(Balada Penjual Kembang)
Di bawah jembatan bergaris rel, beralas  kerikil
dan bantalan-bantalan besi tempat duduk empuk
untuk melepapkan pantat berlama-lama. Suara
cekikikan, hempasan kartu, atau keriuhan adalah
musik yang begitu hapal hingga tak lagi terdengar
Tapi dangdut berkerubut meloncat dari speaker
gemuruh yang siap menelan
Senja mengalirkan darah ke Barat, menyusu
di tubuh malam dan bulan beringsut bagai siput
Menyusuri remang stasiun, sepur muncul begitu
ganas, pancarkan sinar keras. Membelah onggokan
warna-warni pakaian, kertas dan angka-angka..
Mereka bergeser, menyibak untuk kemudian
melingkar, menyatukan parfum dan menggelar
akar kebersamaan ke ujungnya
Tanah Abang berputar, roda nasib bergetar
dan perempuan-perempuan takut cahaya
mengundang tamu untuk berkecupan, bergulingan
di reokan triplek. Merekalah yang setia merindu
malam dan meragukan siang, menyerahkan diri
seutuhnya pada gelap. Bersidekap erat menyibak
remang, memarakkan hidup yang kian jauh
Dan kaki-lima berebahan, menggelar lelah di aroma
tubuhnya: di sinilah mereka menggetarkan kota
menikmati keluh yang teramat kesah dari setangkai
bunga yang dipetik ribuan lelaki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H