Mohon tunggu...
Aliyatil Hamdaniati
Aliyatil Hamdaniati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Pecandu genre time travel dan fantasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cakrawala -18

13 Desember 2022   18:20 Diperbarui: 13 Desember 2022   18:47 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku benar-benar disini, menatap sendu sebuah pusara yang nisannya sudah tak terbaca. Tidak ada yang berubah, kecuali dia. Entah apa yang bisa kulakukan untuk melepas rindu padanya.

Aku masih ingat tepat 5 tahun lalu, kita dipertemukan oleh semesta. Dua mata yang menatap pada ayar, seakan berbicara bahwa kita harus mengganti arah. Bukan lagi air tenang dibawah sana, namun mengarahkan netra tepat pada kornea. Disana kami berjumpa, dibawah pohon rindang dekat Danau Anumerta.

Aku terkejut, seseorang yang kulihat dipantulan danau tidak ada disampingku. Berkali-kali memastikan, hingga timbul sunggingan tipis dari bibirnya. Alamak jang bulu kudukku merinding.

“Aku sudah menduganya, kau pasti bereaksi seperti itu.” Helaan nafas serta suara dari jarak yang terbilang dekat mengganggu pendengaranku. Mencoba tetap tenang meskipun rasanya kaki ini sudah lemas, untuk berlari pun sudah tidak mampu.

“Jangan takut, apa yang kau lihat di air memang nyata, indera mu tidak menipu. Dulu aku sama sepertimu. Jarang sekali ada manusia kesini, tapi lihatlah dirimu sudahlah datang saat senja, sendirian pula.”

“Astaga dia bilang apa tadi? Manusia?” batinku menyauti suara tadi.

Aku sampai lupa dengan keistimewaan yang ku punya. Selama ini tidak ada yang tau tentang itu. Meskipun aku bisa melihat makhluk-makhluk disini, bukankah aku sudah berpura-pura agar mereka tidak sadar.

“Bisakah kau membantuku?” Suara yang sama terus saja menggema.

Seperti biasa aku akan mengabaikan suara dari “mereka”, terakhir menyauti malah aku yang kena. Bagaimana tidak, sesosok hantu tiba-tiba memintaku untuk mencari jasadnya. Ternyata hantu itu korban pembunuhan.

Aku menceritakan kepada Vio, kebetulan hanya dia teman yang ku percaya. Kami berdua berusaha mencari tahu asal usul korban, hingga menemukan bukti-bukti. Kasus diusut sampai tuntas. Tidak sampai disitu, pihak pelaku melaporkan kami balik dengan tuduhan pencemaran nama baik.

“Hey, aku tau kau dapat melihat apa yang tidak dapat dilihat orang lain.” Lamunanku buyar, “Apa aku jujur saja ya?” gumamku.

Kepala ini tiba-tiba pening, sontak saja tanganku memegang bagian yang terasa cenat-cenut, selalu saja jouska. Ditambah suara mereka sangat berisik.

“Iya, aku seperti yang kau katakan,” sautku sembari menghela nafas. Responku pasti akan merepotkan nantinya. Namun, melihat mata sendu itu membuatku tidak tega untuk pergi.

“Aku Arsen, sebelum ku ceritakan bukankah lebih baik jika kita saling mengenal.”

Aku bingung dengan makhluk disampingku, jika makhluk lain bisa kulihat secara langsung mengapa dia tidak. Harus menunduk dan melihat danau, barulah keluar wujud aslinya itupun hanya pantulan air.

“Namaku Vanka, langsung saja apa yang bisa ku lakukan?”

“Baik, aku hanya ingin kau memberitahu ibuku, katakan padanya aku sudah tiada. Pusaraku tepat disana.” Arsen menunjuk ke arah Pohon Dedalu Tangis. Jujur saja aku belum melihat makam yang dia maksud, mungkin tertutup karena daunnya sangat lebat.

“Okay, kamu tinggal sebut alamat, semuanya beres.” Ku pikir ini sangat mudah sebelum Arsen berkata, “Aku tidak tahu dimana tepatnya ia sekarang.”

“Tapi aku masih ingat alamat rumah kami,” tambahnya.

Vanka kau berharap apa, didunia ini gak ada yang mudah. Tetapi, setidaknya Arsen mengatakan sebuah alamat sebelum aku benar-benar pulang.

Aku sudah memutuskan untuk membantu makhluk ini, tidak akan ada kata menyerah sebelum bertemu dengan Ibu Nara, nama orang yang harus kucari.

“Jangan terlalu berharap, aku akan menolongmu semampuku. Selebihnya serahkan pada Tuhan,” ujarku padanya.

Aku berkata seperti itu, agar dia tidak menunggu. Langkah kakiku berjalan meninggalkannya, walau berat aku harus tetap pulang ke rumah yang bahkan tidak layak disebut demikian.

***

“Halo Vi, gue punya misi lagi. Janji deh ini yang terakhir,” ucapku.

“OH MY GOD! Gue udah nungguin dari lama, Ka. Bantuin orang tuh seru tau, lu aja yang kadang males.” Vio terdengar sangar girang.

“Inget Vi! Kita bukan bantuin orang!”

“Iya deng, btw kita kudu ngapain nih?, nyari jenazah lagi? atau apaan, Ka?”

“Nih anak kenapa semangat banget deh heran,” tutur batinku.

“Kita bakalan cari orang. Lu beneran se excited ini?”

“Iya dong bestie!, hidup harus penuh tantangan. Kalau gak ada misi beginian pasti bakalan flat.”

***

Sinar sang surya menerobos paksa masuk ke celah-celah kamar. Mau tidak mau aku harus membuka mata. Hari ini kita akan memulai penelusuran. Berbekal alamat, aku dan Vio meluncur ke tempat yang cukup asing bagi kami.

“Ka, lu sadar gak sih alamat yang kita cari tuh pasti ada di google maps,” celetuk Vio sembari menopang dagu.

“Bener juga, ngapain susah-susah tanya orang.” Otak kami memang rada lemot, itu sebabnya baru menyadari sesuatu yang bahkan penting.

Kami melanjutkan perjalanan. Ternyata tempat yang kami tuju berada di sebuah desa dekat perbatasan. Memasuki kawasan yang asri, memunculkan senyum sumringah dua anak remaja. Standar motor matic perlahan ku turunkan, kami berdiri tepat di depan rumah bernuansa klasik.

“Permisi.”

Vio menggoyangkan tanganku sembari berucap, “Ka, tugas kita cuma ngasih tau Bu Nara kalau anaknya udah mampus gitu?”

“Hush, mulut lu. Sopanan dikit kek!” tegasku.

Samar terdengar suara pintu berderit, membuat pandangan kami teralih. Tak lama sosok wanita paruh baya muncul. Kami berdiri cukup lama, hingga wanita ini memelukku tanpa permisi. Ia menangis sambil berkata sesuatu, isak tangis dominan terdengar ditelingaku.

“Maaf, ibu. Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?” tuturku seraya melepas pelukannya.

“Anak saya telah lama hilang, saat melihatmu saya langsung teringat padanya.”

“Kalau boleh tau nama anak ibu siapa ya?” celetuk Vio mewakili rasa penasaranku.

“Arsenio.”

Satu nama yang membuatku dan Vio senang bukan main. Spontan kami melakukan high five andalan. Bagaimana tidak, orang yang kami cari sudah didepan mata. Langsung saja ku sampaikan amanah dari Arsen, rahasia yang selama ini ku simpan rapat-rapat malah ikut terbongkar.

Satu pertanyaan yang belum bisa ku jawab, yakni penyebab Arsen meninggal. Dia tidak memberitahuku sama sekali. Aku dan Viola memutuskan untuk pulang, namun sebelum itu kami berjanji akan mengantar Ibu Nara ke makam anak semata wayangnya.

“Sumpah, kalau kasusnya begini doang mah gue mau bantuin mereka,” ungkapku memecah keheningan.

Kami sedang dalam perjalanan pulang, jujur saja aku belum pernah merasakan arti kata pulang yang sesungguhnya, semenjak ayah dan ibuku pergi. Merasakan pelukan seorang ibu setelah sekian lama, cukup mendamaikan.

“Ka, jangan ngelamun woy. Gue gamau mati muda ya!” pekik Vio.

“Kuping gue sakit tau, lagian gue juga belum siap. Mana kita masih ada janji sama ibunya si Arsen.”

***

Aku kembali menginjakkan kaki disini, dengan senja yang sama. Vio dan Ibu Nara berada di sampingku. Kami menuju pohon yang rimbun, dimana tepat dibawahnya Arsen disemayamkan. Ku lihat air mata deras keluar. Aku hanya bisa mengelus lembut pundak seorang ibu yang kehilangan separuh hidupnya.

Aku pernah diposisi Bu Nara, ditinggalkan selamanya. Aku mendongak menatap Viola, namun dia hanya tertegun.

“Bu, lebih baik kita pulang, hari mulai gelap.”

“Benar kata Vanka, kita bisa kembali kapanpun ibu mau kok,” ucap Vio.

Ibu Nara hanya menganggukkan kepala dan berlalu mengikutiku. Sebelum kami benar-benar pergi, sekilas Arsen Nampak melambaikan tangan dan mengucapkan terima kasih. Sayang, hanya aku yang dapat melihatnya. Namun sepertinya ia tidak mau aku memberitahu sang ibu akan keberadaannya.

***

Aku membawa Ibu Nara pulang ke rumah. Ia terlihat lelah karena terlalu lama menangis. Hanya teh hangat yang bisa kuhidangkan.

“Nak, boleh ibu tanya sesuatu?”

“Boleh, selama saya bisa menjawab,” ujarku.

“Wanita yang ada difoto itu siapa?” ia menunjuk kearah bingkai foto yang menempel ditembok ruang tamu.

“Itu almarhumah bunda saya, namanya Kinanti.”

Kejadian sebelumnya terulang, Ia memelukku bahkan lebih erat. Aku sedikit kebingungan,  namun dengan cepat ia melepas pelukan seraya berkata, “Zilva anakku”. Sudah lama tidak kudengar nama itu, hanya bunda yang sering menyebutnya.

Zilvanka terlalu Panjang untuk sekali ucap, jadi aku meminta semua orang memanggilku Vanka. Caranya mengucap namaku seperti seorang ibu yang merindukan anaknya.

“Kinanti adalah sahabat ibu, dulu dia memohon agar ibu memberikanmu padanya. Dia harus menerima kenyataan bahwa rahimnya tidak berfungsi dengan baik, bundamu bahkan hampir bunuh diri karena depresi,”

“dengan berat hati, ibu mengabulkan permintaan itu. Sejak saat itu Arsen adalah harta satu-satunya yang Ibu punya. Tuhan mengambil Arsen, namun Ia mengembalikanmu,” lanjutnya.

“Jadi Arsen adalah saudara saya?” ucapku memastikan.

“Iya, dia kakak kandungmu.”

Aku langsung berhambur ke pelukan ibu yang telah melahirkanku. Tuhan mengatur skenario yang luar biasa, Ia mempertemukan kami untuk menjelaskan maksud dari semuanya. Mulai saat ini aku bertekad untuk tidak lagi mengabaikan “mereka”.

Biodata

Aliyatil Hamdaniati, mahasiswi psikologi islam UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Pecandu genre fantasi & time traveler.

Email : aliyatil.hamdaniati1114@gmail.com. Instagram : @alytlhmdnt_

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun