Aku mulai berhenti meyakini apa yang menjadi keyakinanku. Aku mulai berhenti berpikir tentang apa yang menjadi pikiranku selama ini, setidaknya beberapa bulan belakangan ini. Semua terjadi sangat cepat, secepat rokok yang menguap menjadi asap dalam mulutku. Tak ada perdamaian malam itu, pikiranku dan pikirannya tetap saja bergumul dalam masa lalu masing-masing. Hujan yang menahan kami tetap ditempat itu, duduk diam memandangi satu sama lain dengan tanda Tanya besar yang tertulis di jidat masing-masing. “mengapa aku ada disini sekarang?”, “mengapa Eve ada dihadapanku sekarang?”. Pertanyaan itu masih belum terjawab hingga detik ini.
Mengapa aku harus berhenti meyakini semua ini, mengapa aku harus menolak pikiranku sendiri, mengapa semua harus terjadi begitu cepat, mengapa hujan tak kunjung reda malam ini, mengapa kita tak berdamai saja dengan masa lalu kita, mengapa harus menyimpan pertanyaan itu hingga jasad kita membusuk ditempat ini, mengapa belum terjawab hingga detik ini. “ Aku menolak keadaan seperti ini.”
Harus kuakui, wanita seperti Eve begitu pandai bermain atau bahkan mempermainkan perasaan laki-laki rapuh sepertiku. Untuk merubah kebencian menjadi sangat indah. Hingga saat ini aku masih berlutut dihadapannya menunggu belas kasihnya untuk masuk dalam lorong gelap tak berujung yang kalian sebut hati, dan itu adalah hatiku. Diantara gelapnya labirin itu kusimpan sekuntum mawar merah yang hampir layu untuknya. Namun sayangnnya, aku tak pernah berani mengantarnya hingga pintu itu, padahal pintu lorong itu sudah kubuka sejak mataku dan matanya bertemu. Hal ini yang paling kutakutkan sejak aku mengenalnya, aku takut untuk mengantarnya masuk dalam diriku. Pernyataan ini yang seharusnya kukatakan sejak awal, “Bahwa aku laki-laki rapuh, bahwa laki-laki rapuh itu aku.”
“Lantas, bagaimana pendapatmu tentang laki-laki?”. Hanya pertanyaan itu yang masih kuingat hingga mataku hampir tertutup malam ini. “ aku tak percaya semua hal yang dikatakan oleh perempuan tentang laki-laki”.Jawaban itu sedikit membuatku lega, itu artinya Ia masih mempercayai adanya laki-laki sekelas Romeo, yang rela minum racun demi Juliet untuk mencapai keabadian cinta. Meski harus berkorban nyawa dan bergelimang derita. Sayangnya, ketenengan itu hanya berlangsung beberapa detik saja. Karena untuk selanjutnya Ia kembali menabur garam diatas luka bernanah ini.
“Dimana semuanya akan berakhir?” gumamku dalam hati. Aku berusaha keras untuk menjadi orang lain hingga aku lupa siapa diriku sebenarnya. Aku berusaha terlalu keras untuk mengisi kekosongan ini, hingga aku tak sadar bahawa kekosongan itu sebenarnya tak pernah ada.“Aku lupa siapa diriku, bahkan aku lupa jalan untuk pulang kedalam diriku sendiri”.
“Bagaimana Aku tahu isi kepala seorang wanita?”. “ Ungkapkan saja perasaanmu, kalau kau ingin tahu apa perasaan wanita itu padamu”. Setelah itu keadaan kembali hening, aku terbentur jawaban Eve yang begitu tenang, bahkan lebih tenang dari lembah Mandala Wangi. Saat itulah aku yakin kalau aku benar-benar telah jatuh dalam jurang kehancuran, Dalam jurang itu terdapat ribuan tombak yang siap menusukku hingga membentuk sebuah lubang yang menganga pada tubuhku. Hingga akhirnya aku mati kehabisan darah. Ya, mati dalam keadaan mengenaskan. Yaitu mati dalam keadaan jatuh cinta. Mengapa demikian, sebab mati dalam keadaan jatuh cinta itu seperti seorang prajurit yang bertempur digaris depan, namun lupa mengisi magazine dengan amunisi sehingga Ia hanya berlari untuk mengantar nyawa pada musuhnya. Atau seperti seorang penerjun yang melompat dari ketinggian 30.000 kaki, namun lupa membawa parasut. Sungguh mengenaskan, Sia-sia dan konyol!! Begitulah yang kurasakan saat ini, karena aku tak pernah punya keberanian untuk menyatakan perasaanku kepadannya. “Sudah larut, kita harus pulang.” Berat rasanya mengantar eve pulang. “Ya, ini sudah terlalu larut untukku”. Kami pun pulang dalam keadaan dingin, lebih dingin dari angin malam itu.
****
Mulai malam itu, aku justru mendapat kekuatan lebih untuk meyakinkan apa yang sebenarnya tengah terjadi dengan seonggok daging dalam tubuhku, daging yang menyimpan jutaan rasa dan pertanyaan tentang Apa dan bagaimana sesungguhnya perasaan Eve padaku. Ambisi atau naluri, entahlah akupun tak bisa menguraikanya. Yang jelas pesonanya telah membuat jantungku hancur lebur, hingga aku tak dapat merasakan degupnya lagi, hanya perasaan hangat yang menyelubungi dadaku. Dan rasanya kehangatan itu telah melebihi batas normal, hampir mendidih mungkin.
Ditengah hamparan bumi ini, aku baru menyadari kalau aku dan Eve berdiri di dua sisi yang berbeda. Namun memiliki tujuan yang sama. Aku tak menyalahkan tuhan atas perbedaan ini, justru aku bersyukur karena kami dipertemukan dalam sebuah perbedaan, dan perbedaan itulah yang membuat energi elektron yang tersimpan dalam tubuhku dan tubuhnya sulit untuk bersatu. Seperti menyatukan dua kutub magnet yang berbeda dalam jarak yang jauh, namun jika dua kutub tersebut bersatu maka Ia tak dapat dipisahkan. “Ini hanya persoalan siapa yang menarik dan tertarik”. Harus ada energi yang mengalah dan merelakan sebagian kekuatanya untuk bisa bersatu. Dalam pososi inilah Aku dan dia berada. “Ini masalahnya, Aku atau Eve yang harus mengalah. Mengalah dalam artian bukan menjadi yang tertindas, tapi mengalah untuk bisa menjadi lebih kuat melawan dunia” . Ya, kita berbeda dalam segala hal kecuali dalam cinta.
Kalau seperti ini kenyataanya, baiklah. Aku rela melebur dalam energinya, menciut dalam pusat semestanya, menjadi bumi yang mengelilingi matahari, dan matahari itu adalah Eve. Tak ada syarat dan paksaan dalam kekalahan ini, karena ini bukan perang dunia. Dimana yang kalah harus rela menjadi yang terjajah. Satu-satunya yang akan kulakukan jika aku harus benar-benar melebur dengan Ia adalah tetap berputar sesuai di garis orbitku. Tak ada matahari lain selain Eve. Begitupun halnya dengan Ia, Cahayanya harus tetap menyinari kegelapan hatiku. Sedikitpun takkan kubiarkan cahayanya melenceng dari tataran semestaku atau bahkan berpaling dariku. “Ini terlalu Possesif!” mungkin Ia akan mengeluh seperti itu. “ Ya, ini terlalu possesif, namun ini hukum alam” itu jawabanku. Aku tak mau ada gerhana dalam semesta yang kami bangun nanti. Karena aku hanya meyakini satu matahari dalam semesta dan itu adalah Eve. Meskipun pada kenyataanya terdapat 400.000 matahari dalam galaksi ini.
Tiba-tiba aku tersentak, berang dengan teori yang kubangun barusan. “Bagaimana mungkin aku bisa melebur dalam dirinya?, sementara selama ini aku hanya duduk manis dalam keadaan terbius oleh imajinasiku sendiri”. Bahkan aku tak tahu, apa masih ada sedikit ruang kosong dalam hati Eve yang masih bisa kupakai untuk mengistirahatkan jiwa yang kering ini. Tuhan, setan, malaikat, atau apapun itu “TOLONG AKU”. Mengapa harus ada hal konyol semacam ini dalam kehidupan, mengapa harus ada sebuah perasaan aneh yang menjadikan manusia begitu melankolis, cengeng, pesimis, pemarah, pendendam, pengecut dan sebagainya. Namun anehnya, manusia itu justru menikmatinya. Termasuk aku!. Teka-teki macam apa ini. Sudahlah, sekeras apapun berpikir tentang semua ini, tetap saja aku tak bisa tahu apa jawabanya.
****
Aku tak bisa berdiam diri terlalu lama, aku harus menysun sebuah rencana. Meskipun rencana yang kususun tak terencana. Setidaknya aku harus mengungkapkan ini, perasaan yang menyumbat syaraf-syaraf otakku. “Kapan?”, ada bisikan lembut di telingaku. “Sekarang, Besok, Lusa, Minggu depan, Bulan depan, atau tahun depan?”. Bisikan itu muncul lagi. “Sekarang!”. Hey, ada teriakan keras yang kudengar disela-sela jantungku yang tak berfungsi. “Inikah yang dinamakan nurani?”. Teriakan nurani yang sudah muak dibodohi oleh tubuh sendiri. Ya, manusia memang pandai menyimpan rasa. Namun, rasa yang disimpan terlalu lama akan menjadi racun dalam tubuh. Nurani lah penawar racun itu, karena nurani merupakan sumber kejujuran yang dimiliki seorang manusia. Baiklah, jika memang ini saatnya. Entah tepat atau tidak waktunya, aku akan mengungkapkanya sekarang. Ini harga mati yang sudah tak bisa ditawar, Sekarang atau tidak sama sekali.
****
Semua terjadi begitu cepat, tak terduga dan benar-benar diluar rencana. Aku benar-benar akan mengakhiri semuanya disini, dalam sebuah ruang redup yang hanya diterangi sebatang lilin. Sekarang Eve benar-benar dihadapanku, berdiri dengan rambut tergerai dengan senyum simpul yang sangat manis. Aroma tubuhnya dapat kucium dari tempat dimana aku berdiri. wangi natural yang menggambarkan ketenangan alam semesta. Yang memberi kesan keangkuhan seorang wanita, namun terdapat jiwa lembut didalamnya. Aku sangat hafal aroma itu, meskipun aku belum terlalu lama mengenalnya. Matanya begitu misterius dan sulit untuk dijangkau oleh laki-laki manapun, namun kurasakan kelembutan seorang wanita sesungguhnya dari pancaranya. Sejauh ini, Ia hanya berdiri disudut ruang itu. Membuatku semakin bertanya-tanya.
Sementara aku, lihatlah. Berdiri tegak mematung dihadapan Eve, tanpa tahu apa yang harus kulakukan. Rambutku kusut, akibat terlalu banyak kurenggut tak beraturan. Pakaianku kucel, mungkin karena terlalu berpikir keras untuk menaklukan Ia. Sekarang aku benar-benar dihadapanya, dan membisu. Betapa tololnya laki-laki itu, dan sialnya laki-laki itu adalah aku!. Keringat mengucur deras dari seluruh tubuhku. Aku dapat merasakan tiap tetes yang mengucur membasahi tengkuk leherku, secara perlahan meluncur melewati pori-pori pundakku.
Aku adalah algojo yang akan memenggal kepalaku sendiri hari ini. Gugup, was-was, namun bahagia karena akan segera mati. Ada yang berdenyut secara teratur dalam tubuhku. Namun , mengalir begitu cepat. Adrenalin mungkin. Lidahku kelu, seperti tersiram air keras. Untuk menelan ludah pun tak mampu. Jari-jemariku seperti diberi beban seberat sepuluh ton, hingga untuk merapihkan rambut saja terasa mustahil. Aku benar-benar akan mati kali ini, ya tapi aku bahagia. Aku akan mati dalam keadaan sempurna, karena telah menyatakan perasaan cintaku pada Eve. “Jangan biarkan aku mati sebelum berperang”. Itu doa terakhirku, diujung jalan ini.
Kulawan semua rasa takutku, aku melangkah maju, begitupun Eve. Jarak kami semakin dekat, namun aku belum mengucapkan sepatah katapun. Kini Ia hanya berada setengah langkah dihadapanku, Lidahku justru makin kelu. Mata kami bertemu, kuberi isyarat bahwa aku ingin melebur denganya, menjadikanya matahari dalam semestaku. Menjadikanya cahaya dalam labirin gelap itu, memberinya setangkai mawar merah disetiap senja, lalu menutupnya dengan kecupan kecil di keningnya. Kemudian Ia membuka tanganya. Itu adalah isyarat yang kumaknai sebagai jawaban “Ya, aku bersedia”. Aku ingin merengkuhnya, memeluk erat tubuhnya. Kemudian membawanya kesebuah padang rumput untuk melihat bintang di luar jagad semestaku dan semesta Eve. Baru saja hal itu akan kulakukan, Tiba-tiba kurasakan kepalaku membentur benda keras. Ketika tersadar, ternyata aku hanya bermimpi. Aku terjatuh dari tempat tidurku dan kepalaku membentur lantai. Aku coba untuk bangkit, namun benturan itu benar-benar membuatku tak berdaya. “Brengsek!” ternyata barusan hanya mimpi.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H