Mohon tunggu...
Erni Aladjai
Erni Aladjai Mohon Tunggu... lainnya -

Erni Aladjai, Lahir di Banggai Kepulauan 7 Juni. Dia menulis, bertani, memotret, meriset. Buku-bukunya yang sudah terbit; Pesan Cinta dari Hujan (InsistPress, 2010), Ning di Bawah Gerhana (BPE, 2013), Kei (GagasMedia, 2013) dan Dari Kirara untuk Seekor Gagak (Gramedia, 2014). ernialadjai.net

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sekolah Negeri Tanpa Guru, Tanpa Perpustakaan

9 Mei 2010   12:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:19 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_137105" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com/Dhoni Setiawan)"][/caption] Tanpa guru, tanpa laboratorium, tanpa perpustakaan, tanpa WC. Inilah sekolah SMA Neg 1 Labobo, Kab Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. Sekolah ini berlokasi di Desa Lipulalongo, Kec Labobo. Sudah dua tahun berdiri, tetapi sekolah ini hanya memiliki dua ruang kelas. Sekilas bangunan ini tak tampak seperti sekolah, sebab papan nama atau tembok nama tak berdiri di halaman. Satu-satunya penanda jika itu adalah bangunan sekolah hanyalah tiang bambu rapuh dengan bendera merah-putih berkibar di atasnya. Mula-mula, Masrito Sabina - kepala desa Lipulalongo bersama beberapa warga desa mengobrol, obrolan itu berlangsung di suatu malam di tahun 2007. Inti obrolan tentang harapan mereka akan adanya sekolah menengah atas negeri di desa itu, pasalnya, selama berpuluh-puluh tahun anak-anak di desa itu, usai dari SMP Neg 1 Labobo mesti berangkat jauh-jauh ke kota kabupaten untuk melanjutkan sekolah. Gayung bersambut, Masrito mendengar kabar kalau bupati akan membangun sekolah-sekolah di seluruh kecamatan. Mengantongi harapan itu, Masrito, Imam Desa Lipulalango dan dua warga lainnya berangkat ke Salakan, mereka menemui bupati di sana. Saat itu kondisi sedang sensitif, kantor bupati dijaga ketat sejumlah polisi. Nama bupatinya Irianto Malinggong. Orang nomor satu di Salakan ini, mestinya bertanggung jawab pada pasal tak jelas mengenai pemindahan kabupaten, yang berimbas pada kerusuhan di Kab.Banggai, kota mungil itu penuh dengan darah dan amarah. Korbannya tak lain warga biasa, polisi ketika itu tak tangung-tanggung menembak warga di jalanan. Ketika ditemui, bupati meminta Masrito dan rekan-rekannya menghadap kepala dinas pendidikan dan Olahraga (Dikpora). Namanya Drs Anwar Hasan. Kata Anwar, sekolah menengah atas negeri bisa didirikan di sana, asal warga desa Lipulalongo menyiapkan lahan seluas dua hektar sekaligus bersertifikat. Masrito dan rekan-rekannya pun kembali pulang ke Desa Lipulalongo. Sebagai kepala desa, ia prihatin dengan anak-anak di desa itu yang mesti lanjut jauh-jauh ke kota kabupaten. Maka ia kumpulkan warga untuk saweran dana. Lahan untuk bangunan sekolah mesti ada terlebih dahulu. Dari Saweran seluruh warga terkumpul 30 juta. Uang itulah yang dipakai untuk pembebasan lahan bersertifikat. Lahan kebun kelapa milik salah-satu warga dibeli swadaya warga satu desa. Warga desa lantas bergotong royong membabat alas, menebang pohon, dan menyensor pohon-pohon kelapa. Setahun kemudian sekolah pun berdiri dengan dua ruang kelas yang diperuntukkan untuk kelas satu dan kelas dua. Tahun 2008 berlalu, 2009 juga berlalu, kondisi bangunan masih sama. Tetap dengan dua ruang kelas. Pemerintah daerah tak peduli. Siang dengan terik menggigit, saya bertandang ke SMA Neg 1 Labobo, siswa-siswa kala itu sedang belajar. Aroma laut berhembus sekitar satu meter dari belakang sekolah. Ilalang dan pohon-pohon kelapa mengurung sekolah ini. Sekolah ini terletak di pinggiran hutan dan pesisir. Untuk menuju ke sana bisa ditempuh sejauh 5 km dari perkampungan. Tetapi jika ingin cepat sampai, siswa-siswa lebih memilih melewati jembatan bambu sepanjang 150 meter melewati rawa dan hutan bakau. Jembatan bambu itu sudah rapuh. Sewaktu-waktu kaki anak-anak sekolah bisa terperosok di sana. Dua ruang kelas, dengan kantor guru yang beratap daun sagu dan berdinding anyaman bambu. Basrin Yadia S.Pd adalah kepala sekolah di SMA itu. Hanya ia seorang diri yang tercatat resmi bertugas di sekolah itu. SMA ini tak punya satupun guru, agar proses belajar-mengajar berlangsung, guru-guru yang mengajar di SMP Neg 1 Labobo diminta datang membantu mengajar. Tak heran jika sekolah ini hidup pada jam-jam sembilan hingga sepuluh pagi, guru-gurunya berangkat terlebih dahulu ke SMP barulah ke SMA ini. Sudah dua tahun berlangsung begitu. Guru-guru ini diupah Rp 75 ribu per bulan. Dua tahun ini tak ada subsidi dari pemerintah, honor guru hanya bergantung pada Bantuan Operasional Murid (BOM). Setiap bulan siswa membayar SPP Rp 25 ribu. "Kadang-kadang ada rasa penyesalan bersekolah di sekolah yang tak punya fasilitas ini, tak punya guru, tetapi kalau bukan anak-anak desa ini yang bersekolah di sini, siapa lagi? Dengan kondisi begini maka kita sebagai siswa harus berusaha mencari," tutur Sulastri (17 tahun) siswa kelas satu di SMA itu. Sulastri juga mengungkapkan guru-guru yang mengajar di sekolah itu, kemampuan mengajarnya masih kurang, lantaran mereka adalah guru SMP bukan guru SMA. "Kemampuan guru-guru dalam mengajar masih kurang lantaran yang mengajar kami adalah guru-guru SMP," terangnya pada saya. Di jam-jam istirahat lantaran tak punya perpustakaan, kebanyakan siswa hanya menghabiskan waktu dengan bergosip dan membicarakan pesta kawinan dan sunatan yang mereka datangi, sebagian lainnya duduk di bawah pohon kelapa membaca kembali catatan pelajarannnya. "Sudah banyak janji-janji untuk penambahan ruang di sekolah ini, dulu anggota dewan pernah berjanji menambahkan ruang kelas, dinas pendidikan dan pemda juga berjanji untuk memberikan fasilitas di sekolah ini, tetapi hingga sekarang tak ada buktinya," ungkap Basrin B Yadia. Sejumlah anak-anak dari desa tetangga, seperti ; Desa Alasan, Desa Padingkian, Desa Lalong, Desa Talas dan Desa Paisulamo juga bersekolah di sekolah ini. Sekolah ini adalah harapan anak-anak desa lainnya. "Harapan saya, pemerintah kabupaten memerhatikan kondisi sekolah ini, tolong sekolah ini difasilitasi dan diberi guru tetap!" ungkap Basrin. Kabar yang beredar, tahun ini pembanguna SMA Negeri 1 Labobo bakal dilanjutkan, tetapi pemerintah-pemerintah yang berasal dari Desa Mansalean tak setuju. Berbicara soal Desa Mansalean dan Desa Lipulalongo serupa mengungkit luka lama. Konflik politik pernah melanda kedua desa ini. Ibu kota kecamatan yang semula bertempat di Desa Lipulalongo tiba-tiba tanpa arahan resmi dari pemerintah kabupaten dan provinsi beralih ke Desa Mansalean. Pemindahan kecamatan terjadi secara absurd. Pembakaran kantor kecamatan di Desa Lipulalongo, warga hidup dalam selaput ketakutan, kaum lelaki berjaga-jaga sepanjang malam di batas-batas desa. Hingga hari ini kecemburuan sosal desa "tetangga" masih berlangsung, diam-diam sebagian pembangunan yang masuk ke Desa Lipulalongo digunting oleh orang-orang yang mendendam tak jelas. Bagi saya, jika kabar itu benar, ini sungguh lucu dan tak dewasa, kemajuan pendidikan hingga ke pelosok adalah semua orang. Hingga hari ini, 48 siswa di sekolah itu tetap semangat belajar. Sebentar lagi ujian semester dimulai. Siswa kelas dua akan naik ke kelas tiga, sayang, ruang belajar untuk kelas tiga belum ada. Semoga pemerintah tak lupa!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun