Rasanya tidak ada yang membantah, setiap orang tua ingin yang terbaik bagi anaknya. Namun tanpa disadari, keinginan orang tua itu belum tentu sejalan dengan cita-cita anaknya.
Orang tua yang sukses, ingin anaknya lebih sukses. Kegagalan yang dirasakan orang tua menjadi peringatan supaya anaknya tidak merasakan hal itu. Intinya, anak di mata orang tua harus sukses, sehat, kalau memungkinkan terkenal, bahagia, dan tentunya membanggakan.
Setidaknya ada 3 alasan yang mendorong orang tua terkadang memaksakan ambisi pada anak. Pertama, cita-cita orang tua, entah Ayah atau Ibu belum tercapai. Kedua, memandang rendah beberapa profesi. Ketiga, orang tua ingin profesinya diteruskan oleh anak.
Cita-cita yang gagal, membuat beberapa orang tua menitipkan ambisinya itu kepada anak mereka. Misalnya, dulu orang tua ingin sekali menjadi dokter. Namun, karena keterbatasan biaya cita-cita tersebut tidak pernah terwujud. Saat menjadi orang tua dan memiliki uang yang cukup, ia mengarahkan anaknya untuk menjadi seorang dokter.
Bisa saja orang tua tidak mengatakan bahwa dirinya dulu ingin menjadi dokter. Sang anak diyakinkan bahwa dokter adalah profesi yang menjanjikan untuk masa depan. Dengan menjadi dokter, anak bisa menolong banyak orang. Dan sederet alasan baik lainnya untuk menutupi ambisi orang tua.Â
Jamak kita jumpai, masih ada orang tua yang merehkan beberapa profesi. Yang paling umum adalah menjadi seniman. Beberapa orang tua tidak ingin anaknya menjadi pelukis, penyanyi, atau seniman lainnya. Mereka memandang profesi ini tidak memberi hidup yang mapan. Orang tua sekuat tenaga meyakinkan dan melarang anaknya, jika mulai menunjukkan minat di bidang seni.
Selanjutnya, motiviasi meneruskan profesi orang tua juga kerap kita dengar. Orang tua yang adalah dokter umumnya ingin anaknya juga menjadi dokter. Anak diarahkan menjadi pengacara, karena orang tuanya adalah pengacara. Bahkan mungkin kakek dan kakek buyutnya juga seorang pengacara. Â
Ragam alasan melandasi orang tua untuk mengarahkan profesi anaknya, tampaknya tidak ada yang salah. Namun, sejatinya itu semua disampaikan dari sudut pandang tunggal. Yaitu, menurut orang tua. Bukan menurut anak. Padahal, yang menjalani adalah anak.
Hubungan orang tua dan anak terkait profesi menarik untuk dicermati. Tidak jarang konflik keluarga punya pangkal di sini. Hal ini semakin menarik ketika pola tersebut tercermin pada keluarga yang menjadi tokoh nasional. Mari kita lihat, hubungan antara Jenderal TNI (Purn) Prof. Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, M.A., atau SBY dengan anaknya Mayor Inf. (Purn.) H. Agus Harimurti Yudhoyono, M.Sc., M.P.A., M.A. alias AHY.
SBY adalah Presiden Indonesia keenam yang menjabat sejak 20 Oktober 2004 sampai 20 Oktober 2014. Setelah dia lengser, Partai Demokrat yang didirikannya tidak punya tokoh yang kuat. Bahkan partai harus menyelenggarakan konvensi untuk menjaring calon presiden pada 2013 untuk diusung pada pemilihan umum Presiden Indonesia 2014. Alhasil, Partai Demokrat justru memberikan dukungan kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Keduanya bukan datang dari Partai Demokrat.