Ada baiknya kita jangan berlebihan mengutuk pemimpin, dikala menyaksikan dan merasakan ketimpangan yang melanda bangsa ini. Korupsi kian hari menggerogoti kiat semua, pemilu yang setiap kali dihelat tak pernah berakhir segala sengkarut dan kericuhannya, angka kriminalitas juga semakin bertambah, penyalahgunaan narkotika, hingga teror kemanusiaan yang melanda anak bangsa kita. Sejenak, mari merenungkan dan menanya "mata batin" masing-masing, siapa kira-kira dalang dari semua itu?
Adalah terlalu naïf rasanya jika hanya melempar kesalahan kepada pejabat Negara, karena mereka memegang titah dan amanah atas nama rakyat. Arif kiranya, kalau ada yang berani mengurai; bahwa bukankah sistem yang sedang dijalankan oleh pejabat tersebut dalam organ kekuasaan Negara diciptakan oleh golongan cendikiawan dan kaum intelektual. Yang konon katanya sistem bernegara sengaja diciptakan demi kemaslahatan hajat hidup orang banyak.
Bahkan tak sampai disitu saja peran kaum cendikiawan dan kaum intelektual, ada banyak diantara mereka juga terjun dalam dunia politik, dengan membawa bendera "panji-panji" keadilannya.
[caption id="attachment_305578" align="aligncenter" width="210" caption="Sumber,: pemuda-indonesia18.blogspot.com"][/caption]
Namun apa lacur, toh begitu-begitu saja nasib bangsa dan rakyat yang tetap dilanda kemiskinan serta kesengsaraan. Kalau demikian, dengan tidak bermaksud gegabah menghakimi kaum cendikiawan dan kaum intelektual. Sesungguhnya di manakah dia berasal sehingga pada akhirnya ditasbihkan cendikia dan intelek? Tidaklah sulit menjawab untuk konteks sekarang dibandingkan masa cendikia-nya Socrates hingga Aristoteles. Saat ini, Perguruan Tinggi/ kampus sebagai lembaga formal, telah diketahui bersama, dari sanalah rahimnya kaum cendikiawan dan kaum intelektual.
Kondisi Kampus
Lalu apa yang menimpa beberapa kampus hari ini? Miris untuk menukilkannya. Jika dahulu kala situasi kampus banyak diwarnai tawuran mahasiswa. Maka kini merembes ke atas, para pendidik yang berpangkat Maha Guru juga saling adu kekuatan, semata-mata hanya merebut pentas kuasa dan prestise.
Tengoklah tingkah laku para calon Rektor dua kampus negeri, di Makassar; Universitas Hasanuddin dan UIN Makassar. Satu kampus sekuler dominan melahirkan intelektual, satunya lagi kampus santri yang akan melahirkan cendikiawan. Namun sama saja perbuatan mereka, lebih mengedepankan alter egonya saja, sekedar untuk meraih pucuk kekuasaan. Tugas mulia untuk melahirkan jiwa pembaharu mungkin sudah terlupakan, hanya gara-gara bermimpi untuk meraih kursi kebesaran.
Spesifik untuk Universitas Hasanuddin, sebagai anak yang pernah dibesarkan di sana. Saya mungkin satu orang dari sekian alumni, belum bisa mengucapkan selamat kepada Rektor Unhas Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu,M.A., pasca pelantikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kemarin. Bagaimana tidak? Jabatan beliau masih dihadang "jalan terjal" gugatan di Pengadilan TUN Makassar. Sampai hari ini proses hukumnya masih berjalan di sana.
Mulai Bernegara
Sama sekali tidak bermaksud menggurui kepada mereka semuanya. Karena apalah posisi, jabatan, dan kuasa saya kepada cendikiawan dan kaum intelektual itu. Kalau memang pada intinya, kita selalu mengutamakan keadilan dan kemanfaatan bersama, demi nasib kampus/ universitas, cikal bakal akan lahirnya tokoh-tokoh bangsa. Saatnya kita memulai dari kampus memancarkan cahaya kedamaian. Di sinilah awal menyusun sistem bernegara dan menjadi pemimpin untuk menebarkan cara bernegara yang adil nan bajik.