Jumlah masyarakat yang menggunakan jasa penerbangan semakin hari semakin bertambah. Namun tidak banyak yang menyadari bahwa pesawat yang mereka tumpangi secara regular mendapat perawatan. Dan ternyata, bisnis perawatan pesawat ini posisinya sangat strategis karena langsung bersentuhan dengan keselamatan.
International Air Transport Association (IATA) memperkirakan, jumlah penumpang pesawat di seluruh dunia tembus di angka 7,8 miliar orang pada 2036. Kawasan Asia-Pasifik akan menjadi pendorong terbesar permintaan perjalanan udara. Negara-negara di Asia menduduki peringkat empat teratas dalam peringkat 10 besar.
IATA memprediksi jumlah penumpang terbesar akan direbut oleh Tiongkok yang menggeser Amerika Serikat (AS) di urutan kedua. Hebatnya, Indonesia akan duduk di peringkat keempat setelah India. Tingginya permintaan perjalanan udara akan mendorong permintaan armada baru yang berteknologi tinggi dan lebih efisien.
Team SAI, perusahaan konsultan penerbangan, memproyeksikan jumlah armada global akan tumbuh 3,2% menjadi 24.365 pesawat di tahun 2017. Antara 2017 dan 2022 pertumbuhannya bahkan lebih tinggi lagi, mencapai 4,2%.
Namun demikian, lonjakan pertumbuhan penumpang pesawat di Indonesia tidak diimbangi dengan pengembangan infrastruktur dan sumber daya manusia penerbangan. Banyaknya penumpang diimbangi dengan penambahan jumlah pesawat terbang oleh maskapai, tetapi bandara dibangun, kapasitas bandara dan terminal diperlulas, juga runway dan apron atau tempat parkir pesawat. Sumber daya manusia penerbangan juga harus diperhatikan, baik jumlah pilot, kru pesawat, teknisi pesawat, petugas air traffic controller, dan lain sebagainya.
Saya menduga, kecelakaan pesawat yang terjadi di Indonesia adalah salah satu konsekuensi dari kesenjangan pertumbuhan penumpang dengan manajemen serta infrastruktur penerbangan yang makin lama makin jauh.
Dari banyak infrastruktur penunjang yang harus segera diberi perhatian serius oleh pemeritah dan pihak terkait adalah industri perawatan pesawat. Industri yang kerap disebut sebagai Perusahaan Maintenance, Repair, and Overhaul (MRO) itu, memegang peranan yang penting dalam menjaga kualitas operasional dan keamanan pesawat komersial. Biaya MRO pesawat merupakan salah satu komponen terbesar dari biaya belanja maskapai penerbangan dengan rata-rata sebesar 13% (biaya terbesar lainnya berasal dari biaya bahan bakar dan biaya tenaga kerja).Â
Maskapai penerbangan mengeluarkan biaya perawatan pesawat rata-rata sebesar USD 870 per jam terbang (flight hour) -- di mana biaya ini dapat bervariasi dari USD 300 sampai USD 1.800 per jam terbang tergantung dari tipe, umur, dan kondisi operasional pesawat.
Jika maskapai penerbangan abai dengan perawatan pesawatnya, maka bisa mengancam kelangsungan bisnis maskapai tersebut. Misalnya dengan membiarkan pesawat bermasalah terbang, lalu terjadi kecelakaan dan menimbulkan korban jiwa, citra maskapai akan tercoreng. Media akan memberikan sorotan tajam, sehingga banyak orang akan kembali berpikir untuk memilih maskapai tersebut.
Dari catatan Kementerian Perhubungan, pasar perawatan pesawat komersial telah mencapai USD 40,1 miliar dan angka ini terus berkembang. Pasar ini bertumbuh dengan CAGR sebesar 3,6% dan pada tahun 2016 diharapkan mencapai nilai USD 58 miliar. Dua per tiga dari pasar MRO saat ini dikuasai oleh Amerika Utara dan Eropa Barat.Â
Namun demikian, dalam 20 tahun mendatang, pusat armada pesawat udara dunia akan bergeser ke wilayah Asia-Pasifik. Pada saat itu diproyeksikan 40% dari lalu lintas udara akan akan berasal dari Asia Pasifik. Perkembangan pasar MRO terpesat diprediksi akan terjadi di Asia, dengan pertumbuhan senilai lebih dari USD 5,6 miliar.