Asesmen memainkan peranan yang penting dalam proses konseling untuk mengetahui informasi atau data-data yang dibutuhkan. Asesmen merupakan sebuah rangkaian untuk mengumpulkan berbagai informasi tentang beberapa aspek psikologis dengan tujuan menjawab atau mendapatkan gambaran tentang suatu permasalahan. Data yang didapatkan dari proses ini dipelajari dan dianalisis berdasarkan kebutuhan dan keperluan sebagai asesmen. Terdapat dua teknik asesmen psikologis, yakni jenis tes dan non-tes.
Asesmen psikologis dengan teknik non tes terdiri atas: (1) observasi, (2) self-report---angket, wawancara, otobiografi, (3) sosiometri, (4) inventori Daftar Cek Masalah, dan (5) catatan kumulatif. Sedangkan asesmen psikologis dengan teknik tes terdiri atas: Â (1) tes kecerdasan, (2) tes bakat, (3) tes minat, dan (4) tes kepribadian.
Tes psikologis diselenggarakan oleh ahli profesional seperti psikolog dan konselor yang memiliki sertifikat tes. Bagi Guru BK atau konselor yang belum terlatih/belum memiliki sertifikat tidak diperkenankan untuk menyelenggarakannya, namun diperbolehkan untuk menggunakan hasil tes tersebut. Dimana hasil tes psikologis ini nantinya akan digunakan oleh Guru BK atau konselor untuk membantu pelayanan bimbingan dan konseling yang akan diberikan.
Dalam menyelenggarakan dan menganalisa asesmen dibutuhkan ketelitian dan kehati-hatian, sebab apabila terjadi kesalahan dalam mengidentifikasi masalah karena asesmen yang tidak memadai  akan menyebabkan treament gagal; atau bahkan dapat memicu munculnya konsekuensi dari treament yang merugikan diri klien. Maka dari itu, Guru BK atau konselor harus mematuhi dan melaksanakan asesmen sesuai dengan kode etik yang ada.
Asesmen yang tidak dilakukan secara objektif, akan berpengaruh pada pelayanan konseling oleh Guru BK atau konselor.  Hal ini akan berakibat tidak baik pada diri klien, bahkan terhadap konselor itu sendiri untuk  jangka panjang maupun jangka pendek.T
Terdapat beberapa permasalahan atau kekurangan yang berkaitan dengan tes psikologis:
Pertama, tidak adanya pendekatan universal yang berlaku untuk semua pengukuran aspek psikologis. Sebagai contoh kita ingin mengukur tingkat kecerdasan, bagaimana kita mengukurnya? Dalam hal ini, tingkat ukuran diukur melalui perilaku yang dianggap "cerdas" dan "tidak cerdas", misalnya kemampuan individu dalam menyelesaikan permasalahan yang kompleks. Tetapi apakah hanya perilaku tersebut yang menggambarkan kecerdasan seseorang? Tentu saja tidak. Masalahnnya adalah tidak ada kesepakatan umum mengenai definisi dan perilaku yang menggambarkan seseorang. Dua orang ahli dapat memiliki pendapat yang berbeda tentang satu aspek psikologis yang sama.
Kedua, penilaian dipengaruhi oleh kesalahan (error). Pengukuran aspek psikologis menjadi lebih rentan terhadap kesalahan karena karakteristiknya yang bersifat laten (tidak terlihat) dan didasarkan pada pemilihan sampel yang terbatas, sehingga akibatnya lebih banyak aspek pengukuran yang perlu dikontrol. Sebagai contoh, seorang klien mengikuti tes kecerdasan hari ini. Jika dua minggu lagi klien tersebut mengambil tes yang sama, kemungkinan skor klien tersebut akan berubah. Perubahan ini bisa terjadi karena berbagai macam hal, seperti klien masih mengingat jawaban soal-soal, kondisi tubuh klien berubah, hingga latar tempat klien mengerjakan tes tersebut berbeda. Oleh karena itu, menjadi penting untuk mengidentifikasi kesalahan yang mungkin muncul dalam pengukuran dan kemunculan kesalahan-kesalahan tersebut.
Ketiga, kurangnya mengukur yang baku pada skala pengukuran untuk mengartikan angka hasil pengukuran. Jika terdapat seorang klien A mendapatkan hasil tes kecerdasan sebesar 100, lalu IQ B (teman klien A) adalah 105, serta IQ C (teman klien yang lain) sebesar 110, apakah artinya B lebih pandai dari klien A sebanyak 10 poin? Sebesar apakah jarak 5 poin pada tes kecerdasan ini? Lalu, jika D (teman klien A yang lain) tidak bisa menjawab satu pun soal tersebut, apakah artinya D tidak memiliki kecerdasan? Hal inilah yang menjadi sulit dalam pengukuran psikologis untuk menetapkan satuan ukur dengan jarak standar seperti pada pengukuran dimensi fisik. Berbeda dengan pengukuran menggunakan penggaris, yang mana panjang 10 cm berarti dua kali lipat dari 5 cm.
Oleh karena itu, dalam asesmen psikologis teknik tes memerlukan analisis hasil penilaian, biasanya berupa laporan tertulis yang menambahkan kesimpulan dari semua data yang didapatkan dari proses keseluruhan penilaian. Karena asesmen mengutamakan penggambaran keunikan individu atau kelompok, laporan tersebut lebih komprehensif dan menjelaskan secara rinci. Hasil tes kecerdasan seseorang hanya menginformasikan tingkat kercerdasannya saja, tetapi dalam penilaian tentang gaya belajar, hasilnya akan berupa penjelasan mendalam dari berbagai aspek yang relevan dengan proses pembelajaran.
Referensi:
Natasha, E. E. 2020. "PSY 2: Problematika Dalam Pengukuran Psikologis". Codepsy.com. Diakses pada 8 Februari 2022. https://www.codepsy.com/post/problematika-pengukuran-psikologis