Jakarta, sebuah panggung maha besar yang menyediakan berbagai peran. Masyarakat bebas memilih peran yang diinginkan. Bebas memilih episode, bebas pula mengganti setiap episode meski tanpa naskah.
Ada peran meratap karena kulit perut hampir lekat ke tulang punggung. Ada peran meringkik seperti kuda binal yang sedang mengumbar syahwat. Ada pula peran mendebarkan seperti ledakan gas airmata dari granat yang dilemparkan polisi ke tengah kerumunan massa.
Tertawalah sebelum sekarat menghampiri. Tak dilarang terbahak-bahak melihat polisi jadi preman, preman jadi politisi, politisi jadi pebisnis, atau pebisnis yang berdakwah tentang kaum sufi. Tertawalah karena ini panggung sandiwara tanpa naskah.
Hari ini dan esok bisa sama, bisa juga berbeda. Esok atau sepuluh tahun lagi pun bisa tetap sama, bisa juga berbeda. Siang tidur lelap di daerah kumuh, malam mengintai korban dengan belati. Sore terjaga di rumah kardus, malam berkaraoke atau menggeliat di hotel berbintang.
Hakim-hakim ikhlas menjadi wayang meski tak tahu siapa yang jadi dalang. Politikus berhak berbicara atas nama rakyat meski tak bisa menjelaskan jenis rakyat yang diwakilinya. Inilah panggung sandiwara yang menjajikan mimpi.
Hari ini makan di warteg, besok berharap makan mewah seperti nyonya birokrat atau politisi rakus. Jakarta, sesak oleh manusia bertopeng tanpa topeng.
Foto: Kompas.com
Jakarta, 20 April 2012.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H