Mohon tunggu...
080_Fahish Akbar Laksmana
080_Fahish Akbar Laksmana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional UPN “Veteran” Yogyakarta

Seorang mahasiswa yang tertarik dibidang kepemimpinan dan pengembangan diri

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Isu Sekuritisasi Ketahanan Pangan: Krisis Kelaparan Papua

3 Desember 2023   21:19 Diperbarui: 3 Desember 2023   21:28 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Isu Sekuritisasi Ketahanan Pangan: Krisis Kelaparan Papua
 
Ketahanan pangan menjadi sorotan utama dalam kerangka pembangunan global, terutama dengan meningkatnya tantangan seperti perubahan iklim, urbanisasi, dan ketidakpastian ekonomi. Isu ini tidak hanya mempengaruhi sektor pertanian dan produksi pangan, tetapi juga mencakup aspek distribusi yang merata, aksesibilitas pangan, dan keberlanjutan sistem pangan secara menyeluruh.
 
Ketersediaan pangan, pengetahuan gizi masyarakat, aspek sosial-budaya, kondisi ekonomi, dan faktor lingkungan adalah beberapa elemen yang memiliki potensi untuk mengakibatkan variasi dalam pola konsumsi suatu komunitas. Beberapa penelitian empiris terkait pola konsumsi pangan di Indonesia menunjukkan bahwa dinamika konsumsi pangan cenderung bervariasi berdasarkan lokasi geografis (perkotaan dan pedesaan), musim, serta karakteristik sosial-ekonomi. Secara umum, wilayah pedesaan sering berperan sebagai konsumen sekaligus produsen pangan, sementara wilayah perkotaan lebih cenderung sebagai konsumen. Perbedaan tipe wilayah, baik pedesaan maupun perkotaan, juga dapat memberikan dampak signifikan terhadap pola konsumsi pangan karena disparitas pendapatan antara keduanya. Tingkat pendapatan ini menjadi penentu daya beli masyarakat dan mampu menentukan jenis pangan apa yang dapat diakses dan dikonsumsi oleh mereka.
 
Kelaparan di Papua Barat
Kelaparan di Papua merupakan realitas yang menghadang masyarakat di wilayah ini, meskipun memiliki potensi alam yang melimpah. Kondisi geografis yang sulit, dengan hutan hujan yang lebat, sungai yang dalam, dan pegunungan, menciptakan tantangan besar dalam distribusi pangan. Keterpencilan geografis ini menjadi penghambat utama dalam mengalirkan pasokan pangan dari produsen ke konsumen. Proses distribusi yang lambat mengakibatkan keterlambatan dalam penanganan kelaparan dan membuat pasokan pangan tidak selalu dapat mencukupi kebutuhan masyarakat.
 
Keterbatasan infrastruktur juga memperparah masalah kelaparan di Papua. Akses yang terbatas ke jalan raya dan sarana transportasi lainnya membuat distribusi pangan dari daerah penghasil menjadi sulit. Hambatan logistik ini tidak hanya menyebabkan kenaikan harga pangan tetapi juga menghambat ketersediaan pangan untuk masyarakat yang membutuhkan. Infrastruktur yang kurang memadai menciptakan situasi di mana pasokan pangan tidak dapat dikelola secara efisien, meningkatkan risiko kelaparan di berbagai daerah di Papua.
 
Selain itu, ketidaksetaraan sosial dan ekonomi antara wilayah pedesaan dan perkotaan juga turut berkontribusi pada kondisi kelaparan di Papua. Disparitas ekonomi yang signifikan antar kedua wilayah ini mempengaruhi daya beli masyarakat. Tingkat pendapatan yang rendah di beberapa daerah membuat sulit bagi penduduk setempat untuk membeli pangan yang cukup dan bergizi. Ketidaksetaraan ini menciptakan celah dalam akses terhadap pangan, meningkatkan risiko kelaparan terutama di kalangan masyarakat yang kurang mampu.
 
Ribuan jiwa terancam oleh bencana kelaparan di Papua, mengguncang wilayah Distrik Agandugume dan Distrik Lambewi di Kabupaten Puncak, Papua Tengah. Dilaporkan bahwa setidaknya 7.500 warga berisiko menjadi korban, dengan lima orang dewasa dan satu bayi telah kehilangan nyawa akibat bencana yang dipicu oleh kombinasi kekeringan dan suhu ekstrem yang melanda daerah tersebut. Data ini diperoleh dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Puncak, yang melakukan pemantauan dan pendataan kejadian tersebut pada Minggu, 30 Juli 2023.
 
Pemerintah Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah, menjelaskan bahwa ancaman kelaparan ini telah muncul sejak bulan Juni 2023. Bupati Puncak, Willem Wandik, mengungkapkan bahwa bencana kekeringan yang terjadi merupakan bagian dari siklus tahunan yang terjadi dalam rentang waktu Mei hingga Agustus. Kondisi ini diakibatkan oleh cuaca ekstrem yang memberikan dampak berupa suhu yang rendah dan minimnya curah hujan di wilayah tersebut.
 
Bencana kelaparan di Papua bukanlah kejadian yang baru, melainkan sebuah tantangan yang dihadapi setiap tahun sebagai akibat dari perubahan cuaca ekstrem. Bupati Wandik menekankan perlunya upaya bersama dari pemerintah, organisasi kemanusiaan, dan masyarakat untuk memberikan bantuan segera kepada mereka yang terdampak dan merancang solusi jangka panjang guna mengurangi dampak bencana yang mungkin timbul pada masa mendatang. Keberlanjutan dan ketahanan masyarakat setempat menjadi fokus utama dalam menanggapi krisis kelaparan yang melanda Papua.
 
Lantas, Apa Peran Masyarakat Internasional?
Ketidakamanan pangan di wilayah seperti Papua Barat, Indonesia, menuntut tindakan berskala internasional untuk mengatasi tantangan yang dihadapi. Dalam konteks ini, beberapa upaya internasional kunci telah diidentifikasi untuk meredakan krisis pangan global dan mencapai ketahanan pangan yang lebih berkelanjutan.
 
Salah satu aspek penting adalah bantuan kemanusiaan, yang diberikan oleh organisasi seperti World Food Programme (WFP). Bantuan ini mencakup distribusi pangan dan bantuan uang tunai yang sangat dibutuhkan oleh jutaan orang di seluruh dunia yang rentan terhadap ketidakamanan pangan.
 
Penyelesaian konflik juga muncul sebagai elemen krusial dalam menangani ketidakamanan pangan, mengingat hampir 60% dari populasi yang paling kelaparan tinggal di zona yang terkena dampak konflik. Memecah siklus konflik dan kelaparan menjadi langkah yang sangat penting untuk mencapai tujuan ketahanan pangan.
 
Upaya untuk meningkatkan keberlanjutan dan ketahanan terhadap perubahan iklim juga menjadi fokus utama. Investasi dalam varietas tanaman baru, perbaikan pengelolaan air, dan penyebaran informasi kepada petani menjadi strategi penting dalam membangun fondasi ketahanan pangan yang lebih kokoh.
 
Selanjutnya, menjaga perdagangan terbuka, termasuk di dalam wilayah, dianggap sebagai langkah yang sangat penting. Hal ini memungkinkan aliran pangan dari daerah surplus ke daerah yang membutuhkan, sementara langkah-langkah proteksionis seperti larangan ekspor dapat memperburuk krisis pangan. Selain itu, tentu saja dukungan keuangan juga menjadi kunci untuk menangani krisis pangan segera. Komunitas internasional diharapkan untuk memastikan ketersediaan dana yang diperlukan dan mengimplementasikan langkah-langkah fiskal domestik yang efektif untuk melindungi yang paling rentan dari dampak krisis, terutama inflasi.
 
Para pembuat kebijakan di seluruh dunia juga diminta untuk memprioritaskan langkah-langkah untuk melawan inflasi dan melindungi yang paling rentan sebagai bagian integral dari strategi penanggulangan krisis biaya hidup. Semua upaya ini, bersama dengan inisiatif lainnya, menjadi kunci dalam menanggapi ketidakamanan pangan, bukan hanya di Papua Barat, Indonesia, tetapi juga di wilayah rentan lain di seluruh dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun