Mohon tunggu...
031_Neng Nazma Aulia
031_Neng Nazma Aulia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi Publik spiking

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dampak Inflasi Pangan Kelas Menengah Ke Bawah

8 Oktober 2024   12:51 Diperbarui: 8 Oktober 2024   12:54 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Inflasi merupakan penyakit makro ekonomi yang dapat merusak sendi-sendi perekonomian, merusak iklim berproduksi, dan melemahkan daya beli masyarakat. Oleh karena itu, inflasi yang tinggi mengganggu perekonomian, sehingga otoritas moneter berusaha sekuat tenaga untuk mengurangi inflasi dengan menerapkan berbagai kebijakan moneter, termasuk kebijakan uang yang ketat, suku bunga SBI yang tinggi, dan lain-lain, bahkan diikuti oleh kebijakan fiskal dan kebijakan sisi pasokan (Djambak, 1829). Indonesia harus menghadapi tantangan besar, yaitu peningkatan indeks harga pangan setiap tahunnya. 

Indeks harga pangan agregat Indonesia meningkat rata-rata 4% per tahun selama dua puluh tiga tahun, dengan pertumbuhan total sebesar 91,9 persen. Menurut angka tersebut, kenaikan harga pangan di Indonesia memiliki konsekuensi signifikan, yaitu menyusutnya daya beli masyarakat terhadap produk pangan. Jika dibandingkan dengan indeks harga pangan global yang diterbitkan oleh FAO, tren indeks harga pangan Indonesia berbeda. Tren ini cenderung meningkat setiap tahun. Meskipun indeks harga pangan global biasanya berubah-ubah, ketika ada kekacauan, indeks harga akan meningkat. Namun, ketika situasi sudah dapat ditangani, indeks harga akan kembali turun (Nugroho & Afandi, 2024).

Era Globalisasi saat ini, harga suatu komoditas di suatu tempat dipengaruhi oleh harga komoditas di tempat lain. Ini adalah hasil dari perdagangan antar wilayah, bahkan antar negara, dalam bentuk ekspor dan impor. Negara-negara yang masih mengalami defisit stok komoditas pangan akan mencoba mengatasi defisit tersebut dengan mengimpor komoditas pangan dari negara-negara yang sudah swasembada atau memiliki stok komoditas tersebut. 

Harga pangan global dianggap dapat digunakan sebagai variabel yang mewakili penawaran agregat dalam penelitian tentang kenaikan harga pangan (Djambak, 1829). Sepanjang Sejarah Perekonomian Indonesia jingga akhir tahun 2006, inflasi Indonesia telah mencapai rata-rata 11,03 persen (selama 27 tahun), suatu tingkat inflasi yang cukup tinggi yang berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi negara. Bahkan pada tahun 1966, inflasi Indonesia mencapai 650 persen, pada tahun 1967, inflasi mencapai 120%, dan pada tahun 1998, inflasi setelah krisis moneter mencapai 77,63 persen (Nugroho & Afandi, 2024).

Penduduk Indonesia, yang berjumlah 272.229.372 orang, seringkali tidak sesuai dengan penawaran dan permintaan bahan pangan yang dibutuhkan. Hal ini dapat disebabkan oleh permintaan yang melebihi jumlah produksi, kegagalan panen, masalah distribusi, masalah impor, atau masalah lain yang berdampak pada harga bahan pangan. Salah satu faktor yang berkontribusi pada perkembangan inflasi nasional adalah harga bahan pangan. Inflasi penting untuk diteliti karena merupakan indikator makro yang menggambarkan kondisi perekonomian suatu negara. 

Faktor-faktor yang dapat dipertimbangkan untuk dikendalikan oleh pengaruh harga bahan pangan pokok, yang terdiri dari beras, daging ayam, daging sapi, telur ayam, bawang merah, bawang putih, cabai merah, cabai rawit, minyak goreng, dan gula pasir, terhadap inflasi. Harga yang diatur pemerintah, inflasi harga bergejolak, dan inflasi inti yang rendah umumnya menunjukkan kemungkinan penurunan inflasi pada akhir tahun 2020. Permintaan konsumen menurun selama pandemi karena penurunan pendapatan di sektor non-formal dan kecenderungan untuk menabung karena ketidakpastian. Inflasi harga bergejolak berarti harga makanan yang tidak stabil turun karena daya beli masyarakat menurun. Ekspektasi inflasi, permintaan domestik, kestabilan nilai tukar, dan harga komoditi di pasar internasional adalah semua faktor yang dipertimbangkan dalam pengendalian inflasi (Helbawanti et al., 2021).

Berdasarkan data yang saya dapat dari media online bahwa Ekonomi Indonesia di Tahun 2024 saat ini mengalami inflasi pangan yang cukup tinggi, sehingga kondisi Ekonomi kelas menangah kebawah semakin sulit. Data terbaru menunjukkan Inflasi Pangan membuat dompet masyarakat menengah kebawah semakin tipis, bahkan gaji mereka pun hanya cukup untuk membeli makan dan minum saja. Andry Asmoro, Kepada Ekonom Bank Mandiri, menyebut bahwa Mandiri Spending Index (MSI) menunjukkan pengeluaran masyarakat kini banyak lari ke supermarket. Makan dan minum naik drastis di Tahun 2024, Januari 2023 jumlahnya masih 13,9%, Mei 2024 naik menjadi 26%, Belum lagi, gaji hanya segitu gitu saja sehingga membuat masyatakat menengah kebawah kesusahan untuk berbelanja kebutuhan lain. Masyarakat kelas menengah kebawah yang paling terkena dampaknya, sebab tabungan mereka semakin menipis karena terus digunakan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Sementara itu, kelas atas malah semakin meningkat atau bisa di sebut semakin kaya raya karena investasi.

Perkembangan harga pangan sebagai dampak risiko cuaca dan tekanan harga akibat restriksi ekspor di beberapa negara produsen pangan perlu diwaspadai pemerintah. Berdasarkan data BPS, di tengah penurunan inflasi inti dan kelompok harga yang diatur, inflasi kelompok makanan yang tidak stabil, terutama komoditas hortikultura, berkontribusi pada peningkatan inflasi pada bulan Juni 2022. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Juni 2022 tercatat 4,35% yoy secara tahunan, lebih tinggi dari inflasi bulan sebelumnya. Pada akhir 2022, IHK diperkirakan sedikit lebih tinggi dari batas atas kisaran target, dan pada 2023 akan kembali ke kisaran target 3,0 1%. Gambar 1 menunjukkan perkembangan inflasi Indonesia selama setahun terakhir. Inflasi pada Juni 2022 meningkat cukup tajam dari bulan sebelumnya dan mencapai titik tertinggi sejak Juni 2017. Pemerintah telah menaikkan subsidi dan belanja sosial, yang dikenal sebagai shock absorber, untuk mengurangi dampak kenaikan harga komoditas global terhadap inflasi. Peningkatan ini didanai melalui peningkatan penerimaan. Pemerintah juga telah melakukan berbagai upaya untuk menjaga harga makanan nasional stabil, seperti memberikan insentif untuk selisih harga minyak goreng, melarang ekspor CPO dan turunannya untuk menjaga pasokan tetap murah, dan mempertahankan harga jual BBM, LPG, dan listrik yang diatur tidak naik. Sebagai upaya untuk menjaga kecukupan pasokan, kelancaran distribusi, dan keterjangkauan harga makanan pokok, diharapkan langkah-langkah ini akan melindungi daya beli masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah. Meskipun demikian, upaya pemerintah untuk mengontrol harga dengan meningkatkan subsidi dan memberikan bantuan sosial hanyalah solusi jangka pendek (Satya, 2022).

Kesimpulannya yaitu dampak signifikan inflasi pangan terhadap daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah di Indonesia, yang di perburuk oleh kenaikan harga komoditas dan tantangan ekonomi. Artikel ini menggaris bawahi bahwa perlunya intervensi pemerintah yang efektif untuk menstabilkan harga pangan dan melindungi masyarakat yang rentan, sekaligus mengakui bahwa langkah langkah ini mungkin hanya memberikan bantuan sementara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun