Belakangan ini banyak Artis yang mencalonkan diri dalam pemilu. Mereka bermodalkan kepopuleran sebagai musisi, sutradara, bahkan pemain film. Masuknya artis juga memperlihatkan tiadanya proses perekrutan yang baik. Seandainya partai politik mampu menjalankan fungsi perekrutan dengan baik, seharusnya mereka tak repot-repot menggotong para selebriti. (Astuti, Yuli F. 2013) Dalam konsep politik, partai politik memiliki fungsi untuk melakukan pendidikan politik, komunikasi politik, serta perekrutan politik. Fungsi-fungsi tersebut seakan-akan kurang maksimal..
Partai politik mencalonkan para artis karena alasan pragmatisme yang mendesak. Artis punya persyaratan untuk bisa diterima dengan cepat oleh pemilih. Artis punya modal sosial dan finansial sehingga kerja-kerja pemenangan akan lebih mudah dilakukan artis ketimbang kader-kader yang mungkin perlu bekerja ekstra keras. Artis dipilih karena posisi strategis untuk jadi pengumpul suara bagi partai di tengah ketatnya kompetisi Pemilu 2019. Padahal, caleg dari kalangan artis tidak selamanya bisa menjamin menjadi sarana efektif untuk mendongkrak perolehan suara. Faktor lain adalah masyarakat juga sudah sadar dan telah melek politik. Mereka lebih selektif dan menggunakan akal sehatnya dalam memilih wakil rakyat. Akibatnya, artis-artis yang terpilih kebanyakan selain mempunyai modal popularitas, juga punya modal sosial, finansial, dan juga intelektual. Artis-artis seperti ini biasanya akan terpilih kembali menjadi anggota dewan, bahkan tingkat elektabilitasnya mampu mengalahkan tokoh-tokoh politik yang berpengalaman.
Faktor popularitas artis selayaknya diikuti dengan kompetensi. Hal ini agar tidak dipermasalahkan oleh publik mengapa artis tersebut bisa masuk ke dunia politik. Apabila nanti mereka terpilih menjadi anggota parlemen, tapi tidak mengerti fungsi legislatif itu seperti apa. Tidak punya pemahaman dalam menjalankan fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran, hal ini tentu sangat menyedihkan.
Seharusnya ada aturan tertulis maupun kode etik yang mengatur agar mereka meninggalkan profesinya sebagai artis. Apalagi buat mereka yang baru terpilih, tidak punya  background politik, banyak sekali yang harus dipelajari sehingga kalau sambil mengerjakan profesi yang lain tidak fokus atau terbagi maka akan tertinggal pengetahuannya dengan orang-orang yang punya pengalaman politik yang lebih panjang.
Selama ini ada beberapa artis yang belum mau meninggalkan keartisannya. Mereka masih menerima job sebagai artis, bahkan secara rutin mengisi acara di televisi. Padahal, caleg yang terpilih sudah diberi fasilitas dari negara berupa rumah, mobil, aneka tunjangan dan fasilitas serta gaji yang tidak sedikit. Karena itu, artis yang terpilih harus bisa fokus mengabdikan diri kepada negara.
Bagi partai politik, merekrut artis sebagai caleg menjadi salah satu cara untuk meningkatkan jumlah suara. Alasannya, artis / selebritis umumnya punya penggemar fanatik, yang selalu mendukung apa pun yang dilakukan idolanya. Bagi sang artis sendiri, kedudukan sebagai anggota legislatif akan menaikan pamornya, selain sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang tinggi, tetap terjaga.
Ada dua keuntungan yang diperoleh, gengsi dan penghasilan. Walaupun gaji dan segala macam tunjangan sebagai anggota legislatif kadang tidak sebanding dibandingkan penghasilan sebagai artis, tetapi untuk karier yang sudah redup, akan jauh lebih baik. Mayoritas artis yang mendaftar sebagai caleg bukanlah kader partai, atau bahkan sebelum ini mereka tak pernah berurusan dengan dunia politik.
Fenomena meningkatnya calon selebritis di Indonesia ini menandai suatu perubahan strategi kandidasi di tubuh partai politik dan model pemenangan Pemilu. Pencalonan selebritis biasanya didasarkan oleh beberapa pertimbangan mendasar. Pertama, selebritis tersebut memiliki hubungan kedaerahan dengan daerah pemilihan (Dapil) dimana mereka didaftarkan sebagai calon. Kedua, kandidasi selebritis di suatu dapil dimaksudkan untuk mempertahankan perolehan suara di suatu dapil agar tidak menurun.
Dari fenomena tersebut terlihat bahwa maraknya artis anggota legislatif dari periode ke periode yang diusung oleh beberapa partai politik. Di mana pada umumnya partai politik memiliki kader-kader yang berkualitas. Selebritis yang diusung jadi caleg itu pun tak tahu dengan kapasitas mereka. Mereka hanya mengandalkan masa pembekalan dari partai untuk mengisi wawasannya tentang politik dan tugasnya sebagai wakil rakyat.
Dalam literature akademik keterlibatan artis dalam politik memakai istilah Celebrity politics. Ketenaran dan popularitas sangat mempengaruhi besar kecilnya suara yang akan diperoleh. Hal ini disebabkan oleh sistem pemilihan umum yang berlangsung di Indonesia yang lebih mementingkan popularitas dibandingkan visi dan misi dari seorang calon kandidat. Diperparah lagi dengan minimnya peran serta masyarakat dan kurang pahamnya mereka tentang calon kandidat, kemampuan dan pengalaman dibidang pembangunan masyarakat menjadi hal yang tidak penting bagi masyarakat umum.
Kecenderungan para selebritis terjun dalam panggung perpolitikan menimbulkan selentingan bahwa para selebritis hanya ikut-ikutan karena melihat teman sejawatnya yang terjun dalam panggung politik sukses dan menduduki jabatan terpenting (Fikri. 2012). Menurut pandangan  penulis, alangkah baiknya kita bisa memilih pemimpin kita dari latar belakang pendidikannya, rekam jejak dan pengalaman yang relevan di dunia politik. Tidak sekadar memilih pemimpin hanya karena diidolakan banyak orang. Kalaupun artis mengambil posisi di dunia politik, harus ada peraturan yang memastikan bahwa sang artis memenuhi komitmenya sebagai politikus dan benar - benar meninggalkan pekerjaannya di dunia hiburan. Harus ada salah satu yang dipilih agar tidak menjadi pekerjaan sampingan semata hanya untuk mencari keamanan karir.