Generasi Muda:Â dalam Novel Perempuan di Penggilingan karya Arizal
Trauma Kolonial dan Pengaruhnya padaOleh: Nailiy Nur Sa'adah
"Masa lalu tak pernah benar-benar berlalu. Masa sekarang selalu menyisakan ruang untuk masa lalu kembali datang."
-Perempuan di Penggilingan-
Sebagai refleksi realitas, literatur juga memiliki peran dalam mengungkap isu-isu sosial yang terjadi dalam masyarakat. Salah satunya melalui karya sastra. Novel Perempuan di Penggilingan karya Arizal merupakan salah satu karya sastra menarik yang mampu membuat kita membuka mata bahwa sejarah adalah masa lalu yang harus dihadapi hingga masa kini maupun masa nanti. Dari kisah Elia si tokoh utama dalam novel, kita dapat memahami bagaimana kolonialisme bisa memberikan trauma bahkan pada generasi muda masa kini. Hal ini menarik sekali untuk kita bahas melalui kacamata poskolonialisme Gayatri Spivak.
Penggilingan padi dalam novel tersebut tak hanya sekedar menjadi tempat, melainkan juga menjadi simbol kekuasaan kolonial yang mengakar. Sebagaimana kita ketahui, pada masa penjajahan, sumber daya alam seperti padi dieksploitasi habis-habisan untuk kepentingan kolonial. Tak kalah penting, meski lekat dengan unsur mistis, novel ini juga mengangkat isu zaman pergolakan yang terjadi pada masa awal kemerdekaan. Dalam novel disebutkan secara khusus di tahun 1958, peristiwa pembakaran tempat penggilingan padi milik nenek Elia terjadi. Peristiwa itu terus membawa dampak pada kehidupan keturunannya sampai pada generasi kedua yaitu Elia sendiri. Bahkan hingga berpuluh-puluh tahun, trauma kolonialisme tersebut terus menghantui generasi muda seperti Elia.
Bila kita selami lebih dalam, Elia menjadi representasi dari kelompok subaltern yang dikemukakan oleh Gayatri Spivak. Elia merupakan perempuan muda yang tiba-tiba menjadi tunawisma setelah ibunya meninggal. Ia memutuskan untuk pulang dari perantauan dan hidup mengelola penggilingan padi milik keluarganya. Di sisi lain, Elia masih harus terbelenggu oleh masa lalu kelam keluarganya. Hal itu kemudian membawanya pada trauma kolonialisme yang termanifestasi dalam berbagai bentuk ketakutan, ketidakpercayaan, bahkan trauma kolektif dari masyarakat sekitar pedesaan.
Uniknya, novel ini menggunakan unsur mistis sebagai bentuk perlawanan subaltern terhadap kekuasaan kolonial. Dalam novel diceritakan bahwa setelah kembali ke kampung halaman ibunya di Sumatera, Elia menghadapi berbagai teror mistis. Di sepanjang perjalanan novel kemudian terungkap bahwa bayang-bayang yang selalu menghantui Elia di penggilingan padi adalah arwah kakek dan neneknya. Ibu Elia sendiri merupakan anak tidak sah dari kakek dan neneknya, oleh sebab itu kakeknya sebagai tumbuluk (bawahan tentara) pada 1958 hendak membakar hidup-hidup ibu Elia yang saat itu masih bayi.
Selain itu, pada saat itu juga kakek Elia sedang memburu pemberontak untuk diserahkan pada tentara Jawa. Pemberontak yang ia buru adalah saudara laki-laki nenek Elia sendiri. Itulah sebab peristiwa pembakaran penggilingan padi itu terjadi. Beruntungnya, ibu Elia masih terselamatkan. Aziz, saudara laki-laki neneknya membawa ibu Elia pergi---dan saat itulah kakek Elia terbunuh, sebab berusaha menghalangi Aziz. Dari cerita tersebut dapat kita pahami bahwa selain Elia, subaltern dalam novel ini termasuk juga Aziz, ibu, dan nenek Elia.
Elia tak pernah mendengar cerita masa lalu tersebut dari ibunya. Sepanjang perjalanan hidupnya, ibu Elia lebih memilih untuk menyembunyikan kisah tersebut dan membiarkan Elia mencari tahu sendiri setelah ia meninggal. Namun, itu bukan berarti bahwa ibu Elia melupakannya. Setelah dewasa ibu Elia bahkan masih harus memberanikan diri menghindar dari masa lalu tersebut dengan cara mengadu nasib di ibu kota. Ini juga termasuk dalam bentuk traumatisme peristiwa kolonialisme tersebut.
Sekilas, dalam novel juga diceritakan saat Elia menghadapi teror mistis dari arwah kakek dan neneknya, masyarakat sekitar menyarankannya memanggil orang pintar untuk mengusir arwah tersebut. Melalui kepercayaan dan ritual mistis itu, masyarakat mencoba mencari kekuatan dan perlindungan dari ancaman yang datang dari luar. Mistisisme menjadi cara bagi mereka untuk mempertahankan identitas dan spiritualitas mereka di tengah tekanan modernisasi dan globalisasi.
Melalui kisah ini, dapat kita mengerti bahwa trauma kolonial tidak hanya dialami oleh generasi yang langsung mengalami penjajahan, tetapi juga diturunkan kepada generasi berikutnya. Kisah ini sekaligus menjadi bukti bahwa subaltern hampir tidak mungkin bisa bersuara. Suara mereka hanya bisa direpresentasikan oleh kelompok yang lebih berkuasa. Perlawanan subaltern melalui unsur mistis berupa kemunculan arwah dalam novel cukup menjadi bukti akan sulitnya suara subaltern untuk didengar. Melalui novel ini, kita diajak untuk tidak melupakan masa lalu. Dengan memahami akar permasalahan yang kita hadapi saat ini, kita dapat membangun masa depan yang lebih baik. Melalui kisah Elia, kita diajak untuk merenungkan pentingnya memberikan suara kepada mereka yang terpinggirkan dan pentingnya terus berjuang melawan ketidakadilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H