Pada saat saya pertama kali menjadi Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Solok Sumatera Barat tahun 2010, ada beberapa progres utama yang menjadi perhatian khusus saya menyangkut dengan kebudayaan. Salah satunya adalah bagaimana mengembalikan nama nagari kepada nama aslinya. karena nama nagari sangat berkaitan erat dengan sejarah terjadinya nagari tersebut. Banyak nama-nama nagari yang di "Indonesiakan", sehingga kehilangan makna, filosofi dan sejarah nagari itu sendiri. Â Hal itu diperlukan guna lebih mempertegas identitas keminangkabauan. Di KabuÂpaten Solok, misalnya, ada nama nagari Koto Lawas, Saok Lawas, Batang Barus, Indudur dan sebagainya. Padahal, dulunya nagari tersebut bernama Koto Laweh, Saok Laweh dan Batang Baruih serta Indudue
Perobahan nama-nama Nagari tersebut, disebabkan karena dulunya di Sumatera Barat dilebur menjadi pemerintahan desa. Setelah otonomi daerah dan semaÂngat babaliak ka nagari di Sumatera Barat, dibentuk pemerintahan nagari, sayangnya belum diiringi dengan kebijakan menggunakan nama nagari yang asli.
Perubahan nama nagari menjadi keindonesiaan, merupakan proses yang lahir karena tuntutan zaman. Perubahan yang disebabkan kebijakan pemeÂrintah yang lebih tinggi, tetap sesuatu yang harus kita hormati. NaÂmun, guna lebih mengembalikan identitas keminangkabauan, pengemÂbalian nama nagari itu merupakan hal yang wajar-wajar saja. Bahkan, menÂjadi keharusan dalam rangka menggerakkan partisipasi masyarakat dalam melakukan pemÂbangunan.
Makanya dalam Rancangan Pembangunan Jangka MeÂneÂngah Daerah (RPJMD) Kabupaten Solok 2010-2015, pengembalian nama nagari merupakan prioritas bagi saya untuk dilaksanakan. Pengembalian nama nagari tersebut, selain mengembalikan jati diri, sekaligus meningkatkan kesadaran sejarah yang akan bermuara pada kebersamaan dalam membangun nagari.
Mengembalikan nama nagari ke asalnya, agar semangat keminangÂkaÂbauan kian kental di masyarakat. Harus diakui, ketika melafazkan nama naÂgari seperti Koto Lawas, Saok Lawas, terasa janggal kedengarannya. Beda jika dilafazkan dengan Koto Laweh maupun Saok Laweh, kuat sekali makna Minangkabau terkandung di dalamnya. Apalagi nama Kubu Kerambil, Ikur Koto dan lain sebagainya. Padahal nama aslinya dalah Kubu Karambie, Ikua Koto.
Mengembalikan nama nagari ke asalnya, tentu tak bisa berdasarkan kehendak pemerintah. Rencana itu harus ditunjang dukungan yang kuat dari masyarakat. hal ini selalu saya sosialisasikan kepada masyarakat, dan alhamdulillah masyarakat menyatakan dukungan terhadap gagasan dan rencana tersebut.
Mengembalikan nama nagari ke asalnya, tentu tak semua bisa dilakuÂkan. Bila nama nagari yang dipakai sesuai dengan aslinya, maka tak perlu utak-atik lagi. Misalnya Nagari Alahan Panjang, Sungayang, Koto Kaciak dan lain sebagainya. Ini perlu dipertegas, agar jangan terjadi polemik di kemudian hari.
Nama nagari yang perlu dikembalikan ke asalnya, adalah nama nagari yang berafiliasi dengan penggunaan Bahasa Indonesia yang mengakibatkan ciri khas Minangkabau jadi pudar. Contoh lain, Nagari Sulik Aie, karena diindonesiakan menjadi Sulit Air. Lubuk Sikaping harusnya Lubuak Sikapiang dan lain-lain.
Pengembalian nama nagari bukan saja untuk menggerakkan potensi masyarakat. juga menciptakan Identitas yang kuat. Dengan identitas yang kuat, dengan sendirinya juga akan memunculkan tanggung jawab menjaga nama baik nagari. Inilah sesuatu yang positif. Bila masyarakat menjaga nagari, maka perbuatan yang mendatangkan kerusakan nama baik nagari, pasti tak dilakukan.
Masyarakat pasti tak rela nama nagari dirusak hal-hal yang bertentangan dengan hukum dan aturan. Dengan sendirinya, keamanan dan ketertiban di nagari terjaga. Masyarakat akan hidup tenang dan damai di nagari. KedaÂmaian dan kerukunan merupakan pilar penting dalam pembangunan. Masyarakat yang damai mudah digerakkan untuk membangun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H