Jam masih menunjukkan pukul 6.30 pagi. Lalu lintas tampak masih lengang. Tapi suasana di Kedai Kopi Apek sudah cukup ramai. Di ruangan berukuran 5m x 4m itu sudah ada sekitar 13 orang. Menariknya, mereka tampak saling kenal. Tiap ada yang datang, ada orang di dalam yang menyambut. Saya pun tampak semakin nyata sebagai pendatang.
Dari beragam sumber bacaan, kedai kopi yang sudah buka sejak 1922 itu memang terkenal dengan tempat sosialisasi warga Medan, Sumatera Utara. Beragam suku, etnis, profesi dan agama tampak membaur seakan mewakili keragaman Kota Medan secara umum. Dan pagi itu saya merasakan sendiri keberagaman yang telah ditulis banyak orang.
Tampak sudah hafal, pelayan sudah langsung menyuguhkan kopi. Kemudian, hampir bersamaan, tampak seorang PNS perempuan dengan logat khas Sumatera Utara dan pria berwajah India masuk dan menyapa sang polisi dan keluarga tionghoa yang sedang menikmati sarapan. Si Ibu PNS duduk di kursi pelanggan, dan si pria menuju lapak martabaknya yang berada di sudut kedai.
Kembali saya merasakan sebagai orang asing. Bedanya, di depan saya sudah ada secangkir kopi hitam lengkap dengan satu ampul susu kental manis. Roti bakar isi coklat satu tangkep serta telor setengah matang.Â
Konon, inilah hidangan legendaris di Kedai Apek. Perlahan saya mencampur susu ke dalam kopi, mengaduknya perlahan sembari menghirup aromanya, dan meneguk perlahan dengan punggung menyender santai pada kursi.Â
Detik menuju menit, saya mulai merasakan kehangatan di kedai tersebut. Tidak ada lagi perasaan terasing yang saya rasakan, walau saya tidak menjalin komunikasi.
Mungkin inilah kekuatan sebuah sejarah dan tradisi. Sedari awal, Apek (sebutan bagi orang tua pria Tionghoa), setia menjadikan kedainya sebagai rumah keberagaman. Dia menerima semua orang dari berbagai latar belakang.Â
Kedainya terbuka, sampai-sampai tidak ada nama untuk kedainya. Tidak heran, walaupun terkenal tapi waktu saya tanya pada tukang parkir di mana Kedai Apek berada, orang tersebut tidak tahu. Padahal jaraknya hanya 20 meter dari tempat saya bertanya.
Apa yang menyatukan keberagaman tersebut? Tentu, yang menyatukan mereka adalah tradisi minum kopi di warung kopi. Ikatan mereka semakin kuat karena racikan kopi Sang Apek enak dan pas.
Berdasarkan catatan arsip Universitas Sumatera Utara, Kedai Kopi Apek yang berada di Jl. Hindu Medan itu didirikan oleh seorang Apek yang bernama Thaia Tjo Lie (meninggal tahun 2012) bersama istrinya Lee King Lien yang juga sudah meninggal. Saat ini yang meneruskan usaha kedai adalah Suyanti, cucu atau generasi ketiga.