”(Sajak “Akar”, hal 116). Juga dapat disimak pula pada judul “Aleniasi” (hal 124),” ...seperti arus, dan percaya: mungkin tak singkat, kelak isyarat lain tertinggal di sebutir pasir.” Di sana jelas tangkapan di setiap sajak-sajaknya cuma aspek pembuktian tema saja. Kedirian si penyair tidak menjejak pada pembuktian tersebut.
Kalau diumpakan sebuah sajak laksana keduabelah tangan yang terbuka. Dia tidak menampik adanya posisi lain di luar dirinya untuk mengarahkan tempat padanya. Dia bertamu ke rumah-diri pembaca. Dan pembaca memerlukan suatu perkakas untuk menjamu tamunya. Tanpa perkakas seorang pembaca bukanlah tuan rumah yang baik bagi tamunya. Karena sajak mengandung suatu peristiwa dialog diri terhadap keruhaniannya selaku manusia. Dengan menggunakan perkakas itulah si pembaca memungkinkan memberi kejelasan nilai cakrawala tersebut, meskipun akhirnya beragam penilaian itu. Suatu hal yang ditekankan disini ialah bila suatu perkakas telah mampu memberi kejelasan, bersamaan itu pula perkakas lainnya dapat menggugurkan kejelasan tersebut. Saat peristiwa seperti itu terjadi sedikit demi sedikit hijab dari dialog diri sang penyair akan keruhaniannya bisa tersingkap.
Pandangan sastra seorang Binhad dituntut oleh sajak-sajaknya. Maka tak heran bila antologi “Kuda Ranjang”-nya serasa terseok-seok mengejar penyairnya agar memperkosanya sekali lagi. Karena sastra adalah sesuatu. Sesuatu yang tidak menghamba pada siapa pun, terutama pada penulisnya. Karena dia menjadi sebelum dia dituliskan. Keadaannya tidak pada nilai penawaran atau lebihan arti. Sesuatu yang labil, meloncat-loncat, dunia kaki yang memiliki kehendak untuk kesana-kemari. Kediriannya membikin antara. Dan kecenderungannya membuka kemungkinan untuk diletakkan dimana suka.
Penyair Binhad mesti berterima kasih pada komputer. Karena kelebihan komputer tidak ditemukan pada mesin ketik. mengutip dari seorang teman, “predikat menjadi penyair bukanlah hasil dari lekatan suatu lembaga, institusi, kritikus, atau semacamnya. Namun predikat seorang penyair dilahirkan dari kekuatan sajak-sajaknya”. Saya sepakat dengan pernyataan teman tersebut, namun tentunya dengan tambahan sedikit syarat pribadi dari saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H