Saya tidak sepakat, jika hanya karena persoalan keterlibatan perempuan dalam merebut kemerdekaan di tangan penjajah melalui Kongres Perempuan Indonesia I (yang pertama) 22 s/d 25 Desember 1928 di Yogyakarta. Lalu momentum itu dijadikan sebagai cikal bakal lahirnya hari ibu setiap tanggal 22 Desember. Sebab, lebih dari itu semua lebih pantaslah menjadikan semua “hari” adalah hari bagi kita semua untuk membalas jasa-jasa yang telah dikorbankan seorang ibu, sehingganya kita dapat menyaksikan sekaligus merasakan besarnya kuasa Tuhan di dunia ini.
Bagi saya, adikodrati seorang wanita yang menitiskan kepadanya sosok “keibuan” dengan mengaca pada kongres perempuan pertama. Kemudian menobatkannya sebagai pahlawan kemerdekaan, itu terlalu “kecil” sikap kita untuk menghargai seorang ibu yang sudah melahirkan dan membesarkan kita dengan segala daya upayanya.
Pahlawanku
Maka dari itu, melalui tulisan ini kepada para pembaca harian Gorontalo Post, izinkan saya untuk menceritakan sepenggal kisah pribadi bersama dengan seorang ibu, sehingga kepadanya pantas sekali kujadikan sebagai pahlawan dalam setiap jejak kisah saya.
Singkatnya, begini ceritanya: saya turut merasakan betapa perihnya perjalanan hidup ibu saya dalam membesarkan kami empat bersaudara. Sebabnya adalah lantaran saya dan adik-kakak, hanya Ibulah harus menjadi penopang satu-satunya dalam keluarga.
Andaikata Ayah saya meninggal dalam keadaan yang lazim. Maka boleh saja tantangan yang harus dilalui oleh ibu saya dalam mengantarkan kami semua menjadi dewasa tidak terlalu berat. Namun ujian-Nya sungguh maha berat, ayah saya meninggal dengan cara tragis, ia meneguk racun di sebuah rumah persawahan milik kami sekeluarga.
Dan karena peristiwa tragis itulah, sehingga akhirnya ibu saya, selain kadang menyesali kematian ayahku, ia juga mendapat cibiran dari beberapa kerabat ayahku yang “meninggal” konon karena ibu saya menjadi penyebabnya. Sungguh kasihan ia, ibuku tersayang, menerima segala tuduhan kalau dia dianggap gagal total menjadi istri yang baik untuk suaminya.
Kadang kutatap bola mata ibu saya kala itu, ketika selalu saja ada yang menyalahkannya. Deengan menahan rasa sakit, pedih, perih, hati tercabik-cabik, bola matanya hanya berkaca-kaca, tidak ingin memperlihatkan kepada kami kalau sesungguhnya dia sedang dilanda duka mendalam.
Tetapi harus kuakui pada konteks inilah, saya menyatakan ibuku, adalah pahlawanku. Segala caci maki yang dituduhkan kepadanya. Dia jadikan cambuk untuk menjalani hidup lebih dari semuanya, yang orang selalu ramalkan.
Dia benar-benar menggantikan posisi ayahku, dia menjadi petani. Tak mau ia berlarut-larut dalam kesedihan, sesadar-sedarnya ia menyadari kalau air mata tidaklah mampu membesarkan anak-anaknya.
Tak ada gunanya selalu bersedih, semua ketetapan Tuhan harus diterima oleh hamba-Nya, demikian pesan yang selalu terngiang dari ibu saya. Selain menjalani kebiasaan ibu rumah tangga kebanyakan, berada di depan perapian untuk menanak nasi dan meramu beberapa hidagan lezat untuk anaknya, ia pula yang menjadi penggarap dari lahan pertanian yang telah ditinggalkan oleh ayah saya. Ia mendayung cangkul untuk merawat seluruh tanaman pertanian milik kami sekeluarga, sebab itulah satu-satunya sumber kehidupan keluarganya.