Mohon tunggu...
APRILIA CRISTY RAJAGUKGUK
APRILIA CRISTY RAJAGUKGUK Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Seorang mahasiswi yang memiliki minat terhadap Data Analyst

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Alih-Alih Menyempurnakan Standar Kecantikan, Beauty 4.0 Justru Menyebabkan Body Dysmorphic Disorder?

8 Juni 2024   14:59 Diperbarui: 8 Juni 2024   15:07 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Cantik. Apa yang ada dibenak kita saat mendengar kata cantik? Apa definisi dari cantik? Bagaimana cara kita mengemukakan kata cantik dalam hidup kita?. Kata yang terdiri dari 6 huruf itu sering menjadi isu kontroversial. Bagaimana tidak? Sangat sulit rasanya untuk mengemukakan secara gamblang standar kecantikan itu seperti apa, banyak jawaban dari mereka menyatakan bahwa cantik itu relatif. Jawaban ini bukanlah jawaban salah tetapi juga bukan jawaban benar karena pada dasarnya definisi cantik telah berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangannya.

Pada era 4.0 ini telah melahirkan revolusi industri 4.0 yang diikuti lahirnya beauty 4.0. Jika dilihat dari definisinya, industri 4.0 merupakan perkembangan industri negeri dengan menitikberatkan pada teknologi digital (Artificial Intelligence) begitupula dengan beauty 4.0 yang merupakan perkembangan standar kecantikan dengan menitikberatkan pada teknologi digital. Teknologi digital yang diartikan disini adalah media sosial termasuk campur tangan netizen sebagai subjek pengoperasian media sosial tersebut di dalamnya.

Pada dasarnya, beauty 4.0 memiliki harapan yang positif terutama bagi dokter estetika. Beauty 4.0 menjadi tantangan tersendiri bagi dokter estetika, jika dahulu banyak klien yang patuh terhadap anjuran dokter saat ini klien mempunyai keinginan tertentu yang semestinya dipenuhi oleh dokter (Revitasari, 2019). Beauty 4.0 juga memiliki tujuan agar semakin banyak pihak yang tidak lagi tabu dengan perawatan melainkan berlomba-lomba untuk berbagi di sosmed agar mendapat likes, comments agar pihak-pihak tersebut mendapat kesempatan menerima dan melakukan endorsement dari klinik kencantikan. Hal ini akan membawa dampak yang lebih menguntungkan lagi dari kegiatan perawatan tersebut.

Namun, harapan ini terasa tertimbun karena pada kenyataannya pengaplikasian dari beauty 4.0 ini tidak terlaksana dengan baik. Beauty 4.0 seolah-olah membuat kecantikan ditentukan dari perkembangan dan opini yang ada di media sosial sebagai tempat perkembangannya. Standar kecantikan menurut netizen adalah mereka yang memiliki kulit putih, mulus, tidak ada bercak noda pada wajahnya, hidung mancung, rahang berbentuk V sebagai pengaruh K-Beauty dan masih banyak lagi.

Standar kecantikan netizen ini juga diperkuat dengan adanya filter-filter pemercantik diri yang ada di media sosial, filter yang menjadikan wajah manusia tidak ada cacat (Juniman, 2019). Banyak orang pun berlomba-lomba untuk mempercantik diri sesuai dengan filter tersebut pada dokter estetika. Namun, jika usaha mempercantik diri tersebut tidak sesuai dengan standar kecantikan netizen maka mereka akan mendapat respon negatif atas usahanya tersebut seperti yang terjadi pada beberapa public figure yang dianggap mereka hendak mengikuti perkembangan zaman melalui dunia kecantikan namun ternyata dari hasil usahanya tersebut tidak membawa respon yang positif positif dari netizen. Publlic figure tersebut antara lain yaitu Mayang (adik Vanessa Angel), Roy Kiyoshi, Permesta Dhyaz (anak Farida Nurhan), di mana ketiga orang ini melakukan operasi wajah untuk menyempurnakan bentuk wajah mereka namun ternyata netizen beranggapan lain, netizen menganggap bahwa apa yang mereka lakukan bukan menyempurnakan bentuk wajah tetapi malah membuatnya menjadi ‘aneh’. Hal yang seperti inilah yang sedang menjadi fenomena baru di media sosial Indonesia yang dikenal dengan sebutan Fear Of Missing Out (FOMO). FOMO merupakan kondisi seseorang yang cemas dan khawatir kehilangan momen/tren/keadaan/kehidupan yang sedang dinikmati orang lain (Fadli, 2023). Jika tidak dikontrol FOMO akan memicu gangguan kesehatan mental.

Seorang psikolog klinis bernama Inez Kristanti mengatakan bahwa pada orang yang rentan, kecenderungan membandingkan diri dengan melihat keadaan orang lain dan menjadikannya standar akan memicu gangguan kesehatan mental yang disebut body dysmorphic disorder (Juniman, 2019). Mengapa terjadi demikian? Hal ini disebabkan karena individu tertentu tidak bisa mengontrol sikap FOMO-nya cenderung mengalami kecemasan, stress, perasaan tidak puas, kepercayaan diri yang kurang karena mereka merasa bahwa kehidupan orang lain jauh lebih sempurna daripada kehidupan mereka dan mereka harus memenuhi ketidaksempurnaan dalam hidup mereka yang pada realitanya tidak mereka kenali, hal ini yang merupakan definisi dari body dysmorphic disorder. Gangguan ini bukan hanya berdampak pada dirinya sendiri melainkan juga berdampak bagi orang lain di sekitar mereka saat orang terdekatnya tidak menjadi dirinya sendiri.

Untuk mencegah hal ini terjadi dalam diri kita yang setiap hari pastinya kita memiliki waktu untuk membuka dan menggunakan media sosial, adakalanya kita semestinya lebih bijak dalam menyikapi tren-tren yang ada di dalamnya, membentuk pola pikir dalam diri sendiri untuk dapat mengenali dan memahami lebih dalam diri kita sendiri, serta membangun body image yang positif di lingkungan masyarakat sekitar.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun