Pendekatan pendidikan Reggio Emilia ada sejak Tahun 1920-1994, muncul setelah adanya perang dunia II di sekitar kota Reggio Emilia, Italia. Pendekatan ini dikembangkan oleh Loriz Mallaguzi yaitu seorang guru yang bekerja sama dengan kolaborator dan orangtua (Balfour, 2016). Pendekatan reggio emilia muncul karena kerinduan para orangtua dalam mendidik anaknya pasca adanya perang dunia II. Memilik filosofi dan keunikan tersendiri dari metode maupun pendekatan lainnya Sebagai dasar filosofinya, Malaguzzi berpendapat bahwa anak-anak dilahirkan dengan "seratus bahasa", kemampuan ekspresif yang harus didukung dan dikembangkan tanpa rasa takut oleh orang dewasa. Berdasarkan keyakinan ini, ia menolak untuk hanya berkonsentrasi pada proses pembelajaran anak-anak. Sebaliknya, tujuannya adalah untuk membangun hubungan non-hierarkis antara orang dewasa dan anak-anak. Malaguzzi, mengambil pelajaran dari Lev Vygotsky, John Dewey, dan Jean Piaget, juga mengatakan bahwa pendidikan terutama tentang menciptakan "kondisi" belajar. Kondisi ini melibatkan kerja sama dan tanggung jawab bersama dalam pengambilan keputusan dan pengembangan pengetahuan. Pendekatan reggio emilia berpotensi dalam mengembangkan kemampuan yang diharapkan pada abad ke-21 (Kaynak-Ekici et al., 2021).
Pendekatan Reggio Emilia berfokus untuk memberikan anak-anak kesempatan dalam membangun pengetahuan mereka melalui eksplorasi aktif dan permainan yang bermakna. Anak-anak diberi kesempatan untuk bermain secara bebas, mengeksplorasi ide-ide mereka, dan bekerja sama dengan sumber daya pembelajaran yang kaya. Hal ini berkaitan dengan Teori belajar Konstruktivisme yang dikemukakan oleh Jean Piaget yang dimana menekankan konstruksi pengetahuan melalui pengalaman langsung dan interaksi dengan lingkungan sekitar. Menurut Piaget, anak-anak belajar dengan cara bermain dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar mereka. Reggio Emilia dianggap sejalan dengan teori ini karena lingkungan dianggap dianggap sebagai guru ketiga yang memberi anak kesempatan untuk belajar dan berkembang melalui eksplorasi dan bermain (Ningsih & Mahyuddin, 2021).
Tidak hanya dengan teori Jean Piaget, Reggio Emilia juga berkaitan dengan teori Vygotsky. Teori Vygotsky mengajukan teori konstruktivisme sosial yang menekankan pentingnya interaksi sosial dalam perkembangan kognitif anak. Menurut Vygotsky, anak belajar paling baik dengan bermain bersama teman sebayanya atau orang lain di sekitarnya. Dan dengan dukungan yang diberikan oleh orang dewasa dan teman sebaya. Hal ini dikatakan terkait dengan pendekatan Reggio Emilia karena Reggio Emilia menekankan pada interaksi antara anak, orang tua dan guru (Gantt, 2021). Permainan sering kali dimainkan dalam konteks kolaboratif, di mana anak-anak dapat belajar berbagi, bekerja sama, dan berkomunikasi. Partisipasi orang tua bersifat komunal, bukan individual, demi pembelajaran anak. Orang tua dengan pendekatan ini tidak meminta sekolah dan guru memenuhi harapan mereka. Sebaliknya, orang tua bekerja sama dengan sekolah untuk mendidik anak-anaknya. Selain itu, terjalin komunikasi yang baik dengan orang tua, anak, dan guru. Orang tua bertindak sebagai rekan pendidik dan anggota kelompok yang tumbuh bersama orang tua lain saat mereka membesarkan anak. Dalam pendekatan Reggio Emilia, orang tua berperan sebagai rekan guru dan anak berperan sebagai rekan guru dalam proses pembelajaran. Orang tua dipandang sebagai sosok yang bisa berbagi ide dan membandingkan sudut pandang, tumbuh bersama anak, serta mendukungnya dengan menyediakan sumber daya. Pemberian materi dan kesempatan bereksplorasi merupakan salah satu cara untuk mengembangkan kreativitas anak, sehingga penting bagi perkembangan kreativitas anak. Pendekatan Reggio Emilia dirancang untuk mendorong interaksi sosial yang memperkaya pembelajaran anak melalui bermain (Kaynak-Ekici et al., 2021).
Dalam pendekatan Reggio Emilia, anak-anak memiliki banyak hak, salah satunya adalah hak untuk berkreasi. Mereka dipandang sebagai individu yang belajar mengenai dunia melalui interaksi dengan lingkungan di sekitar mereka. Konsep ini mencerminkan filosofi yang sejalan dengan prinsip kolaborasi. Menurut teori komunikasi, mendengarkan anak-anak merupakan cara terbaik untuk menghormati mereka sebagai individu. Pendekatan ini menegaskan bahwa setiap anak berhak didengarkan, karena mereka dilahirkan dengan seratus bahasa yang ingin diungkapkan dan didengarkan. Dalam pandangan Reggio Emilia, anak-anak dianggap sebagai komunikator yang dapat mengekspresikan diri melalui berbagai media, seperti menulis, menggambar, bermain, menari, berbicara, dan penggunaan simbol. Dengan demikian, anak-anak dihargai sebagai "warga negara" sejati yang memiliki suara.
Jika kita mengamati pendekatan Reggio Emilia melalui kacamata Ki Hajar Dewantara, anak tidak lahir sebagai bejana kosong, mereka memerlukan dukungan dari lingkungan untuk tumbuh dan berkembang. Konsep bahwa anak bukanlah wadah kosong patut untuk dipelajari lebih dalam. Pendekatan ini menganggap bahwa setiap anak memiliki potensi yang luar biasa. Oleh karena itu, mereka memerlukan lingkungan yang dapat membantu mengembangkan potensi tersebut. Menurut Ki Hajar Dewantara, setiap anak dilahirkan dengan potensi yang memiliki aspek positif dan negatif. Maka, lingkungan yang baik harusnya membantu anak untuk melihat kebaikan dan menyembunyikan keburukan. Pandangan ini sangat penting dalam pendidikan, karena menjadi asumsi pokok yang memengaruhi cara pandang kita terhadap anak. Tentu saja, asumsi ini juga menentukan elemen-elemen yang terdapat dalam suatu pendekatan, termasuk metode yang digunakan, model hubungan, serta materi yang diajarkan dalam proses pembelajaran. Dalam semua program pendidikan anak usia dini yang terinspirasi oleh Reggio Emilia, peran guru sebagai fasilitator dan mitra penelitian sangatlah krusial. Dengan dukungan ini, anak-anak dengan berbagai kemampuan dapat berpartisipasi dalam proyek yang mereka inisiasi sendiri (Hong et al. , 2017).
Loris Malaguzzi, salah satu tokoh utama dalam pendekatan ini, sangat dipengaruhi oleh teori John Dewey, Piaget, Vygotsky, dan Bruner tentang bagaimana anak mengumpulkan pengetahuan. Dia juga terinspirasi oleh pendekatan Montessori yang menekankan kebebasan anak dalam belajar. Sementara itu, Ki Hajar Dewantara memiliki ketertarikan yang sama terhadap kebebasan dan eksplorasi sensorik anak, serta konsep bermain yang diterapkan oleh Frobel. Ki Hajar menekankan bahwa bermain adalah sifat alami anak-anak yang membantu mereka dalam proses belajar. Sebagai seorang pendidik yang tegas, meskipun terinspirasi oleh Montessori dan Frobel, Ki Hajar menganggap bahwa pendidikan Montessori lebih menekankan pada eksperimen dan bermain, sedangkan Frobel menggabungkan unsur rekreasi dalam kegiatan belajar (Aldo et al., 2024). Ki Hajar Dewantara juga menyadari bahwa Indonesia sudah memiliki berbagai permainan tradisional, seperti dakon dan cublak-cublak suweng, yang tidak hanya mengasah indra tetapi juga keterampilan dan unsur permainan. Oleh karena itu, metode pendidikan dari luar tidak perlu diadopsi secara penuh, tetapi harus disesuaikan dengan konteks masyarakat dan budaya lokal. Ki Hajar berpendapat bahwa ketika anak-anak memahami hakikat diri mereka dan mengenali diri mereka sebagai orang Indonesia, itu akan memberikan mereka kebebasan sejati. Dengan demikian, terdapat perbedaan pandangan antara gagasan kemandirian Ki Hajar Dewantara, Montessori, dan Loris Malaguzzi. Menurut Ki Hajar, kemerdekaan berkaitan dengan nasionalisme, sedangkan bagi Montessori, kemerdekaan berarti kebebasan belajar, dan bagi Loris Malaguzzi, kemerdekaan adalah hak sebagai warga negara.
Di abad ke-21, seluruh umat manusia, termasuk anak-anak, dihadapkan pada tantangan yang dihasilkan oleh globalisasi. Untuk mempersiapkan anak-anak menghadapi keterampilan yang dibutuhkan di era ini, penting untuk menerapkan pembelajaran yang berorientasi pada mereka. Salah satu pendekatan yang mengusung prinsip tersebut adalah Reggio Emilia. Pendekatan ini menekankan pembelajaran berbasis proyek dan memanfaatkan materi yang terbuka, yang terbukti efektif dalam mengembangkan keterampilan abad 21. Secara keseluruhan, Reggio Emilia menawarkan pendekatan yang sangat relevan untuk pendidikan anak usia dini di era modern. Dengan fokus pada kreativitas, kolaborasi, pemecahan masalah, dan pengembangan sosial-emosional, pendekatan ini membantu anak-anak bersiap menghadapi dunia yang penuh tantangan dan perub Pendekatan Reggio Emilia menyediakan dasar filosofis dan metode pembelajaran yang sangat menekankan pentingnya kreativitas, kolaborasi, serta interaksi sosial dalam pendidikan untuk anak usia dini. Di era abad ke-21, pendekatan ini sangat relevan karena membantu anak-anak mempersiapkan diri dengan keterampilan penting seperti berpikir kritis, pemecahan masalah, dan kemampuan beradaptasi melalui eksplorasi dan permainan (Hasanah et al., 2023).
Filosofi Loris Malaguzzi, yang menjadi landasan pendekatan ini, selaras dengan teori konstruktivisme Jean Piaget dan konstruktivisme sosial Lev Vygotsky, di mana lingkungan serta interaksi dianggap sebagai bagian yang integral dalam proses pembelajaran. Pendekatan ini juga memberikan penghargaan yang tinggi terhadap potensi anak, menjadikan mereka individu yang memiliki hak untuk berkreasi dan mengekspresikan diri. Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini memiliki kesamaan dengan prinsip pendidikan Ki Hajar Dewantara yang menekankan kebebasan dan kemandirian anak dalam belajar, sambil tetap terikat pada nilai-nilai budaya lokal. Oleh karena itu, penerapan pendekatan Reggio Emilia di Indonesia bisa dilakukan dengan penyesuaian terhadap nilai-nilai budaya tersebut. Salah satu cara efektif adalah dengan mengintegrasikan permainan tradisional, seperti dakon atau cublak-cublak suweng, ke dalam pengalaman belajar, untuk meningkatkan kreativitas, kerja sama, dan keterampilan sosial.
Selain itu, desain ruang kelas dan area bermain di lembaga pendidikan anak usia dini juga dapat dibuat untuk mendorong eksplorasi, misalnya dengan menyediakan alat permainan kreatif, bahan-bahan terbuka, dan sudut seni. Pendekatan ini juga menekankan pentingnya keterlibatan orang tua dalam pendidikan, sehingga pelatihan untuk orang tua dalam mendukung eksplorasi dan kreativitas anak di rumah pun dapat menjadi bagian dari program sekolah. Sekolah dapat mengadopsi pembelajaran berbasis proyek, seperti proyek "kebun mini," di mana anak-anak belajar tentang menanam, merawat tanaman, dan memahami siklus kehidupan. Untuk mendukung semua ini, guru perlu dilatih agar memahami filosofi dan metode Reggio Emilia, termasuk peran mereka sebagai fasilitator dan mitra belajar yang dapat mendukung kreativitas serta potensi anak. Mengingat pentingnya lingkungan sebagai "guru ketiga," sudah saatnya pemerintah dan sekolah swasta berinvestasi dalam infrastruktur yang mendukung eksplorasi dan kreativitas anak. Dengan melakukan penyesuaian pada nilai-nilai lokal, implementasi pendekatan Reggio Emilia di Indonesia dapat berkontribusi pada pengembangan pendidikan anak usia dini yang berkualitas, sekaligus memberikan fondasi yang kuat bagi anak-anak untuk menghadapi tantangan globalisasi di abad ke-21 ( Aldo et al., 2024).
DAFTAR PUSTAKA