Pada awalnya, kukira bebanku ketika merantau akan berkurang daripada terus-menerus di kampung halaman. Ternyata itu semua salah. Waktu itu aku ingin cepat-cepat merantau agar bisa melihat kampus dimana aku belajar, bisa melakukan apapun yang ingin aku lakukan tanpa tersekat oleh batasan orang tua, bisa begadang malam-malam, dan hal-hal menyenangkan lainnya bagi anak muda. Ternyata, aku salah. Justru dari merantaulah aku bisa menghargai perjuangan orang tua untuk menafkahi dan menghidupi kita.
Aku sedang tidak menulis cerita fiktif, dan mungkin tidak hanya aku yang merasakan hal ini, yang lain pun juga pernah. Di perantauan, aku belajar untuk menahan mengeluarkan uang untuk keinginan-keinginan yang kalo dirumah tu tiap hari didapatkan. Misal masalah mencuci baju, kita akan menempatkan opsi laundry ke pilihan sekian. Kalo mencuci baju, aku pribadi lebih suka untuk mencuci sendiri daripada meng-laundry pakaian, selain karena nunggunya lama, aku juga tak bisa sering-sering laundry, karena hanya dengan sangu lima ratus ribu perbulan di kota solo di tahun 2021 ini, aku harus memutar otak agar uang bisa bertahan selama sebulan.
Untuk makan, main, dan lain-lain banyak yang tak bisa kubeli saat kuinginkan, karena ya aku harus me manage keuangan agar bisa bertahan selama sebulan itu. Saat aku ragu untuk membelanjakan uang di perantauan ini, aku jadi tahu kenapa ibu tidak membelikanku mainan saat kecil, atau mungkin tidak mengajakku jalan-jalan ke tempat wisata karena mereka (orang tuaku) memiliki pertimbangan yang lebih penting, maka daripada untuk jalan atau untuk main, lebih baik untuk keperluan yang penting saja, toh itu juga untuk kebaikanku.
Di perantauan ini, aku bertemu dengan banyak orang dengan berbagai kebudayaan yang berbeda. Dengan hal itu, aku mendapat wawasan baru. Dari sini aku tahu, kalau merantau bukanlah tempat untuk hahahihi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H