Saya menjadi salah satu dari banyak orang di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat yang kelimpungan saat listrik mati, 4 Agustus 2019. Apalagi diikuti dengan matinya air, ponsel dan internet. Seolah-olah dunia menjadi "aneh." Lebih personal bisa dikatakan, "ini bukan hidup saya."
Hidup saya seperti kebanyakan orang. Ponsel dengan senjata utamanya media sosial, menjadi teman setia sebelum melepas lelah dan hadir kembali saat mata menyapa pagi.Â
Listrik menjadi daya kreatifitas karena menghidupkan laptop untuk membuat tulisan. Listrik juga menjadi pemandu di saat matahari pamit dari peraduannya.Â
Bahkan di bagian rumah yang tidak mendapat sinar mentahari optimal, listrik dengan mudah dipanggil untuk mengusir keraguan dalam melangkah.
Sejatinya kehilangan listrik seperti kehilangan energi, sebagaimana dia sendiri disebut sebagai sumber energi. Namun menurut saya, tidak demikian.Â
Justru dengan perginya listrik, kita diingatkan bahwa dalam hidup kita ada sumber energi alami. Energi yang berasal dari dalam diri kita.Â
Saat mati listrik pada Minggu lalu, indera pendengaran saya menjadi lebih peka. Saya bisa mendengar orang keluarga dan orang lain berbicara dengan lebih jelas dan fokus.Â
Karena gelap, maka anggota keluarga berkumpul. Saling berbagi dalam terawang lilin. Sesuatu yang mungkin tidak terjadi saat listrik menghidupkan gadget kita masing-masing.
Selain itu, listrik yang mati membuat suara gemrisik angin dan ragam serangga memanjakan telinga saat malam tiba. Keindahan alam semakin sempurna saat memandang langit.Â
Pancaran sinar bulan dan bintang memberikan energi romantisme. Padahal mereka tiap hari hadir dan menyinari hidup kita. Namun sinarnya kalah oleh gemerlap lampu berkat pasokan listrik yang terus bertambah. Hilangnya listrik beberapa saat, menyadarkan kita akan kehidupan di sekitar kita yang kurang kita perhatikan.