Mohon tunggu...
Arunnika syah
Arunnika syah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Sering Caper? Waspada Mengalami Gangguan Mental

15 Desember 2022   08:40 Diperbarui: 15 Desember 2022   09:00 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi -ketika carik perhatian( foto: Cantika.com) 



Beberapa tahun belakangan ini sindrom munchausen sering dibicarakan, terutama setelah sebuah sinetron di Inggris, Hollyoaks, mengangkat sindrom ini. Dalam sinetron Hollyoaks ada salah satu pemain yang menderita sindrom ini dan penonton bisa menonton penderita sindrom munchausen lewat sinetron ini. Walapun di luar negeri sudah ada media yang mengangkat sindrom munchausen ke dalam sebuah karya, di Indonesia sendiri kasus penderita gangguan kesehatan jiwa ini masih belum banyak menjadi pembahasan.

Sampai saat ini, belum ditemukan penelitian yang membahas tentang jumlah ataupun prevalensi penderita gangguan sindrom munchausen. Akan tetapi, para ahli dan tenaga medis menyebutkan bahwa sindrom jenis ini jarang sekali terjadi. Penderita gangguan kesehatan jiwa satu ini umunya orang yang memasuki rentang awal usia dewasa, atau orang dengan rentang usia remaja akhir. Namun, tidak menutup kemungkinan pula gangguan ini terjadi pada rentang usia berapapun. Karena dalam beberapa kasus di luar, anak-anak juga ditemukan menunjukkan gejala sindrom pura-pura sakit ini. Salah satu kasus terjadi di New York, penderita yang masih berusia belasan tahun berbohong mengalami serangan asma dan dirujuk ke rumah sakit. Ia juga sengaja membuat dirinya sendiri kelaparan dan menenggak laksatif secara berlebihan.

Sebetulnya apa yang dimaksud dengan sindrom munchausen?

Menurut penjelasan di laman National Health Services (NHS) sindrom munchausen merupakan salah satu bentuk gangguan psikologis. Penderita sindrom ini biasanya berpura-pura sakit atau memalsukan gejala penyakit untuk mendapatkan perhatian. Tujuan utamanya, lebih ke memicu kekhawatiran orang lain agar perhatian tercurah padanya, dibanding sekadar beroleh keuntungan praktis seperti klaim tunjangan kesehatan. Adapun bentuk lain, yang disebut Munchausen Syndrome by Proxy (MSP) yakni di mana penderitanya memanfaatkan relasi kuasa. Misalnya, anak mereka. Penderita MSP akan mengklaim bahwa anaknya sakit dan mengelabui gejala yang ditimbulkan. Tujuannya sama, mendapatkan perhatian atau simpati dari pihak lain. Nama Munchausen diambil dari seorang aristokrat Jerman yakni Baron von Munchausen. Ia dikenal menceritakan kisah yang dibuat-buat tentang kebiasaan dan perilakunya sehari-hari.

Lantas, apakah sebabnya?

Berbeda dengan hipokondria atau gangguan kecemasan terhadap sebuah penyakit, penderita sindrom munchausen menyadari gejala penyakitnya itu sebetulnya bersifat fiktif. Orang yang mengidap sindrom ini tahu betul dan sadar dirinya tak mengidap penyakit apapun. Mereka dengan kesadaran menciptakan kondisi klinis untuk menarik perhatian orang lain. Penyebabnya boleh jadi kompleks. Dan banyak pasien yang menolak mendapatkan perawatan kejiwaan. Tapi sebagian kasus seperti dikutip dari Metro, menunjukkan penyebab utamanya karena trauma masa kanak-kanak, seperti penelantaran orang tua dan pengabaian. Ada juga beberapa kasus yang menunjukkan bahwa penderita mempunyai rekam medis dan perawatan kesehatan yang berkepanjangan semasa kanak-kanak. Rekam pengalaman ini bisa membawa sang anak ke sindrom munchausen saat dewasa kelak. Ini karena mereka mengaitkan kenangan masa kecil dengan perasaan-perasaan ketika dirawat.

Tanda dan Gejala Sindrom Munchausen

Penderita sindrom munchausen mendapatkan kepuasan tersendiri dari simpati yang diraih jika mereka berpura-pura sakit atau menjadi korban. Beberapa gejala yang menandakan kondisi ini di antaranya:

  • Memiliki riwayat pernah melakukan berbagai macam tes kesehatan, prosedur medis, bahkan operasi yang sebenarnya tidak saling berhubungan dengan kondisi kesehatan.
  • Merasakan berbagai gejala penyakit yang tidak saling berhubungan satu sama lain.
  • Meski telah melalui pemeriksaan medis secara intensif, tidak ditemukan gangguan kesehatan yang signifikan.
  • Gejala baru yang berbeda-beda, namun setelah tes medis menunjukkan hasil negatif.
  • Memiliki pengetahuan yang sangat luas tentang berbagai macam penyakit.
  • Sering mengunjungi dokter, bahkan hingga ke luar kota atau ke luar negeri.
  • Kerap datang ke unit gawat darurat, biasanya di berbagai rumah sakit yang berbeda.
  • Justru meminta anjuran untuk operasi atau prosedur medis lain di tubuhnya meski tidak diperlukan.
  • Saat sakit, sulit untuk sembuh walau telah menjalani berbagai perawatan. Penyakit yang dialami pun sering kambuh tanpa alasan yang jelas.
  • Riwayat medis yang diberikan dramatis (berlebihan) tapi tidak konsisten.
  • Gejala yang dialami tidak jelas, tidak terkontrol, dan menjadi makin parah atau berubah setelah pengobatan dimulai.
  • Terdapat luka bekas operasi yang banyak
  • Pasien enggan memberi kesempatan bagi dokter untuk bertemu atau berbicara dengan keluarga, teman, atau dokter lain.
  • Mengalami masalah identitas dan kepercayaan diri.
  • Lalu Bagaimana Cara Pengobatannya?

Dalam pengobatan sindrom munchausen bisa mengalami sedikit kesulitan , karena kebanyakan orang yang mengalami ini menolak untuk mengakui bahwa mereka memiliki masalah bahkan tidak mau bekerjasama dalam menjalani perawatan .Para ahli setuju jika penderita sindrom munchausen harus dihadapkan pada pertanyaan - pernyataan mengapa mereka berbohong? . Setelah mengakui mengapa mereka berbohong,  mereka dapat di rujuk pada layana psikologi atau psikiater dan perawat yang lebih intensif.

Adapun beberapa terapi yang telah menunjukkan keberhasilan dalam membatu mengendalikan gejalanya.

1.  Psikoanalisa, 

 Siapa yang tidak mengenal bapak Sigmund Freud dengan teori psikoanalisa, terapi ini lebih menekankan pada keyakinan dan memotivasi alam bawah sadar kita yang masih terbentuk pada masa kanak-kanak awal yang menjadi penyebab munculnya perilaku tersebut dengan mengungkapkan dan menyadari keyakinan kita di bawah alam sadar.

2. Terapi perilaku kognitif

Dalam terapi kognitif atau CBT, terapi ini di gunakan untuk membantu seseorang dalam mengidentifikasi keyakinan dan pola perilaku yang tidak realistis . Maka terapi ini akan mengubah keyakinan mengenai perilaku yang awalanya tidak realistis menjadi keyakinan yang lebih realistis atau seimbang.

3. Terapi keluarga

orang -orang yang mengalami sindrom Munchausen Masih berhubungan dekat dengan keluarganya oleh karena itu terapi keluarga menjadi salah satu terapi yang cocok untuk digunakan pada penderita sindrom ini. Pada terapi keluarga ini orang yang mengalami sindrom Munchausen dan keluarganya diminta untuk berdiskusi Bagaimana kondisi tersebut mempengaruhi keluarga dan perubahan positif apa yang akan didapatkan. Terapi ini akan mengajari para anggota Bagaimana cara untuk menghindari serta menghindari perilaku abnormal tersebut. Contohnya seperti dapat melibatkan pengendalian ketika orang tersebut sedang memainkan perannya dan menghindari menunjukkan perhatian atau menawarkan dukungan.

kontributor: aisyah mardiah , Izzah Amelia  & Fitria Addin Wulandari

Daftar Pustaka 

Sucuri website firewall. (n.d.). Sucuri WebSite Firewall - Access Denied. https://www.clearchemist.co.uk/az-health/factitious-disorder/treating-munchausen-s-

KHas, G. D. D. P. T. Makalah Psikologi Abnormal.

Cnnindonesia.com. (2020, 16 Februari). Mengenal Sindrom Munchausen dan Penyebabnya. Diakses pada 08 Desember 2022.


https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20200213135932-255-474307/mengenal-sindrom-munchausen-dan-penyebabnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun