Paradoks: Tokoh atau Partai?
Menjelang Pemilu Legislatif (Pileg) pada bulan April mendatang dan Pemilihan Presiden (Pipres) pada bulan-bulan berikutnya, peta kekuatan partai politik Indonesia belum terlihat jelas. Paling tidak tampak kepada Anda dan saya (para pemilih netral) suatu paradoks antara sikap psimis masyarakat kepada partai politik dan klaim partai-partai politik atas dukungan rakyat.
Tak banyak yang menyangkal bahwa sikap politis masyarakat saat ini lebih digerakkan oleh ketertarikan pada tokoh tertentu. Kita memang kadangkala jenuh akan sikap para politisi partai tertentu. Atau bahkan atas dasar penilaian tertentu, kita mungkin seringkali menganggap bahwa ada banyak tokoh yang tidak pantas menduduki jabatan politis tertentu. Atau akhirnya, kita mungkin memandang partai politik sebagai organisasi politis yang tidak relevan atau bahkan dalang kehancuran bangsa.
Sikap di atas mengandung paradoks. Negara Indonesia menganut sistem pemerintahan yang unik, yaitu Presidensial multipartai. Sistem ini di satu sisi mengakomodasi keanekaragaman kepentingan bangsa, dan di sisi lain menimbulkan tarik-menarik kepentingan yang niscaya. Sistem keterwakilan dalam DPR tidak hanya mewakili suatu cita-cita bangsa yang lebih luas, tetapi juga bisa mengerucut pada cita-cita partikular kelompok politis tertentu. Sikap penolakan atau sekedar apatis terhadap partai politiktetapi mendukung tokoh politis tertentu adalah suatu paradoks karena tokoh tidak bisa –sejauh ini- menjalankan kebijakan politis terlepas dari partisipasi partai politik. Sistem demokratis manapun belum memungkinkan hal itu. Sikap yang lebih seimbang pasti lebih tepat.
Setahun lebih terakhir ini, masyarakat dunia membuka matanya kepada Negara Besar Demokratis Indonesia. Kemunculan Jokowi-Ahok sekaligus keberhasilannya duduk di DKI-1 dan DKI-2 menimbulkan optimisme yang besar: demokrasi Indonesia semakin maju. Kemunculan keduanya ke pusatNKRImenampilkan suatu kenyataan bahwa partisipasi politis dapat digerakkan oleh ketokohan tertentu. Ini bukanlah hal baru di dunia. Kita masih bisa mengingat tampilnya Presiden Paraguai, Fernando Lugo, seorang Biarawan Katolik. Akan tetapi untuk sejarah Indonesia, Jokowi-Ahok adalah yang pertama. Inilah paradoks.
Untuk dapat memelihara tampilnya tokoh-tokoh semacam Jokowi-Ahok, masyarakat politis dan media harus lebih terlibat dalam kehidupan politis karena mereka bisa jadi rentan terhadap resistensi lembaga politis, misalnya mungkin DPR.
Belum habis kekaguman kita pada terobosan kebijakan di DKI, Jokowi-Ahok menampilkan suatu kemungkinan lompatan yang lebih besar lagi menuju RI-1 dan DKI-1.Sebagai warga Jakarta, saya menyambut semuanya ini dengan kegembiraan yang besar. Barangkali akan menjadi suatu kejutan besar bagi Jakarta dan Indonesia, bila Jokowi dan Ahokberduet dalam kepemimpinan pusat meskipun dalam otoritas dan kapasitas yang berbeda: Jokowi sebagai presiden, Ahok sebagai Gubenur.
Di ambang sejarah yang besar ini, mau tidak mau kita tertantang untuk menciptakannya atau tidak. Dan keduanya punya kapabiltas. Hal ini tidak berarti bahwa saya menganjurkan siapapun untuk mendukung Jokowi dalam Pilpres nanti. Akan tetapi begitulah kenyataannya bahwa kita di ambang sejarah. Dan juga kita di ambang harapanakan munculnya tokoh-tokoh politis yang berhati rakyat.
Terima Kasih SBY dan Demokrat
Bagaimanapun kita harus jujur mengakui dan memberikan penghargaan kepada Presiden SBY dan Partai Demokrat. Selama dua periode kekuasaan, SBY dan Demokrat telah menciptakan stabilitas politis yang cukup sehingga memungkinkan munculnya fenomena semacam Jokowi-Ahok.
Kebebasan berekspresi, partisipasi politis, dan pemberantasan korupsi merupakan warisan terbesar Presiden SBY dan Demokrat dalam dua periode kekuasaaan ini. Pemberantasan korupsi misalnya tidak mungkin dilakukan tanpa pandang bulu jika sistem politis mayoritas tidak memungkinkannya.
Bahwa adanya banyak oknum tertentu yang disangka terlibat korupsi merupakan suatu keniscayaan partai berkuasa. Tetapi tindakan hukum yang tegas terhadap mereka merupakan nilai tambah yang sangat besar.
Fajar Baru 2014
Masa depan Indonesia ditentukan dalam perhelatan akbar Pileg dan Pilpres 2014. Siapapun yang merasa dirinya sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, harus menentukan sikap politis yang tegas, eksplisit, jelas, dan bermartabat. Di tangan para calon pemilih, dititipkan oleh ibu pertiwi, kemungkinan-kemungkinan fajar baru Indonesia. Pilihan kita menentukan masa depan kita. Merdeka !!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H