Mohon tunggu...
Atep Fauzi
Atep Fauzi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Globalisasi dan Mental Anak, Melintasi Jembatan Dunia dalam Keseharian Mereka

5 Desember 2024   01:46 Diperbarui: 5 Desember 2024   01:47 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Bayangkan seorang anak yang lahir di sudut kota kecil dengan jalan-jalan sempit dan pohon-pohon rindang. Di tangannya, ada gawai yang membawanya menjelajah dunia tanpa batas. Dari layar kecil itu, ia bisa menonton tarian tradisional India, membaca tentang budaya Viking, hingga mengobrol dengan teman sebaya di belahan dunia lain. Inilah wajah globalisasi yang nyata: menjadikan bumi seluas genggaman tangan, menghubungkan yang jauh, tetapi juga membawa tantangan yang tak kalah besar.

Globalisasi adalah gelombang raksasa yang menghantam setiap aspek kehidupan, termasuk mental anak-anak kita. Anak-anak adalah kanvas kosong yang perlahan diisi oleh pengalaman, lingkungan, dan---di era ini---oleh arus global yang deras. Tetapi bagaimana sebenarnya globalisasi membentuk mental mereka? Apakah ia menjadi pelita pencerahan, atau justru angin badai yang membuat mereka kehilangan arah?

Kemudahan Informasi: Harta atau Bencana?

Di zaman dahulu, orang tua adalah perpustakaan pertama seorang anak. Mereka mengajarkan moral, membimbing, dan menyaring pengetahuan. Kini, Google telah mengambil alih sebagian peran itu. Anak-anak bisa bertanya apa saja pada internet, dari soal pelajaran matematika hingga misteri luar angkasa. Mereka tumbuh dengan wawasan luas, lebih kritis, dan kreatif dibanding generasi sebelumnya.

Namun, kemudahan ini adalah pedang bermata dua. Informasi tidak selalu bermakna, dan sering kali tidak ramah bagi jiwa muda. Anak-anak yang belum cukup dewasa untuk memilah informasi kerap terjebak dalam kebingungan. Hoaks, propaganda, dan tren toksik di media sosial bisa memengaruhi cara mereka memandang dunia dan diri mereka sendiri. Apa yang terlihat seperti sumber kekuatan, bisa jadi awal dari kegelisahan mental.

Budaya Global: Menyatukan atau Merapuhkan?

Makanan cepat saji dari Amerika, drama Korea, dan video TikTok dari Tiongkok menjadi makanan sehari-hari anak-anak di berbagai negara. Budaya global ini menawarkan jendela ke dunia luar, membuat anak-anak lebih terbuka terhadap perbedaan.

Namun, di tengah keasyikan mengenal budaya asing, identitas lokal sering kali terkikis. Seorang anak yang tumbuh lebih akrab dengan karakter kartun Jepang daripada cerita rakyat lokal mungkin merasa terpisah dari akar budayanya sendiri. Dalam jangka panjang, ini bisa memicu krisis identitas. Siapa dirinya? Apa nilai-nilai yang harus ia anut? Dalam kebingungan ini, ia mungkin merasa seperti pengembara tanpa peta di tengah lautan budaya global.

Media Sosial dan Ekspektasi yang Menyesakkan

Jika dulu tekanan sosial datang dari lingkungan sekitar, kini ia hadir di seluruh penjuru dunia melalui media sosial. Anak-anak tak hanya membandingkan diri mereka dengan teman sekelas, tetapi juga dengan selebriti dan influencer.

Tekanan ini bisa berdampak buruk pada kesehatan mental. Anak-anak merasa harus tampil sempurna, meraih prestasi, dan terus diperhatikan. Jika gagal, mereka sering merasa tidak berharga. Tekanan ini mempercepat hilangnya masa kanak-kanak yang sejatinya harus menjadi waktu untuk bermain, bermimpi, dan mencoba hal-hal baru tanpa takut gagal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun