Mohon tunggu...
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Damang Averroes Al-Khawarizmi Mohon Tunggu... lainnya -

Hanya penulis biasa yang membiasakan diri belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Penetapan Tersangka Bukan Wewenang Praperadilan

10 Februari 2015   20:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:29 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14235483582110881808

[caption id="attachment_350365" align="aligncenter" width="398" caption="Sumber: bisnis.com"][/caption]

Dalam dua pekan terakhir, sidang praperadian Komjen Pol. Budi Gunawan (BG) banyak menyita perhatian publik.  Apalagi hasil persidangan ini juga "ditunggu-tunggu" oleh Presiden Jokowi untuk memastikan;  melantik atau membatalkan BG sebagai Kapolri.

Berdasarkan hasil persidangan praperadilan yang dihelat pada senin 9 Februari 2015 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Perwakilan hukum KPK telah memenuhi kewajiban untuk menghadiri sidang praperadilan yang menempatkannya sebagai termohon praperadilan. Oleh pemohon; BG melalui kuasa hukunya, telah membacakan beberapa keberatannya atas segala tindakan dan kewenangan KPK yang dianggap telah melanggar hak-haknya. Dan Pada hari  yang sama, pihak termohon KPK dalam kapasitasnya sebagai penyidik telah mengajukan juga bantahan atas keberatan pemohon a quo.

Dari hasil pengajuan permohonan kuasa hukum BG, ada satu peristiwa hukum in concreto menarik untuk ditelaah dalam spektrum hukum acara pidana sebagai bingkai wewenang praperadilan. Benarkah penetapan status tersangka karena bukti permulaan yang wajib untuk memenuhi dua alat bukti minimum kuantitatif diabaikan oleh penyidik KPK sehingga selanjutnya bisa "diuji" dalam forum praperadilan? Ternyata KUHAP secara limitatif memberikan batasan ketat untuk menjadi alasan praperdilan, kiranya permohoan tersebut dapat dikabulkan.

Tidak Berwenang

Pada hakikatnya wewenang praperadilan "terkunci" dalam empat alasan. Yaitu: sah tidaknya penangkapan dan atau penahanan; sah tidaknya penghentian penyidikan dan atau penghentian penuntutan; ganti rugi atau rehabilitasi atas upaya paksa (berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, pemasukan rumah, dan penyitaan); dan sah atau tidaknya penyitaan.

Permohonan Praperadilan BG sepintas lalu memang tidak mempermasalahkan sahnya penangkapan atau penahanan, sebab memang tidak pernah ditangkap dan ditahan. Hanya mempermasalahkan pencekalan atas dirinya yang kemudian dianggap sama halnya dengan proses penahanan. Tapi sayangnya, oleh KUHAP tidak secara tegas terdapat ketentuan yang menjelaskan lebih lanjut; apakah pencengkalan merupakan bagian dari bentuk penahanan terhadap tersangka?

Lebih lanjut, permohonan praperadilan BG sebetulnya menitikberatkan pada tuntutan ganti kerugian karena penetapan statusnya sebagai tersangka. Tidak sahnya penetapan status tersangka ini dipermasalahkan oleh karena bukti permulaan yang dimiliki oleh KPK berupa LHA PPATK dan data elektronik berikut tidak masuk sebagai terpenuhinya "bukti pemulaan" minimum dua alat bukti.

Selain itu, sebagaimana yang dibacakan dalam permohonannya, kuasa hukum BG juga merasa tuntutan ganti rugi kiranya dapat dilakukan karena tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan (vide: Pasal 95 ayat 1 KUHAP). In casu a quo frasa 'tindakan lain" ini ditafsirkan sebagai penetapan status tersangka tidak layak (baca: tidak sah), oleh karena bukti permulaannya tidak terpenuhi. Tapi sayang sekali, mungkin saja kuasa hukum BG tidak jeli atas penjelasan frasa "tindakan lain" dalam ketentuan tersebut, sehingga ditafsirkan hanya untuk menguntungkan semata kliennya. Padahal secara "ketat" tindakan lain sudah dijelaskan dalam KUHAP "kerugian karena tindakan lain adalah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan, dan penyitaan tidak sah menurut hukum." Itu artinya pemaknaan tindakan lain sebagai penetapan tersangka yang tidak sah sudah pasti terjadi kesalahan tafsir. Sehingga kesimpulan yang dapat ditarik, bahwa penetapan status tersangka sama sekali keluar kotak (out of the box) dari limitasi wewenang praperadilan.

Buktikan di Pengadilan

Terhadap perdebatan yang selama ini, khususnya banyak terjadi di kalangan praktisi hukum, bahwa sebaiknya dalam proses penyidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan termasuk dasar menetapkan tersangka seharusnya yang menjadi pegangan untuk melakukan pengawasan vertical (antara penyidik dan calon tersangka) yakni hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum (vide: Pasal 28 D ayat 1 UUD NRI 1945). Oleh karenanya jika ada yang ditetapkan sebagai tersangka padahal "bukti permulaannya" patut dipertanyakan, tidak ada konfrontasi antara calon tersangka dengan alat-alat bukti yang dikategorikan bukti permulaan. Adalah termasuk pengabaian hak perlindungan hukum bagi tersangka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun