Banyak cerita yang akan dan bisa aku ceritakan untukmu, tetapi inilah cerita terpenting dalam kehidupanmu, anakku. Ini harus aku ceritakan secara detail, terperinci, karena hanya dengan cerita yang demikianlah semua kisah akan berarti, atau bermakna menurut terminologi sastra yang membedakan keduanya. Konon, arti adalah makna tingkat pertama, harfiah, sementara makna adalah arti tingkat kedua, arti dari arti, telah berbumbu asosiasi, muatan isi-misi-visi, dan cengkeraman imajinasi yang menjulang tinggi bak Merapi pesona alami.
Mita, anakku, ada bagian sangat penting dalam kisah ini, yakni tentang suatu tempat kecil yang mengawali terbitnya dua matahari dengan nama yang sama untuk dua dunia yang sama pula. Tempat itu aku sebut sebagai Pojok Kanisius. Mengapa? Karena memang itulah namanya. Itu juga tempatnya. Persis di pojok barat laut Penerbit Kanisius. Mari kugambarkan tempat itu secara rinci sehingga kau bisa membayangkannya, tanpa kesulitan. Jika kamu merasa sebagai orang Jogja, pasti kamu mengenal tempat yang akan kutunjukkan: Pojok Kanisius. Di mana tempat itu? Ini cerita untuk semua.
Jalan Gejayan adalah jalan dua arah berbatas taman yang sangat terkenal. Jalan itu sangat ramai. Begitu ramainya, hingga pernah suatu saat dinobatkan sebagai jalan terpadat di Jogja. Di sepanjang ruas jalan yang sekarang berganti nama menjadi Jalan Affandi itu (sebagai penghargaan atas karya dan jasa Affandi, sang maestro seni rupa yang sudah meleganda, seperti halnya penggantian nama Jalan Monjali menjadi Jalan Tjondro Lukito untuk menghargai nama besar siniwati tembang Jawa sepanjang zaman) ada beberapa gang. Agar mudah dibayangkan, kubatasi saja lokasi yang akan kutunjukkan adalah antara Selokan Mataram di utara Mirota Gejayan sebagai batas selatan dan perempatan Jalan Gejayan dengan potongan Jalan Jembatan Merah ke arah timur dan gapura Gang Kanthil Pelemkecut sebagai batas sebelah utara. Tidak sulit kan membayangkannya? Apalagi kalau Anda tahu Jembatan Merah yang telah demikian ternama.
Pojok Kanisius yang akan aku ceritakan ada di pertigaan pertemuan antara ujung Jalan Cempaka yang membujur barat-timur dengan Jalan Gambir yang melintang utara-selatan. Jika diurut dari utara, dengan batas Gang Kanthil atau Jalan Jembatan Merah, Jalan Cempaka ada di urutan kedua, dan jika dari selatan, dari Selokan Mataram, menjadi urutan ketiga. Jalan Cempaka lumayan lebar meskipun hanya membelah Kampung Deresan. Sekarang jalan itu menjadi jalan alternatif yang relatif aman dan cepat menuju kota Jogja dari arah utara, dan merupakan jalur alternatif terefisien menuju kampus UGM dan UNY.
Pagi itu, seperti biasa, setelah mengantar anak ke sekolah, aku berangkat ke kantor. Jarak rumah ke kantor hanya 2,5—3 km saja, tetapi biasanya aku bawa mobil. Bukan untuk pamer atau berlagak boros, melainkan untuk kelancaran dan ketepatan. Aku bisa naik bus kota, memang, tetapi Anda pasti tahu bus kota di Jogja kurang bagus: busnya sudah lama dan beberapa tidak laik jalan, berhenti di sembarang tempat, menghamburkan emisi karbon bersama asap berjelaga hitam kelam di ujung knalpotnya, dan kadang-kadang tidak aman karena sering dijadikan lahan pencopetan atau perampasan oleh tangan-tangan manusia jahil berhati dekil berjiwa methakil.
Keluar dari halaman, belok kanan (ke arah barat), aku menyusuri Gang Kanthil sampai ujung kampung, belok kiri sedikit lalu kanan lagi lewat Jalan Pandean I sampai bertemu Jalan Gambir yang ujung utaranya Ring Road Utara dan ujung selatannya Jalan Agro di pojok kampus Fakultas Peternakan UGM. Aku belok kiri menyusuri Jalan Gambir mengarah ke selatan. Seperti biasa juga, aku berjalan pelan-pelan saja. Persis di Pojok Kanisius, aku mengerem agak mendadak karena dari arah timur, Jalan Cempaka, ada moncong sedan BWM merah yang sudah langsung menyosor memasuki hampir separoh Jalan Gambir. Aku agak terkejut. Pengemudi BMW tampaknya juga terkejut, berhenti mendadak, membuka kaca jendela dan menganggukkan kepala. Mungkin bilang “maaf”. Dengan isyarat tangan aku persilakan BMW itu melanjutkan perjalanan dan menggunakan jalan lebih dahulu meskipun jelas dia agak keliru karena ketika memasuki jalan lurus, apalagi jalan utama, mestinya dia berhenti dulu, atau minimal pelan-pelan dan memberikan prioritas pada kendaraan yang melintas di jalur lurus. Sudahlah. Ini masalah kecil. Setelah BMW merah melintas dengan aman aku pun menyusulnya di belakang, di jarak yang agak jauh karena jalanku memang pelan, kuulangi pelan saja.
Sejak bisa mengemudikan mobil memang aku berprinsip, lebih baik memberi jalan daripada meminta jalan. Kenapa? Karena aku yakin dengan memberi jalan, atau dengan suka memberi jalan, aku juga akan mendapatkan jalan, atau diberi jalan, entah bagaimana caranya, dan entah oleh siapa. Aku percaya Tuhan, dan Tuhan pasti akan memberikan jalan. Barangkali inilah pangkal jalan yang diberikan entah oleh siapa atau oleh takdir Tuhan itu. Jalan.
Nada dering HP-ku berbunyi. Aku meminggirkan mobil dan berhenti. “Pak, apa Dik Mita sudah mendaftar UM (Ujian Masuk UGM)?” tanya Tince tanpa basa-basi begitu aku uluk salam. “Ya, sudah selesai dua hari yang lalu, kenapa?” tanyaku menyelidik. “Sebaiknya Bapak segera ke sini, ada yang sangat mencurigakan, Pak,” tambah Tince. Begitu mendengar kata mencurigakan, apalagi tadi disebut nama anakku, langsung aku tutup pembicaraan dengan catatan bahwa aku akan segera datang.
Sudah cukup lama aku membantu Panitia Penerimaan Mahasiswa Baru UGM, bahkan sejak masih berstatus CPNS. Ya, dulu mulai membantu di loket pendaftaran, seperti Tince—mahasiswiku yang akhirnya diterima menjadi dosen di jurusanku—sekarang ini, menjadi koordinator ruang, koordinator lokasi, lalu menjadi wakil fakultas, lalu masuk ke tingkat yang sedikit di atasnya seperti sekarang ini. Aku memang sudah sangat mengenal lekuk liku urusan pendaftaran mahasiswa baru. Kalau menggunakan kata-kata teman kosku dulu, sudah seperti nasi sayur, hafal.
Aku masuk ke ruang panitia. Dengan kartu pengenal bertanda PANITIA UM UGM 2007 aku masuk dengan mulus, apalagi sebagian besar, atau mungkin hampir semua personil yang ada di sana memang sudah mengenalku, beberapa bahkan sudah saling mengenal puluhan tahun. Kucari loket Tince.
“Pak, lihat ini.” Tince menyodorkan berkas pendaftaran seorang peserta ujian masuk. Baru melihat fotonya saja aku langsung tertegun. Ini foto anakku, Mita. Tetapi, bukan, bukan Mita. Kubaca nama lengkapnya: Pramesthi Paramita Putri. Kok mirip nama anakku. Pilihan program studinya? Ya, Tuhan, persis pilihan Mita anakku. Degup jantungku kencang bertalu-talu. Ini bukan Mita anakku, tetapi kenapa begitu mirip, seperti kembar. Anak saudaraku? Bukan, aku tahu semua anak saudaraku. Memang ada yang agak mirip dengan Mita anakku, tetapi tidak persis seperti anak kembar. Aku tidak percaya, ini sangat aneh, tidak masuk akal. Bukankah kemiripan orang biasanya terjadi karena alasan genetis?
“Ce, aku pinjam sebentar ya, biar kuperiksa di ruang panitia,” pintaku pada Tince. Penasaran, sambil jalan menuju ruang panitia aku lihat-lihat berkas pendaftaran anak itu. Astaga, ya Allah, ya ampun, aku kenal nama orang tua anak ini. Di ijazahnya kutemukan nama ayahnya, dr. Arif Narendra, M.R.S. Ya, Tuhan, aku mengenalnya. Aku lihat alamatnya. Jalan Daksinapati, Jakarta. Aku cari-cari kartu ujiannya, dapat, dan aku catat nomor telepon yang mudah dihubungi di situ.
“Assalamu’alaikum,” suara di seberang sana, entah di seberang apa atau seberang mana. Ya, Tuhan, ini suara Mita anakku. Aku hampir tak bisa bersuara, kamitenggengen. Dengan mengatasnamakan, maaf Pak Rektor, Panitia UM UGM aku kontak Mita Jakarta itu dan aku katakan bahwa aku, lagi-lagi atas nama Panitia UM, maaf lagi Pak Rektor, memerlukan nomor telepon orang tuanya. Dapat.
dr. Arif Narendra. Ya, aku kenal nama ini. Sejak tujuh belasan tahun silam. Kenal baik. Juga istrinya. Keluargaku dan keluarga dr. Arif sudah saling mengenal dengan baik, hampir seperti saudara, kata orang Jawa sedulur sinarawedi. Jalan. Ya, ya, aku ingat kata itu, jalan. Barangkali ini salah satu jalan itu.
Dua hari setelah berpapasan mobil di Pojok Kanisius, dr. Arif katanya penasaran dan ingin berkenalan denganku. Katanya ia bergitu terkesan. Oleh apa? Hanya karena aku memberinya jalan untuk melintas lebih dahulu meskipun dia keliru. Itu kesabaran yang sangat disukai, sangat mengesankan. Dia tidak punya informasi apa pun, kecuali bahwa aku pernah lewat Pojok Kanisius. Itu saja. Ternyata yang hanya “itu saja” itu sudah cukup karena memang itulah jalur utamaku menuju kampus atau kantor. Dia menyalip dan mencegatku di selatan Warung SGPC Bu Wiryo setelah membuntutiku dari Pojok Kanisius. Katanya dia tidak melupakan mobilku. Ya, pasti, mobilku memang khas, kuno dan catnya agak aneh, mencolok, mudah dikenali.
Dia ingin berkenalan. Tidak ada masalah. Kalau aku tidak tergesa-gesa, dia ingin aku mau diajak berbincang-bincang, ngobrol, sambil sarapan di SGPC Bu Wiryo. Tidak ada masalah, kebetulan hari itu aku hanya ke kantor, tidak mengajar. Kami makan sambil bercakap-cakap. Perkenalan itu berjalan mulus. Kami saling memberi alamat lengkap dengan nomor telepon. Akhirnya, kami saling sangat kenal, menjadi sahabat, juga keluarga kami, saling mengenal dengan sangat baik. Istri-istri kami juga saling mengenal, sangat akrab. Anak pertama kami sering diajak suami-istri dokter itu untuk sekadar jalan-jalan, tetapi kadang-kadang dibelikan macam-macam. Kadang-kadang anak kami mereka ajak menginap di rumah kontrakannya. Kami juga tidak keberatan. Entah karena apa, anak pertama kami tampaknya juga merasa akrab dengan keluarga yang belum dikaruniai keturunan itu. Kadang-kadang kami merasa kasihan, hampir 11 tahun menikah, mereka belum mendapatkan anak. Karena itu, kalau mereka bilang ingin mengajak anak pertama kami jalan-jalan, atau menginap di kontrakannya, dan anak kami mau, apalagi kalau mereka bilang “untuk mancing” siapa tahu bisa menjadi pancingan agar mereka segera punya momongan, pasti kami mengizinkannya. Mereka menyanyangi anak kami. Tidak ada masalah. Siapa tahu itu memang jalan, ya siapa tahu itu bisa menjadi jalan.
Untuk suatu keperluan pernah aku menemani keluarga dr. Arif pergi ke Surabaya. Istriku tidak bisa ikut karena ngunduh arisan dan harus mengantar jemput anakku sekolah. dr. Arif ingin aku yang mengemudi, bukan biar seperti sopir, melainkan ingin menikmati gaya nyopirku yang katanya sangat nyaman, sabar, tetapi juga sekaligus tangguh. Dia menemaniku duduk di jok depan, katanya biar tidak terkesan seperti sopir. Istrinya di belakang, duduk sambil membaca buku. Itulah hobinya: baca buku. Sebagai pakar anestesi tentu saja kebanyakan yang dibaca adalah buku-buku kedokteran, seperti juga dr. Arif.
Kami berangkat agak siang. Aku ke kantor dulu. Mereka kuliah dulu karena keduanya sedang ambil S2 Magister Rumah Sakit. Kebetulan mereka mengelola sebuah Rumah Sakit keluarga di Jakarta. Jalan mulus. Jalan lancar. Jalan di Surabaya juga mulus dan lancar. Di Jalan Gubeng Kertajaya mobil BMW merah metalik yang keren itu tiba-tiba ngadat, minggir, berhenti dan mogok. Dengan pengalaman serba sedikit aku coba perbaiki. Kelihatannya tidak ada masalah, tetapi mesin tidak mau hidup. Sepertinya tidak ada api. Lama kami mencoba. Tidak berhasil. Kami panggil bengkel. Mereka pusing. Masalah tidak ditemukan. Mobil diderek. Untung keperluan sudah ditunaikan. Terpaksa kami harus menginap karena mobil baru bisa selesai besok paginya. Bengkel janji akan lembur. Kami kabari Jogja. Tidak ada masalah.
Badan lelah. Aku mandi dan tidur pulas di hotel. Sangat pulas. Seperti diselimuti banyak bidadari. Entah bagaimana prosesnya, malam itu istriku membangunkanku, padahal badanku masih lunglai. Dengan segala daya, akhirnya istriku sukses juga mengajakku meskipun aku tunaikan tugas berat itu sambil pejam mata dan dengan sangat pasif. Begitulah kalau aku sedang lelah, dan istriku sangat paham. Itulah jalannya. Tidak ada masalah. Setelah itu aku tidur lagi. Pulas sekali. Tidak ada yang kuingat. Pagi harinya badanku sudah terasa segar. Ah, gila, tadi malam aku bermimpi ya? Tidak apa. Biasa orang lelah bermimpi. Mandi. Ya, mandi besar, mimpi ‘itu’ sama dengan beneran kan? Hangat. Segar. Mobil jadi. Beres. Kami pulang ke Jogja.
Tiga bulan berikutnya keluarga dr. Arif menelepon dari Jakarta. Mereka sudah lulus S2 dengan tambahan gelar Magister Rumah Sakit. Sukses. Selamat ya. Dengan penuh semangat dr. Arif cerita bahwa mereka akan punya momongan, istrinya telah tiga bulanan “isi”. Selamat, selamat. Aku senang sekali. Istriku juga senang sekali. Ia menelepon istri dr. Arif dan memberikan ucapan selamat bertubi-tubi. Tak lupa juga bilang bahwa ia juga sedang “isi”. Hampir tiga bulanan juga. Kami sangat senang. Kami terus saling berkabar. Mereka sangat sibuk, tetapi sering menelepon. Juga ketika anakku lahir. Kukabari mereka. Mereka senang sekali. Kebetulan anak kedua kami lahir lebih dulu daripada anak mereka. Mereka bertanya dan mencatat nama yang kami berikan.
Seminggu kemudian mereka berkabar. Anak mereka lahir. Katanya, untuk makin mengukuhkan persaudaraan, mereka akan memberikan nama yang mirip dengan anak kami, dan nama panggilan yang persis sama: Mita. Sungguh kami saling berbagi kebahagiaan meskipun hanya lewat telepon. Sebulan setelah itu kami jarang sekali kontak. Mereka memperdalam ilmu di Jepang. Tentu saja dengan membawa anak mereka. Hanya sesekali mereka berkabar via telepon atau email. Tidak apa. Itulah jalannya. Kami tetap bersaudara, di mana pun.
Ketika aku hubungi via telepon, ayah Mita Jakarta, dr. Arif, katanya sedang sangat sibuk. Ketika kutanya tentang Mita, anaknya, dia bilang sedang super sibuk dan akan segera kirim email, aku diminta menunggu barang satu dua jam. Akhirnya, inilah email yang kutunggu-tunggu itu.
Yth. Mas Umar
di Jogya
Singkat saja, Mas. Tenyata aku mandul, Mas, sementara istriku subur. Kami ingin punya anak. Tapi 11 tahunan kami bingung. Istriku tidak mau bayi tabung, dan dia tidak mau menerima sembarang bibit tanpa bobot. Dia ingin bibit yang bagus, cerdas, sabar. Karena itulah kami bersabar sampai 11 tahunan. Dia sangat suka kesabaran, sangat senang pada orang yang sabar. Aku tidak sabar, Mas, dan Mas Umar sangat sabar. Kami tak akan pernah tega menyakiti hati siapa pun, Mas. Kami pasrah. Kami tidak punya jalan, Mas. Jalan. Maaf, Mas, dengan segala maaf, akhirnya kami terpaksa membuat skenario itu. (Aku bertanya-tanya, skenario yang mana?) Sekali lagi, maaf, Mas, Surabaya itulah kota kenangan kami yang utama atas Mas Umar yang telah menunjukkan kesabaran di Pojok Kanisius. (Ya, Allah, ampuni hambamu yang hina ini. Astaghfirullah ....). Maaf, Mas, Mitaku, Mita kami, Mita Mas Umar juga, maaf.
Salam,
Arif dan Iin, dan Mita
Pondok Kanthil, Jogja, Medio Oktober 2007
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI