Listrik yang tidak beroperasi, nyatanya menyadarkan saya bahwa ada warga negara Indonesia yang nasibnya tidak sebaik kita yang ada di Jakarta, Banten dan Jawa Barat.
 Saya punya sepupu di Manokwari, yang adalah Ibu Kota Provinsi Papua Barat sekaligus Ibu Kota Kabupaten Manokwari. Jabatan kota ini tampaknya mentereng, kebayang vasilitas yang melekat padanya.
Namun pada kenyataannya, Manokwari masih jauh dari layanan listrik yang ideal untuk sebuah ibu kota. "(Mati listrik) Seminggu atau  dua minggu sekali biasanya. Kalo gak Sabtu ya Minggunya," cerita Lidia Tesa Vitasari Seputro yang tinggal di sana sejak 2010.
Menurut ASN Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini, mati listrik bisa 3-4 jam, bahkan bisa saja tidak ada listrik sampai 6 jam. Jikapun hidup, arus listrik kadang tidak stabil.Â
"Memang beberapa ada yang pakai solar cell. Tapi, sampai sekarang saja kampung-kampung di Papua masih banyak yang gak ada listrik," kata Vita.
Bagaimana menghadapi situasi ini? "Dilakoni wae..." tuturnya pasrah.
Kondisi serupa pernah saya alami saat tinggal di Singkut, 11 tahun lalu. Daerah yang berada di Jambi, berada di perbatasan Jambi - Sumatera Selatan, listrik menjadi barang langka.Â
Untuk menghidupkan bohlam 5 watt saja, lampunya kedip-kedip. Aliran listrik bisa dianggap aksesoris karena lebih banyak menggunakan genset. Tentu, tidak banyak yang memiliki genset. Semoga saja sekarang kondisinya jauh lebih baik.
Apa yang sepupu saya alami di Papua dan pengalaman saya sendiri, bisa menjadi kesadaran bersama bahwa Indonesia tidak hanya Jakarta. Tidak hanya Jawa.Â
Pembangunan Indonesia Sentris yang digaung-gaungkan Presiden Jokowi janganlah menonjolkan infrastruktur jalan dan jembatan saja. Terapkanlah juga dalam bidang energi.
Memang pemerintah sudah lakukan pemerataan energi, tapi tampaknya tidak semasif dibandingkan pembangunan tol. Kementerian BUMN dan ESDM harus punya terobosan-terobosan, entah dalam bidang birokrasi, kebijakan, dan pembiayaan. Di sisi lain potong habis praktik-praktik korupsi.