Tradisi yang masih terjaga sangat mencirikan kemajuan peradaban suatu bangsa. Dalam tradisi Jawa, hari raya atau bhada (dalam bahasa jawanya) pasca Ramadhan ada dua macam, yaitu bhada lebaran dan bhada kupat. Kata bhada diambil dari bahasa Arab yaitu “ba’da” yang artinya sudah. Konon kata kupat dalam bahasa Jawa merupakan kependekan dari kalimat ngaku lepat yang berarti “mengakui kesalahan”. Melihat dari sejarahnya, tradisi islam sudah ada sejak abad ke 15 di Kerajaan Islam Demak Bintoro. Tradisi ini diyakini berasal dari Kanjeng Sunan Kalijaga, salah satu dari kesembilan wali (wali songo) yang termasyhur sebagai penyebar Agama Islam di Tanah Nusantara.
Dalam perjalanannya tradisi kupatan sempat mengalami pro dan kontra. Di satu sisi ada kelompok yang beranggapan perayaan kupatan itu tidak boleh, dengan dalih urusan agama itu tidak boleh dicampurkan dengan urusan budaya. Namun di sisi lain, ada kelompok yang membolehkan perayaan kupatan, dengan anggapan bahwasannya di dalam tradisi kupatan mengandung nilai-nilai kearifan dan ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan seiring berjalannya waktu, tradisi perayaan kupatan sudah tidak lagi menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh manusia dalam lingkup kecil, namun telah menyebar kepada masyarakat luas, dan secara tidak langsung dikokohkan oleh masyarakat sebagai perayaan besar tahunan.
Kata kupat sendiri merupakan bentuk jamak dari kafi, yaitu kuffat yang berarti cukup, jelasnya cukup akan pengharapan hidup ini setelah melakukan puasa selama satu bulan yakni di bulan Ramadhan (Hadrawi, 2022). Hal ini sesuai dengan hadis Nabi saw.
خُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَرِهِ وَ خُفَّتِ الْنَّرُ بِالشَّهَوَاتِ
“Surga itu diliputi perkara-perkara yang dibenci (oleh jiwa) dan neraka itu diliputi perkara-perkara yang disukai syahwat.” (HR. Muslim)
Tradisi kupatan sendiri menyimpan nasehat filosofi yang sangat penting, yaitu dimana setelah seseorang melakukan puasa Ramadhan selama satu bulan penuh, hendaknya seseorang tersebut tetap berhati-hati menjaga diri dari kesenangan nafsu yang menyesatkan dan tetap istiqomah dalam menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji.
Tradisi dijadikan sebagai salah satu media untuk menyampaian pesan agama sudah ada sejak dulu, dan tentunya tidak luput dari peran wali songo sebagai penyebar Agama Islam di Nusantara khususnya di tanah Jawa. Tradisi Mauludan, Isra’ Mi’raj, Rajaban, dan Kupatan misalnya, dalam pelaksanaannya pun tidak melulu diikuti oleh orang tua saja, namun dari anak-anak juga turut meramaikannya. Dengan kata lain, keterlibatan anak-anak tidak hanya sebagai penggembira saja, tetapi juga secara tidak langsung bertujuan untuk mengenalkan mereka dengan tradisi yang sudah ada.
Dalam pelaksanaannya, penulis dapat mengatakan bahwa tradisi merupakan salah satu media yang siap untuk terus memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat luas, termasuk masyarakat Desa Padangan. Dikawal oleh tokoh agama setempat, masyarakat Desa Padangan sudah bisa dikatakan lihai dalam melaksanakan tradisi kupatan. Tradisi yang dikaitkan langsung dengan ibadah puasa sunnah tersebut, biasanya dilaksanakan di masjid atau mushola guna untuk berdo’a bersama (istilah jawa: kirim leluhur) dan juga bertukar kupat kepada sesama, yakni pada tanggal 8 Syawal, tepatnya setelah menjalankan puasa sunnah selama enam hari pada Bulan Syawal. Dengan kata lain, tradisi kupatan merupakan suatu perayaan hari raya (kita kenal dengan istilah badha) bagi orang yang melaksanakan puasa sunnah Bulan Syawal.
Penerapan tradisi kupatan di Desa Padangan Kecamatan Kayen Kidul diamati oleh penulis sebagai salah satu tradisi yang tidak hanya sebagai alternatif dakwah. Namun, memiliki nilai lebih, yaitu dapat menjadi alternatif media penyampaian pesan moral agama. Tradisi kupatan seakan-akan menjadi suatu dorongan atau motivasi kepada masyarakat untuk melakukan puasa sunnah Bulan Syawal tersebut. Karena kita tahu bahwasanya setiap ibadah pasti menyimpan fadhilah yang istimewa. Seperti yang telah didhawuhkan oleh nabi,
عَنْ أَبِيْ أيُّوب الأَنْصَارِيْ قَالَ : مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالِ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ. (رواه البخاري)
Dari Abu Ayyub al-Ansari berkata: “siapa saja yang puasa Ramadhan kemudian mengiringinya enam hari dari Syawal seperti puasa selama setahun”. (HR. al-Bukhari).
Perkembangan zaman sejatinya tidak akan berpengaruh terhadap kualitas peradaban budaya suatu bangsa jika para pelaksana di dunia tradisi kebudayaan memiliki inovasi yang dapat mengatasi dengan baik. Sebagaimana tradisi yang berinovasi dengan cara mengakulturasi budaya setempat, kupatan sebagai media penyampaian pesan Islam melalui tradisi setempat. Dengan demikian, makna filosofis kupatan dapat tersampaikan secara maksimal melalui pelayanan yang optimal terhadap masyarakat luas. Selain itu, terdapat pula bonus kesunahan puasa Syawal bagi masyarakat yang mengikutinya. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi masyarakat untuk tidak melaksanakan kegiatan kupatan tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H