Demokrasi di Persimpangan: Menghindari Pembajakan Demokratis oleh Populis
Oleh: Ilham Aryasona
Di era modern, demokrasi sering dianggap sebagai bentuk pemerintahan yang paling ideal, di mana kekuasaan berasal dari rakyat dan dijalankan untuk kepentingan rakyat. Namun, sebuah fenomena mengkhawatirkan tengah terjadi di berbagai belahan dunia: pemimpin populis, terpilih melalui jalur demokratis, justru membajak sistem ini dan mengancam esensi demokrasi itu sendiri.Â
Fenomena ini, sebagaimana diuraikan oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam "How Democracies Die", menunjukkan bagaimana proses ini terjadi secara bertahap namun pasti.
Pemimpin populis seringkali memulai karir politik mereka dengan janji reformasi dan memberantas korupsi. Mereka hadir sebagai "penyelamat rakyat" dari cengkeraman elit politik yang korup.Â
Narasi ini menggaung kuat di masyarakat yang sudah lama merasa terpinggirkan dan dikhianati oleh pemimpin tradisional. Dalam konteks ini, pemimpin seperti ini berhasil menarik simpati dan dukungan besar melalui pemilu yang sah dan demokratis.
Namun, kemenangan mereka sering kali menjadi awal dari erosi demokrasi. Langkah pertama yang diambil adalah menyerang institusi-institusi demokrasi yang menjadi penyeimbang kekuasaan. Peradilan yang independen, media yang bebas, dan lembaga pengawasan lainnya mulai dilemahkan. Ini dilakukan melalui retorika yang merendahkan atau tindakan nyata seperti mengganti pejabat-pejabat kunci dengan orang-orang yang loyal kepada mereka.
Selanjutnya, norma-norma demokrasi yang tidak tertulis tetapi sangat penting juga mulai dikikis. Toleransi terhadap oposisi mulai memudar, dan komitmen terhadap aturan main yang adil semakin diabaikan. Pemimpin populis ini cenderung mengabaikan peraturan yang tidak sesuai dengan agenda mereka, dan menggunakan hukum sebagai alat untuk menekan lawan politik.
Pembatasan hak-hak sipil dan politik menjadi langkah berikutnya. Kebebasan berekspresi mulai terancam, kebebasan berkumpul dibatasi, dan lawan politik diintimidasi.Â
Semua ini dilakukan dengan justifikasi hukum yang tampaknya sah. Pemilu tetap dilaksanakan, tetapi integritasnya semakin dipertanyakan. Manipulasi aturan pemilu, perubahan distrik pemilihan, dan tekanan terhadap pemilih serta kandidat oposisi menjadi taktik yang lazim digunakan.
Seiring berjalannya waktu, pemimpin populis ini berhasil mengonsolidasikan kekuasaan mereka. Mekanisme check and balances semakin berkurang, dan perubahan konstitusional yang memperpanjang masa jabatan atau memberikan lebih banyak kekuasaan kepada eksekutif dilakukan. Demokrasi, yang seharusnya menjadi pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat, berubah menjadi alat bagi segelintir orang yang berkuasa.