Oleh karena itu, apabila yang dimaksud adalah salah satu saja bentuk penghinaan selain pencemaran. Maka kiranya saat JPU membuat dakwaan wajib menentukan secara tegas bentuk penghinaan yang dimaksudakan dalam kaitannya dengan Pasal 27 ayat 3 UU ITE.
Taruhlah misalnya jika JPU mendakwa Fadli karena menyerang Bupati Gowa dalam kapasitasanya sebagai pejabat, berarti harus menggunakan pasal penghinaan atas kekuasaan umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 270 KUHP. Tetapi jika JPU hanya mendakwa berdasarkan Pasal 27 ayat 3, berarti dakwaan tersebut hanya tertuju pada pencemaran nama baik dan kehormatan yang objek terhinanya adalah individu. Dan hanya Pasal 310 yang bisa dijadkan lex generalis sekaligus penjelasan unsur-unsur lex generalis-nya Pasal 27 ayat 3 UU ITE.
Fadli dan Grup Line
Seandainya, pun Fadli hanya dijerat dengan Pasal 27 ayat 3 UU ITE dalam hemat saya, atas perbuatannya yang menulis kalimat bermuatan pencemaran nama baik atas Bupati Gowa di grup line, tidak dengan serta merta dapat dijerat "dengan terpenuhinya unsur yang berlaku umum atas pencemaran nama baik (dengan tulisan atau gambar) yang disiarkan, dipertunjukan pada umum dan atau ditempelkan maka yang berbuat itu dihukum karena menista berdasarkan Pasal 310 ayat 2 KUHP."
Hal ini bersandar pada argumentasi hukum; Pertama, perbuatan menyebarkan, mempertunjukan dan menempelkan tulisan untuk diketahuinya umum yakni perbuatannya sudah terpenuhi pada waktu perbutan tersebut diwujudkan. Dan orang lain (umum) sudah mengetahu isinya tulisan. Beda halnya pada saat menulis di grup line, tertutup untuk diketahuinya oleh umum, hanya dapat diakses olah beberapa orang. Group line yang menjadi ruang menulis Fadli hanya terdiri dari 7 orang. Maka unsur agar perbutan mencemarkan itu diketahui oleh orang lain/umum tidak terpenuhi.
Kedua, saat Fadli menulis kalimat penghinaan terhadap Bupati Gowa, hanya ditujukan pada orang tertentu di grup line. Sedangkan perbuatan menyebarkan, mempertunjukan dan menempelkan tulisan sebagaimana yang dimaksud Pasal 310 ayat 2, perbuatan tersebut pada waktu itu juga, dari awal sudah terpenuhi kehendak yang disengaja untuk ditujukan pada siapapun (umum).
Ketiga, perbuatan Fadli yang menuliskan kalimat pencemaran nama baik atas Bupati Gowa di grup line, belumlah tersebar dalam wilayah umum. Kecuali Fadli atau ada orang lain (orang kedua) misalnya yang menyebarkan konten tersebut, baik secara manual maupun melalui media ITE (facebook, twitter, website dsb) maka maksud untuk diketahui umum pasti sudah terpenuhi.
Pertanyaan selanjutnya yang sudah pasti mengusik "logika hukum" kita, dari mana sebenarnya asal-muasal Bupati Gowa dapat mengetahui kalau ada seorang Pegawai Negeri yang beranama Fadli Rahim mencemarkan nama baiknya, padahal tulisan penghinaan di grup line tidak bisa diakses oleh Bupati, dan tidak bisa diakses oleh umum?
Penalaran dalam spektrum  hukum pidanapun dapat memberi jawaban, bisa saja Fadli maupun orang lain yang menyebarkannya melalui sarana/media sosial terbuka. Bisa pula secara langsung dan tidak langsung (tulisan fadli di print out misalnya) oleh Fadli atau orang lain yang menyebarkannya ke wilayah umum, sehingga Bupati Gowa akhirnya mengetahui tulisan Fadli di grup line yang bermuatan pencemaran nama baik.
Kalau seperti ini jadinya, jika Fadli yang menyebarkannya maka dapat dipidana berdasarkan Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Tetapi kalau orang lain yang melakukannya maka orang tersebutlah yang seharusnya berada dalam jerat Pasal 27 ayat 3 dengan syarat menyebarkannya melalui ITE. Dan kalau disebarkan melalui sarana manual (seperti diperlihatkan langsung isi tulisan di grup line itu kepada orang lain. atau di prin out terlebih dahulu), maka orang lain yang menyebarkan konten pencemaran  nama baik hanya terancam dengan Pasal 310 ayat 1 dan ayat 2 KUHP saja. (*)
Arikel Ini Sudah Muat di Harian Fajar 30 Desember 2014