Mungkin judul di atas terasa aneh. Betapa tidak? Adakah di dunia ini seorang cucu yang tega membunuh kakeknya? Tetapi itulah yang terjadi. Aku benar-benar telah membunuh kakek. Hebatnya lagi, dia kakek dari pihak istriku. Apa motifku? Warisan? Jelas bukan karena warisan mestinya kan dari ayah ke anak, bukan dari kakek ke cucu. Lalu? Itulah ...
Paling tidak selama dua bulan aku terus saja merasa berdosa. Aku merasa dikejar-kejar dosa itu, ke mana pun aku bersembunyi, ke mana pun aku menghindar. Bagaimanapun aku telah membunuh kakek, dan itu pasti tidak dibenarkan. Apalagi pembunuhan itu benar-benar pembunuhan yang direncanakan. Tambah bertumpuklah dosaku. Pasti, kalau disidangkan di pengadilan, hukumanku akan berlapis-lapis. Pembunuhan berencana. Melibatkan hampir seluruh anggota keluarga kakek. Benar-benar pembunuhan yang penuh dosa.
Untunglah tidak ada yang melaporkan aku, atau melaporkan kami. Bahkan, tetangga dan kerabat dekat yang tahu pun tidak ada yang mempermasalahkan. Semua dianggap normal. Kakek kami bunuh. Kakek meninggal. Proses dan prosesi untuk orang meninggal pun berjalan normal. Aku yang membuat berita lelayu. Difotokopi ratusan kali, kemudian disebarluaskan ke semua tetangga, keluarga, kenalan, dan handaitaulan. Semua normal. Pelayat berdatangan sejak sore, malam, pagi, hingga siang saat jenazah kakek dikuburkan dengan upacara kebesaran seorang anggota veteran, Legiun Veteran Republik Indonesia. Semua berjalan mulus. Tidak ada ganjalan. Semua percaya kakek meninggal secara wajar. Bebas.
Mulanya kakekku sakit. Itu biasa karena memang usianya telah di atas 95. Kakekku termasuk orang kuat, tubuhnya juga kuat, dan yang hebat, kakek juga dikenal sebagai juru sembuh. Itulah yang bikin aneh. Bagaimana mungkin seorang juru sembuh yang terkenal kuat, tangkas, berani menangkap maling sendirian, berani menghadapi penjahat yang paling ditakuti di zamannya, dikenal dhukdheng di antara teman-teman seangkatannya, lho, kok tiba-tiba sakit? Ini memang luar biasa, minimal di luar kebiasaan kakek yang nyaris tidak pernah sakit. Bahkan, konon, dulu ketika menyamar jadi tukang sol sepatu pernah dicurigai Belanda dan ditangkap serta diinjak-injak sampai hampir gepeng pun kakek tidak mengeluh, apalagi bilang sakit. Tidak pernah. Kakekku memang orang sakti. Kata temanku “atos balunge, wulet kulite, tinatah mendat, jinara menter, ora tedhas papak paluning pandhe sisaning gurindha” pokoknya ampuh banget. Tapi, kenapa mendadak kakek sakit?
Kakekku sakti. Semua orang tahu. Kakekku sakit. Ini benar-benar berita baru. Kakekku takut pada dokter. Itu semua orang juga tahu. Kakekku pernah mematahkan sekian banyak jarum sentik. Semua orang juga pernah dengar cerita itu. Bahkan, dokter-dokter dan perawat di rumah sakit pun heran karena tidak ada jarum suntik yang mampu menembus kulit kakekku ketika kami sekeluarga berhasil memaksa kakek berobat ke rumah sakit. Tapi, sekali lagi, kakekku sekarang benar-benar sakit.
Sakit kakek berkelanjutan. Kami akhirnya sepakat, kakek harus dirawat di rumah sakit. Kakek menolak dengan keras. Kami terus membujuk. Kakek tetap menolak. Kami tetap terus membujuk. Akhirnya kakek mau. Kami bawa kakek ke rumah sakit.
Kakek diopname. Istirahat. Kami bergiliran menunggu atau menjaganya. Sehari, dua hari, tiga hari, belum ada perkembangan yang berarti. Diagnosis dokter tampaknya meleset. Pertama diduga sakit maag. Ternyata tidak. Paru-parunya kotor karena terus saja merokok. Ternyata tidak juga. Tedhunnya turun. Ya memang pernah, tetapi ternyata sekarang tidak lagi, sudah membaik. Mungkin tipus. Ternyata tidak juga. Semua meleset. Kakek jadi uring-uringan, sering marah-marah. Kakek tidak mau diam, ingin bergerak terus. Karena agak mengganggu pasien lain, kakek dirawat di ruang isolasi. Tangannya diikat dengan pinggiran tempat tidur supaya tidak bergerak tak terkontrol.
Kakek makin sering marah. Ini yang aneh. Sebelumnya kakekku tak pernah marah. Ia sangat sabar. Yang lebih aneh lagi, dokter belum bisa menemukan penyakit kakek. Hari ketujuh kakek harus dironsen. Kami menurut. Hasilnya tidak menggembirakan, tidak ada gejala tertentu yang mengarah ke penyakit tertentu. Sepertinya semua normal. Tapi, ada catatan dari dr. Baskoro. Dokter muda yang kebetulan sudah cukup aku kenal karena sering sama-sama menjadi DPL KKN itu ingin berbicara 4 mata denganku.
“Mas, Mbahmu ki yuswane wis pira?” (Mas, usia kakekmu sudah berapa?)
“Sangang puluh eneman, Mas!” (Sembilan puluh enaman, Mas)
“Apa mbiyen seneng gelut?” (Apa dulu suka berkelahi?)
Lalu aku ceritakan serba sedikit yang aku tahu tentang kakek. Mas Baskoro mendengarkan dengan saksama. Akhirnya, dokter muda itu berpesan agar kami menunggu perkembangan dalam 2—3 hari ke depan. Kami pun menunggu. Selama tiga hari kakek menunjukkan perkembangan yang nyalawadi (misterius). Kadang-kadang kakek lemas seperti ilang otot bebayune, seperti sudah meninggal, tanpa daya, tapi kadang-kadang kakek bangun seperti Prabu Baladewa, gagah perkasa, matanya mencorong, berwibawa, dan suaranya sangat tegas. Begitulah yang terjadi, minimal 5 kali sehari terjadi seperti itu. Kami makin khawatir. Dokter tampaknya angkat tangan, tidak sanggup menemukan penyakit kakek, apalagi mengobati atau menyembuhkannya.
Seminggu kemudian seluruh keluarga berkumpul, berembuk, dan akhirnya sepakat: kakek dibawa pulang. Di rumah kebiasaan kakek di rumah sakit terus berlanjut: lemas seperti orang mati dan gagah perkasa seperti orang sehat. Setiap hari kami bergiliran duduk atau tidur atau tidur-tiduran di dekat kakek sambil mengawasi dan melayaninya kalau-kalau ada kebutuhan tertentu. Kakek tidak mau makan, juga tidak mau minum. Kami makin bingung. Ke mana harus mencari obat kalau dokter sudah menyerah?
Seminggu setelah pulang dari rumah sakit datang seorang Pak Dheku dari Jakarta. Ia datang bersama seseorang yang katanya biasa menyembuhkan orang sakit. Namanya juga usaha. Kami terima kehadiran seseorang itu. Ia duduk di pembaringan kakek. Mulutnya komat-kamit membaca doa atau mantra. Kemudian ia minta air putih. Ditiup berkali-kali air dalam gelas itu, kemudian diusap-usapkan di kaki kakek. Kakek diam saja. Hanya saja, dari pandangan matanya aku seperti membaca kata-kata kakek, “Ngapa iki, cah ora dhong, bayi wingi sore wae kok nggaya” (Apa yang dilakukan ini, anak tidak tahu apa-apa, bayi kemarin sore saja kok berlagak). Tampaknya kakek menyepelekan orang itu, orang dan mantra-mantranya. Tidak mempan.
Seseorang yang datang bersama Pak Dhe itu pun minta pamit. Dia berpesan padaku, “Mas, kakekmu itu orang sakti. Aku bukan apa-apanya. Aku tidak sanggup mengobatinya. Ilmunya jauuuuuuuuh sekali di atasku. Maaf.” Aku jadi ikut bertanya-tanya, benarkah kakek orang sakti. Aku memang belum mengenal seutuhnya. Bayangkan, aku menikah dengan salah seorang cucunya juga baru beberapa bulan.
Dua hari berikutnya Bu Likku dari Solo datang bersama seseorang yang katanya sakti dan biasa menyembuhkan orang sakit seperti kakek. Kami senang. Kami sambut seseorang itu dengan tangan terbuka. Kelihatannya ia seorang pengendali angin (ini seperti cerita Avatar). Ia minta kami minggir dulu dan agak menjauh dari kakek karena akan ada angin yang menerpa. Ia berdiri dua meter di depan pembaringan kakek. Dia membelakangi kakek. Lalu beraksilah seseorang itu. Benar saja, kami merasakan adanya sembribit angin dingin. Tapi, lagi-lagi kakek diam, matanya memandang orang itu, kemudian memandangku, sepertinya kakek berkata padaku, “Uwong enom kok ora duwe suba sita, masak jengkang-jengking neng ngarepe wong tuwa. Rumangsane wis ampuh pa?” (Orang muda kok tidak tahu adat, masak memamerkan pantat di depan orang tua. Apa merasa dirinya sudah hebat?).
Seseorang dari Solo itu akhirnya minta pamit. Aku mengantarnya sampai terminal bus. Dia tidak mau diantar pulang. Dia bilang, “Mas, aku menyesal tidak dapat menyembuhkan kakekmu. Kakekmu itu mungkin kakek-kakek-kakek guruku, Mas. Jelas aku bukan apa-apanya. Angin yang tadi aku pakai semua berbalik menyerangku. Untunglah kakekmu orang baik. Kalau kakekmu berniat jahat, aku tadi sudah tidak bakalan selamat.” Hah? Aku makin penasaran. Aku hanya cucu menantu, tetapi kenapa sepertinya kakek mengenalku dengan baik, dan kenapa orang-orang yang mencoba menyembuhkan kakek, baik dokter maupun paranormal (mungkin, atau dukun) memilih berbicara denganku atau menyampaikan pesan lewat aku?
Hari berikutnya aku iseng-iseng telepon Rama Kun. Dia guruku. Dia juga sahabatku. Aku cerita tentang kakek, juga tentang sakitnya. Rama Kun menyarankan agar aku mencari kelapa hijau, mengambil airnya, kemudian menyiramkan air kelapa itu di bawah tempat tidurnya. Aku pun bermaksud menyampaikan hal itu kepada ayah mertuaku. Kebetulan mertuaku sedang menunggu kakek di pembaringan. Kakekku sedang ‘bangun’, artinya sedang “kumat” sehatnya: duduk tegak, matanya mencorong, suaranya berwibawa, persis seperti orang sehat. Astaga, kakek memanggilku.
“Le, renea,” (Nak, kemarilah) kata kakek. “Nggih, Mbah.” (Ya, Kek.) Aku menghampiri tempat tidurnya. “Wis, rasah, Le,” (Sudah, tidak perlu, Nak) kata kakek, dan aku seperti tersetrum listrik seolah-olah tahu maksud kakek. Aku tidak perlu mencari kelapa hijau, airnya, dan seterusnya. Aku mengerti. Yang tidak kumengerti adalah bagaimana kakek mengerti. Aneh. Aku makin yakin, kakekku memang sakti.
Hari berganti minggu, minggu berjumlah menjadi bulan. Lewat seperti biasa. Kakek tetap sakit. Kami mulai berpikir, jangan-jangan kakek punya cekelan, semacam jimat, atau aji-ajian. Kami pun mencari informasi ke teman-teman sebaya kakek. Tapi, mana ada? Orang sebaya kakek sudah habis, tidak ada, atau jarang sekali. Pada siapa kami harus bertanya? Untunglah, di antara istri teman kakek, juga anggota LVRI, ada yang masih hidup. Nenek tua itu pun kami datangi.
Nenek tua itu bercerita bahwa suaminya dan kakekku memang saudara seperguruan. Kakekku adalah adik seperguruan suami nenek tua itu. Inti cerita, kami, atau tepatnya aku, lagi-lagi aku tidak tahu kenapa nenek tua itu juga secara khusus meminta aku, diminta mencari kakak seperguruan suaminya yang berarti juga kakak seperguruan kakek. Sayangnya nenek tua itu tidak punya alamat kakak seperguruan suaminya. Dia hanya ingat namanya Harjosuwarno. Ketika kami mencoba mencari-cari tahu alamatnya, nenek tua itu hanya menyebut tempat atau kampung di dekat pabrik gula di Karanganyar. Wah, berarti rumahnya Karanganyar. Kebetulan aku dulu KKN di wilayah Karanganyar. Aku masih kenal beberapa orang di wilayah KKN-ku. Mudah-mudahan aku bisa menemukan seorang kakek yang menjadi kakak seperguruan kakek itu.
Karena jam 5 habis subuh sudah berangkat, kami sampai Karanganyar masih pagi, setengah delapan. Sebelum mengontak orang yang kukenal di Karanganyar aku lebih dulu mencoba mencari informasi di dekat pabrik gula. Di sebuah warung kecil kami bertanya kepada pemilik warung, seorang nenek tua. Ternyata nama Harjosuwarno sangat terkenal di daerah itu. Mudah saja kami menemukan rumahnya, rumah kayu sederhana. Kami ketuk pintu kayu jatinya yang kelihatan perkasa untuk ukuran rumah desa yang sederhana. Terdengar suara dehem dua kali, kemudian pintu terbuka, dan ya Allah, kami terkesima menatap seorang kakek di depan mata kami.
Kakek tua itu tampak demikian anggun berwibawa. Bersarung, tanpa alas kaki, berbaju lurik jawa, berodeng atau ikat kepala wulung, rambutnya putih panjang, jenggot dan kumisnya juga putih dan panjang. Ia menatap kami, tanpa berkata-kata, lalu menatapku dengan tajamnya, menyelidik, dan kemudian berkata singkat dengan suara menggelegar sangat berwibawa, “Tunggunen neng njaba ya, Le, dhilit maneh awake dhewe langsung budhal nyang Yoja” (Tunggulah di luar ya, Nak, sebentar lagi kita langsung berangkat ke Jogja). Kami terkesima, terutama aku. Ternyata di dunia ini, di dunia canggih super canggih segala macam canggih ini, masih banyak orang sakti. Aku hampir tidak percaya. Bagaimana kakek tua itu tahu tujuan kami. Hebat. Hebat sekali. Di jalan kami tak banyak cerita. Kakek itu juga banyak diam. Kami dilarang menelepon ke rumah oleh kakek itu, dan kami pun memenuhinya.
Karena tidak berani ngebut, takut kakek tua yang kami bawa marah, jam 12 kami baru sampai rumah. Kakek tua itu langsung kami persilakan bertemu dengan kakek. Aneh, begitu melihat kehadiran kakek tua itu kakekku langsung bangkit dan duduk di pembaringan serta menyalami kakek tua dari Karanganyar. Pembicaraan dengan suara-suara berat berwibawa pun terjadilah.
“Piye kabare, Le?” (Bagaimana kabarmu, Dik?)
“Aku sehat-sehat wae, Kang.” (Aku sehat-sehat saja, Kak.)
“Kowe pangling ora karo aku?” (Kamu lupa tidak padaku?)
“Wah, ora Kang. Masak lali karo sedulur tuwa?” (Wah, tidak Kak. Masak lupa pada saudara tua.)
“Iki ngene Dhi, apa kowe wis iklas karo patimu?” (Gini Dik, apa kamu sudah mengikhlaskan kematianmu?)
“Iklas, Kang. Ora iklas ki ngapa?” (Ikhlas, Kak. Kenapa tidak ikhlas?)
“Yen iklas, ya dina iki uga Le. Piye?” (Kalau memang ikhlas, ya hari ini juga Dik. Bagaimana?)
“Iya, Kang. Aku iklas, dina iki uga.” (Iya, Kak. Aku ikhlas, hari ini juga.)
Setelah itu kakek tiduran. Kakak seperguruannya duduk di tepi pembaringan sambil berdoa, astaga, ya Allah, dengan bahasa Arab. Kakek memang rajin sembahyang, sampai tua. Bahkan, dalam sakit pun tetap sembahyang sebisanya. Aneh, orang tua dari Karanganyar ini tampaknya juga saleh meskipun aku tidak tahu salat atau tidak.
Orang tua dari Karanganyar itu kemudian memanggilku. Inti perkataan dan pesannya adalah sebagai berikut.
Kakekku adalah orang sakti. Ia memasang susuk di keningnya. Intan. Meskipun sudah sakit, kakekku masih sakti. Kalau tidak percaya kami diminta membuktikan dengan membacokkan pedang atau senjata apa pun ke tubuh kakekku, dan senjata itu katanya tidak akan pernah ada yang bisa melukai kakek. Kami percaya, terutama aku. Sebenarnya kakek sudah sampai saatnya meninggal, tetapi dengan susuk itu kakek akan sulit meninggal. Susuk itu harus dihilangkan atau dibuang. Syaratnya kami harus mencari pohon kapuk kapas lengkap dengan kulit, daun, dan bunganya. Segeralah kami berburu. Agar mudah, dengan motor. Aku pergi dengan sepupu istriku. Sepupu istriku yang lainnya dengan saudara dekat kami.
Sebagai orang kampus, yang kuingat pertama adalah kampus yang punya jurusan pertanian atau perkebunan. Kami ke kampus UGM. Tidak ada, baru saja dipanen untuk penelitian mahasiswa. Kami ke kampus UPN, tidak ada. Kami ke kampus Sekolah Perkebunan di Muja Muju, dapat, tapi masih kecil, baru tumbuh, satu meteran tingginya, belum ada bunganya. Tapi, untuk jaga-jaga, kata penjaga sekolah itu, sebaiknya pohon yang baru tumbuh itu juga kami bawa. Kami pun membawanya. Terus, perburuan terus berlangsung ke kampung-kampung.
Di setiap kampung kami berhenti dan bertanya. Nihil. Kami susuri jalan-jalan sekitar Candi Sambisari, Candi Kalasan, Candi Prambanan, dan terus ke utara ke arah lapangan golf Merapi. Di sebuah pertigaan Jalan Cangkringan kami berhenti dan aku bertanya kepada dua nenek-nenek yang sedang menunggu bus di emperan toko. Alhamdulillah, kata mereka pohon kapuk kapas bisa ditemukan di Dusun Gadingan. Setelah mendapatkan ancar-ancar lokasinya kami pun memacu motor menuju tempat itu. Benar saja. Di pinggir jalan ada sebuah rumah yang menanam banyak pohon kapas, dan semua sudah cukup besar, berbunga. Kami pun mengutarakan maksud kedatangan kami, memohon bantuan kapas, kulit, daun, dan bunganya untuk mengobati penyakit kakek kami. Dengan senang hati, apalagi mendengar untuk obat, pemilik pohon itu mengabulkan permohonan kami. Kami pun langsung pulang dan menyerahkan syarat itu kepada kakak seperguruan kakek.
Atas instruksi kakak seperguruan kakek, kulit, daun, dan bunga kapas itu kemudian digilas lembut dan diberi sedikit air. Setelah itu kakak seperguruan kakek mengoleskan ramuan tersebut ke tubuh kakek, mulai dari kepala, muka, tangan, sampai telapak kaki. Kami diminta memandu kakek menghadap Sang Khalik dengan bisikan bacaan shahadat di telinganya. Kakek komat-kamit menirukan doa kami, sejenak kemudian tubuhnya menegang, meregang nyawa, dan kakek meninggal dengan tenang diikuti tangis histeris anak cucunya, kecuali aku.
Kenapa aku tidak menangis? Apakah aku tidak menyayangi kakek? Bukan. Bukan itu. Aku merasa berdosa. Akulah yang paling bersemangat dan berhasil mendapatkan pohon kapuk kapas untuk syarat penghilangan susuk kakek, akulah yang secara tidak langsung telah membunuhnya. Aku menyesal, aku merasa berdosa, aku merasa telah membunuh kakek: aku seorang pembunuh, aku bunuh kakekku.
Pondok Kanthil, Medio Oktober 2007
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H