Kami pun menjadi akrab. Kehadiran Awan membuatku bertambah semangat dalam menjalani setiap hariku. Awan anak yang cerdas, tidak jarang aku bertanya perihal tugas-tugasku padanya. Berbagi cerita, berbagi canda dan juga duka. Kami sama-sama anak yang terlahir dari keluarga sederhana dan memiliki mimpi yang sama. Dari sinilah kami sailing menyemangati dan saling mendukung.
"Nar, bagaimana kuliahmu hari ini, nak?" Suara ayah yang meneleponku malam ini menanyakan kegiatanku seperti biasanya. Ayah selalu menanyakan hari-hariku menghadapi perkuliahanku. Tidak hanya sekedar bertanya tentangku, tetapi ayah memberikan semangat dan juga memotivasiku agar aku tetap bisa berada di jalur rel yang sudah aku rancang sedari awal. "Seperti hari biasanya, yah. Tugas-tugas Nara selalu menunggu. Untung ada Awan yang siap bantu Nara." Ucapku.
"Nara jangan terus bergantung sama Awan. Awan kan juga punya tanggungjawab yang harus Awan kerjakan. Tugas-tugas Awan juga tidak kalah banyak dari Nara. Nara harus bisa mandiri dan berusaha lebih keras lagi untuk mencapai tujuan Nara. Nara mengerti kan maksud ayah?" Tanya ayah seraya memberikan nasihat padaku.
"Iya, yah. Nara mengerti." Aku hanya menjawab singkat. Tetapi nasihat ayah membuatku memikirkannya kembali. Aku memang tidak seharusnya bergantung pada Awan. Aku terlalu egois untuk mengandalkannya di setiap tugas-tugasku. Kali ini aku harus memperbaiki diri untuk berusaha lebih keras lagi.
Usahaku semakin keras ketika aku harus menghadapi tugas akhir di bangku perkuliahanku. Begitu pula halnya dengan Awan. Waktu kebersamaan kami pun menjadi berkurang. Kami sama-sama konsentrasi pada satu titik tahap pencapaian kami sebagai wujud dari keseriusan kami dalam menggapai apa yang kami sebut mimpi di awal kami menginjakkan kaki pada universitas ini. Sehingga totalitaslah yang harus kami lakukan. Hal ini tidak sama sekali mengganggu hubungan kami. Bahkan kami tetap saling mendukung serta menguatkan satu sama lainnya.
Tugas akhirku telah aku lalui. Aku dinyatakan lulus dengan nilai yang memuaskan. Aku merasa bangga karena perjuanganku membuahkan hasil yang sesuai harapan. Begitu juga dengan Awan. Kami telah menyelesaikan tahap awal untuk mimpi kami. Acara wisuda sebantar lagi akan digelar. Aku berharap kedua orangtuaku dapat hadir untuk menyaksikan pencapaianku pada titik ini.
Pagi itu, di kantin seperti biasanya, aku ditemani Awan berbincang sambil menikmati camilan dan minuman favorit kami. Kami membicarakan persiapan wisuda kami beberapa hari mendatang. Bunyi gawaiku mengalihkan perhatianku. Ibu? Tumben pagi begini ibu menghubungiku. Aku kemudian menjawab panggilan ibu.
"Nar, ayahmu dirawat di rumah sakit." Nada suara ibu sangat khawatir.
"Ayah kenapa bu?" Tanyaku panik. Awan terdiam melihatku. Sepertinya ia tau bahwa aku sedang tidak baik-baik saja.
"Ayahmu baru saja terkena serangan jantung, Nar. Dan sekarang masih belum sadarkan diri." Suara ibu semakin lirih terdengar. Seketika aku dipenuhi kebingungan dan rasa kekhawatiran yang amat sangat. Ayah...
Tidak menunggu lama. Aku segera pulang, Awan mengantarku hingga bandara. Setibanya aku di tanah kelahiranku, aku segera menuju rumah sakit tempat dimana ayahku dirawat. Kemudian aku menanyakan kamar dimana ayahku dirawat. Kulangkahkan kedua kakiku menuju salah satu pintu kamar di rumah sakit itu dan kubuka perlahan, kulihat ibuku berada di sana. Matanya sembab karena air mata. Ayahku terbaring di ranjang rumah sakit dalam keadaan koma. Aku tidak kuasa menahan diri, air mataku mengalir deras.
Keesokan harinya, ayah menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya. Aku benar-benar hancur. Ibu memelukku dengan erat. Kami larut dalam kehilangan.
Aku duduk disini, menunggu namaku dipanggil sebagai salah satu mahasiswa yang telah lulus dalam menyelesaikan kesarjanaannya. Nara Halina Kamala. Samar-samar namaku dipanggil. Aku melangkah maju menuju podium untuk pemindahan tali atau kucir toga yang aku kenakan sebagai simbol kelulusan serta penerimaan ijazah. Air mataku menetes, toga dan ijazah yang telah kuperjuangkan ini kupersembahkan bagi almarhum ayahanda tercinta. Meski ayah tidak turut hadir di sini, aku yakin ayah bangga atas pencapaianku pada tahap ini dan ayah akan selalu hadir dalam setiap hariku di hatiku.
Pagi ini begitu cerahnya, aku menaburkan bunga di makam ayah. Toga yang aku kenakan, aku letakkan di atas pusara ayah. Toga ini kupersembahkan kepada ayah, karena sesungguhnya perjuanganku dalam meraih mimpiku tidaklah terlepas dari pengorbanan dan kepercayaanmu padaku selama ini ayah. Semoga ayah tenang di sana. Di surga yang abadi. Tuhan boleh mengambilmu, Ayah. Aku ikhlas atas kepergianmu, atas kehilanganmu. Tapi semua semangat dan nasihat yang ayah berikan, akan aku tanam dalam hati dan ingatanku sebagai pedoman dalam menjalani hari-hariku ke depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H