Mohon tunggu...
01_Arina Nida A
01_Arina Nida A Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa/Universitas Airlangga

suka membaca dan menulis, memiliki ketertarikan pada bidang sastra dan linguistik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Meramu Realita dalam Cerita

23 September 2023   20:34 Diperbarui: 23 September 2023   20:50 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : https://www.iflegma.com/2021/08/buku-toni-lesmana-tamasya-kota-pernia.html

Judul : Tamasya Kota Pernia

Penulis : Toni Lesmana

Penerbit : BasaBasi

Cetakan : 1, Februari 2018

Tebal : 228 Halaman

ISBN : 978-602-61246-0-9

"Namun kini, aku tak dapat mengerti bagaimana dapat kau hidup tanpa nurani, tanpa hati. Barangkali seluruh penghuni negeri penidur ini tak hanya hidup dalam tidur, barangkali mereka juga hidup tanpa hati, tanpa ruh. Seperti jarum detik. Seperti mesin. Seperti robot. Seperti tubuhmu kini. Tubuhku, tubuhku, o, malangnya tubuhku." - Toni Lesmana

         Tamasya Kota Pernia merupakan buku antologi cerpen karya Toni Lesmana. Cerpen-cerpen yang termuat dalam buku ini telah diterbitkan mulai dari tahun 2009–2017. Buku antologi cerpen ini berisi dua bab dengan judul masing-masing Tamasya Kota Pernia untuk bab pertama dan Dongeng Hutan Kesedihan pada bab kedua. Buku antologi cerpen ini dapat dikatakan berhasil membawakan isu-isu sosial yang tengah berkembang di masyarakat lewat sudut pandang penulis. Di sini Toni Lesmana memperlihatkan bagaimana lihainya ia meramu kata-kata dan membungkusnya dalam sebuah cerita. Meski tidak menggunakan diksi-diksi yang indah dengan makna penuh kias, gaya bahasa sederhana yang digunakan memberi kesan lebih membumi dan nyata dengan kehidupan sehari-hari. 

          Pada bab pertama, Toni Lesmana nampak sangat berambisi dalam menggambarkan keadaan manusia pada era saat ini. Dengan melibatkan kemajuan teknologi yang berbanding terbalik dengan degradasi moral, dan etika, ia menyelubungkan pesan-pesan tersirat lewat cerita-cerita pendek yang sadis namun realistis. Penggambaran bagaimana bejatnya manusia serta pola pikir mereka yang gila. Bagaimana cinta tak lagi berarti, dan realita seperti mimpi. Sayangnya, bagi mereka yang tak begitu memahami sastra, mereka akan kesulitan untuk mencerna cerita-cerita pada bab 1 ini. Meski gaya bahasa yang digunakan cenderung mudah dimengerti, alur serta suasana dalam cerita cukup membuat pembaca perlu mengulang dua sampai tiga kali. Belum lagi karena suasana erotis nan sadis yang tergambar dalam cerita-cerita pada bab ini, tentu akan membuat sebagian pembaca merasa tidak nyaman. Terutama bagi mereka yang masih awam dan belum dapat menginterpretasikan apa yang dimaksud dengan gamblang, besar kemungkinan mereka akan salah paham dan malah menyoroti bagian-bagian yang seharusnya tak dapat ditelan mentah-mentah. Meski begitu, hal ini dapat menjadi ciri khas tersendiri bagi tulisan Toni, sehingga membuatnya lebih mudah untuk diingat. 

           Saya sendiri cenderung lebih menyukai bab kedua, karena berisikan dongeng-dongeng manis dan humoris, juga campuran hawa magis. Sedikit berkebalikan dengan bab pertama yang lebih menekankan pada realita dengan suasana yang miris, bab kedua lebih mudah untuk dipahami, utamanya oleh orang-orang awam yang belum benar-benar melek sastra. Pada bab kedua, diceritakan kembali dongeng-dongeng yang menyebar dalam masyarakat lewat gaya bahasa dan kepenulisan seorang Toni Lesmana. Menyenggol mengenai bagaimana manusia sekarang yang asing dengan kebudayaan dan warisan budaya lisan. Anak-anak yang lebih senang main game dan menonton tv dibanding bermain bersama mendengar dongeng dan berpuisi. Bab ini juga menyajikan sudut pandang berbeda pada beberapa isu sosial yang dibahas, salah satunya yakni Ujang Hampos. Penulis seolah menberikan celah untuk kita dapat membenci dan mengutuk perbuatan sang tokoh utama, tetapi di sisi lain juga memberikan sudut pandang baru bahwa kita selaku orang-orang yang berpendidikan tak selamanya dapat menghakimi mereka-mereka yang awam. Karena mereka melakukan sesuatu berdasarkan apa yang mereka tahu, bukan apa yang telah mereka pelajari. Mereka tidak mengerti etika dan norma lebih dari kita yang telah menempuh masa sekolah hingga sarjana. Bagaimana perbedaan cara kita memandang sesuatu bukan menjadikan kita merasa lebih benar, tapi kita perlu lebih bisa memahami, karakter serta latar belakang seseorang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun