Indonesia merupakan salah satu negara yang populasinya mengalami proses penuaan dengan cepat. Penuaan adalah proses menurunnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur normalnya. Akibatnya, jaringan tidak dapat bertahan dan memperbaiki kerusakan yang telah terjadi. Penuaan pada kulit biasanya mulai terlihat ketika memasuki usia dewasa sekitar usia 30-an yang ditandai dengan munculnya keriput atau garis halus di wajah atau bagian tubuh lain. Penuaan pada kulit dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor intrinsik (genetik, metabolisme sel, dan hormonal) dan faktor ekstrinsik (radiasi ultraviolet, inframerah, dan karsinogen dari lingkungan seperti polusi udara). Radikal bebas merupakan pemicu stress oksidatif yang salah satu akibatnya adalah penuaan dini. Salah satu upaya pencegahan penuaan dini adalah dengan mengonsumsi senyawa yang mengandung antioksidan.
Salah satu tanaman herbal di Indonesia yang dimanfaatkan sebagai antioksidan adalah rimpang kunyit. Kunyit merupakan tanaman herba yang termasuk ke dalam famili Zingiberaceae. Rimpang kunyit memiliki komponen kimia, yaitu diarylheptanoids dan diarylpentanoids. Rimpang kunyit mengandung kurkumin dan turunannya sebesar 3-15% (kurkumin 71,5%, demetoksikurkumin 19,4% dan bisdemetoksikurkumin 9,1%). Selain itu, rimpang kunyit memiliki kandungan kimia fenilpropen dan komponen fenolik lain seperti terpen yaitu monoterpen, sesquiterpen, diterpen, triterpen, alkaloid, steroids, dan asam lemak. Kurkumin memiliki aktivitas antioksidan yang efektif dalam sistem emulsi asam linoleat. Kurkumin merupakan senyawa antioksidan yang sangat larut dalam lemak. Kurkumin bereaksi dengan radikal lipid dan menghasilkan radikal fenoksil di dalam membran sel.
Rimpang kunyit khususnya kandungan kurkumin, efektif sebagai antioksidan melawan radikal bebas penyebab stress oksidatif dan penuaan dini. Senyawa fenolik dalam kurkumin melindungi sel-sel tubuh dari kerusakan radikal bebas. Penggunaan kunyit dalam pencegahan penuaan dini menunjukkan potensi positif, namun perlu penelitian klinis lebih lanjut untuk memvalidasi efektivitasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H