Mohon tunggu...
0178_Rezi Yuditama Ramadhana
0178_Rezi Yuditama Ramadhana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Toga di Pusaramu

8 Oktober 2022   21:08 Diperbarui: 8 Oktober 2022   21:09 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Toga di Pusaramu

Cerpen Karangan: Rezi Yuditama Ramadhana

Adzan subuh membangunkanku dari tidurku. Bergegas aku mengambil air wudhu dan menyegerakan salat subuh. Biasanya aku sudah terbangun sebelumnya. Tapi kali ini aku bangun sedikit lebih terlambat dari biasanya. Mungkin karena aku tidur terlalu malam. Akhir-akhir ini aku memang menghabiskan waktuku untuk berkutat dengan buku-buku pelajaranku. Tahun ini aku ingin meraih target yang telah aku tetapkan. Target itu tidak hanya aku tuliskan pada secarik kertas yang aku tempelkan pada dinding kamarku, melainkan juga kuat tertanam di pikiran dan hatiku. Targetku tidak lain adalah harus mendapatkan nilai terbaik di sekolahku sebagai salah satu syarat memperoleh beasiswa pendidikan di salah satu Universitas ternama di Yogyakarta. Bagiku beasiswa itu sangat berarti.

Selesai melaksanakan salat subuh, kubuka jendela kamar. Udara segar menerpa kulit wajahku. Tidak hanya menyentuh bagian kulit wajahku saja, melainkan masuk hingga ke relung tubuhku yang paling dalam. Berucap syukur aku masih bisa menghirup udara sejuk ini. Kutatap langit yang kini mulai disinari cahaya mentari. Indahnya lukisan alam ini, aku terhanyut untuk sesaat.

"Naraa..! Kemarilah bantu ibu!"
Suara ibu yang memanggilku sontak membuat keterhanyutanku usai.
"Iya bu! Jawabku sambil segera merapikan tempat tidurku. Aku sudah terbiasa dengan hal ini. Tempat tidur yang cukup rapi sungguh membuatku nyaman berbaring disana untuk sekedar sejenak berlari dari penatku. Selepas itu, kuambil handuk dan segera bergegas menuju ke arah suara ibu yang memanggilku. Langkah kakiku telah membawaku ke dapur. Disana ibu sedang menyiapkan sarapan pagi kami. Aku turut membantu ibu menyiapkan sarapan pagi kami di sebuah meja kayu kecil buatan tangan ayahku. Walau tidak sebagus meja yang dibuat atau dijual di toko-toko furnitur, tetapi meja itu cukup kuat dan rapi. Pikirku ayahku cukup mahir dalam hal ini. Tak perlu waktu lama, semua sudah tersaji di meja, masakan ibuku yang sederhana tertata rapi di setiap piring dan mangkoknya. Tapi aku tidak perlu meragukan lagi nikmatnya masakan ibuku. Suatu saat jika aku harus pergi jauh dari rumah untuk menyelesaikan studiku, mungkin masakan ibuku adalah salah satu bagian yang akan aku rindukan.

"Taraaaa.... Udah beres! Nara mandi dulu aja ya bu!"
"Ga sarapan dulu aja Nar?"
"Nara ga lama kok mandinya, bu. Biar seger aja, trus siap deh berantas abis masakan ibu". Celotehku seraya menyunggingkan senyum termanis yang aku miliki untuk menggoda ibu kemudian segera menuju kamar mandi. Sementara itu, ibu ikut tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Ibu kemudian memanggil ayahku untuk makan bersama. Usai mandi, aku segera bergabung bersama ayah dan juga ibu untuk makan bersama di sebuah meja makan yang penuh kehangatan. Suara burung-burung kecil di sekitar rumah menemani sela-sela canda gurau kami pagi itu.

"Nara pengen lulus sekolah dengan nilai terbaik dan mendapatkan beasiswa, yah" Kataku pada ayah. Ayah memandangku dengan tatapan penuh semangat. Tampak ia mempercepat mengunyah makanannya karena tidak sabar untuk segera menjawab pertanyaanku.
"Ya, bagus itu Nar! Ayah mendukungmu. Ayah yakin kalau kamu pasti bisa, nak. Kegigihan dan konsistensi tinggi yang harus kamu miliki untuk ketercapaian tujuanmu itu, nak". Kata ayah penuh semangat bahkan terdengar tidak ada keraguan sama sekali dari ucapan ayah tersebut.
"Tapi, seandainya Nara berkesempatan untuk mendapatkan beasiswa dan melanjutkan studi ke Yogyakarta, bagaimana dengan ibu nanti? Siapa yang membantu ibu berjualan?" Tanyaku dengan sedikit khawatir. Ibu langsung meraih tanganku dan menggenggamnya. Menatapku dengan tatapan yang begitu dalam sambil tersenyum mencoba menenangkanku. Aku memandangi wajah ibu. Wajah yang begitu teduhnya hingga bisa menenangkanku tatkala aku sedang terombang-ambing oleh badai kekhawatiran dalam hatiku.
"Anakku, Nara yang cantik. Kamu tidak usah khawatirkan ibu. Ibu masih kuat untuk melakukan pekerjaan ibu. Bagi kami, kamu adalah harapan dan kebahagiaan kami satu-satunya. Apapun pilihan kamu, selama itu masih baik bagimu dan juga orang lain, kami sebagai orangtuamu hanya akan mendukung dan selalu mendoakanmu. Jadi, jangan pernah ragu melangkahkan kakimu untuk tujuan besar dalam hidupmu". Lagi-lagi mama tersenyum. Senyuman yang membuatku semakin yakin untuk tujuanku. Aku ingin meraih mimpiku menjadi seorang dokter, cita-cita masa kecilku yang selalu memotivasi perjalananku hingga sekarang. Dimana aku juga berharap bisa menjadi kebanggaan bagi ayah dan ibu.

Pagi yang indah, pagi yang kunantikan. Untuk pagi inilah aku berjuang beberapa waktu yang lalu, untuk bisa melewatinya dengan harapan besarku ke depannya. Pagi inilah aku akan melewati mata kuliah pertamaku. Aku berhasil memperoleh targetku dengan mulus. Usaha yang aku lalui tidak mengecewakanku. Kini aku mengenyam pendidikan di sebuah universitas yang aku harapkan.

Aku terlahir di keluarga yang sederhana, tapi ku berharap mimpiku bukanlah mimpi yang sederhana. Aku ingin membahagiakan dan membanggakan kedua orangtuaku sebagai wujud rasa sayangku kepada mereka. Mereka tidak memaksaku, dan sebaliknya, tidak ada keterpaksaan dalam diriku untuk hal ini. Bagiku, senyum mereka adalah hal indah setiap harinya yang Tuhan berikan padaku. Aku merasa senyuman kebahagiaan orangtuaku sesuatu yang ajaib. Karena senyum bahagia mereka bagaikan kekuatan untukku dalam meraih semua mimpiku.

Mimpiku ini aku lukiskan pula di sebuah kamar dengan ukuran dua kali tiga meter, dimana kamar ini akan aku tempati selama studiku berlangsung. Dan Di kamar ini pula aku menyelesaikan setiap tugas mata kuliahku dengan ditemani suara tuts keyboard laptop usang milikku. Camilan ringan cukup menambah energiku saat ini. Secangkir mocca hangat mengalir dari kerongkonganku, menghangatkan tubuhku dari dinginnya malam. Detikan jarum jam semakin bergema di penghujung malam. Meramaikan suasana bersamaan dengan suara ketikan dari jari-jemariku.

Suatu ketika gawaiku tertinggal di salah satu kantin di kampusku. Beruntung ada seorang mahasiswa yang dengan jujur mengembalikannya padaku. Kebetulan ia duduk berseberangan denganku kala itu. Tubuh yang tinggi dan tegap, berambut sedikit ikal, berkulit cokelat, mengenakan tas selempang hitam dengan sopan menyerahkan gawai milikku. Aku berterimakasih padanya dan setelah itu segera menuju kelas untuk perkuliahan selanjutnya. Belakangan aku tau mahasiswa tersebut bernama Awan. Beberapa kali kami bertemu di kantin yang sama. Awan mendatangiku kali ini. Dan menawarkan secangkir minuman kesukaanku. Pembicaraan ringan di siang hari itu cukup berkesan bagiku. Tawaran secangkir minuman itu membuat kami memulai cerita baru di setiap hari kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun