[caption id="attachment_354425" align="aligncenter" width="336" caption=" Gambar balairungpress.com"][/caption]
John F Keneddy pernah berkata "victor has a thousand fathers, but defeat is an orphan"----kemenangan itu mempunyai seribu ayah, tetapi kekalahan adalah yatim piatu.
Keluhan Kennedy demikian tat kala ditinggalkan oleh semua konstituennya saat terseret dalam kasus perselingkuhan. Nampaknya relevan dengan perasaan yang mewakili Abraham Samad (AS) saat ini. Ada perasaan ditinggalkan, dikutuk, dan dijauhi oleh sebagian masyarakat Indonesia. Bahkan almamaternya sendiri yang dulu "mengelu-elukannya" pun tutup mulut dan tutup mata atas "kriminalisasi" tak wajar yang melandanya.
Rasanya tak pantas, andai saja pepatah: panas setahun dihapuskan oleh rinai hujan sehari, disematkan pada AS. AS begitu disanjung dan mendapat acungan jempol kala berani menyeret sejumlah koruptor menuju gedung prodeo anti rasuah. Ada ketua umum partai yang tak bisa berkutik saat terbukti semua perbuatan korupsinya di pengadilan. Ada eks pimpinan Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar yang pernah berteriak; "potong tangan koruptor" akhirnya petinggi MK ini jatuh pula dalam lubang korupsi.
Semuanya harus diakui ini atas kinerja KPK di bawah keberanian sang putra asal Sulawesi Selatan itu. Dan kini apa yang terjadi? Kampus tempat dimana AS pernah dibina dan di didik, juris merah yang pernah "membanggakannya" semuanya pada berpangku tangan, tak ada memberi "support" kepadanya.
Entahlah, saya tidak bisa menembus "kuatnya dinding" suasana kebatinan para petinggi kampus merah; kenapa mereka?
Sepertinya mereka sedang "dikunci mulutnya", "diikat kakinya" agar tidak dapat berteriak dan tidak dapat turun ke jalan untuk memberikan "perlawanan" atas kedigdayaan penguasa yang telah meruntuhkan wibawa KPK. Dan parahnya lagi, ada fakta terkuak di depan mata, terjadi konspirasi penguasa yang "bermain" di belakang layar hingga dapat "menendang" pendekar anti korupsi AS ke kursi pesakitan.
Ataukah, mungkin saya salah. Tolong diluruskan andai saya salah dan dianggap "memfitnah" kalau menaruh dugaan yang keterlaluan. Oleh karena beberapa petinggi di kampus, mereka "dekat" dengan kekuasaan, dekat dengan kepolisian, bahkan tak kurang ada yang sering menjadi saksi ahli terhadap terdakwa pesakitan korupsi. Lalu mereka "terpaksa" memilih jalan aman. Meraka pada memilih "diam" terhadap "kriminalisasi" pendekar anti korupsi itu. Wajarlah mereka bersikap seperti itu. Tak perlulah kita keget. Bukankah "sikap diam" adalah selemah-lemahnya iman?
Lonceng Kematian
Jebakan ini harus diakui, ketika kasus kejahatan masa lalu AS hendak dicari-cari, dan mencuatlah kasus pemalsuan dokumen Kartu keluarga, KTP, tepatnya pemalsuan data di atas akta otentik, yang dapat mengakhiri masa kepemimpinannya di bawah bendera merah putih "bersihkan Indonesia dari laku para koruptor".
Hingga tiba pada suatu hari, saya tidak dapat berkata apa-apa, ketika teman-teman dari berbagai kampus Perguruan Tinggi luar Makassar, seperti Unversitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Andalas. Dari beberapa mahasiswa dan alumninya bertanya ke saya. Mulai via Sms, BBM, FB, hingga E-mail, satu persatu nada pertanyaan mereka sama; kenapa Unhas tidak turun ke jalan memberi respon atas pelemahan KPK yang terjadi akhir-akhir ini? Bukankah AS berasal dari sana, yang nyata-nyata telah dihancurkan kredibilitasnya?