Dok Pribadi
Bagi mereka yang berkantong tebal mungkin tidak perlu berpikir lama untuk mengganti kendaraannya. Alasannya pun bisa hanya sepele, misalnya bosan! Tapi bagi saya, mengganti kendaraan adalah masalah besar. Sekalipun uang untuk membeli motor baru sudah tersedia secara tunai.
Salah satu kecemasan saya yang berkantong tipis adalah salah dalam mengambil keputusan. Saya dihadapkan pada banyak merek jenis sepeda motor. Kalau sudah menetapkan jenisnya, ternyata ada beberapa merek untuk jenis tersebut. Semua informasi coba digali, supaya motor yang dipilih tepat. Sekali salah pilih, uang melayang. Tidak ada kesempatan kedua dalam jangka pendek untuk mendapatkan motor idaman lain.
Informasi pertama yang saya kumpulkan justru di luar motor itu sendiri. Sebagai seorang penulis yang banyak menulis soal transportasi, saya tidak bisa mengabaikan data bahwa tingkat kecelakaan sepeda motor cukup tinggi. Saya tidak menggunakan data Indonesia, tetapi sengaja menggunakan cermin dunia.
Pada laporan yang tertuang dalam Global Status Report On Road Safety 2015, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Dr Margaret Chan mengatakan bahwa ada sekitar 1,25 juta orang di dunia meninggal akibat kecelakaan lalu lintas setiap tahun. Dari jumlah tersebut, 23 persen (287.500 jiwa) di antaranya meninggal karena kecelakaan yang melibatkan sepeda motor, entah roda dua atau roda tiga. Prosentase ini menjadi yang tertinggi dibandingkan dengan penyebab lainnya. Namun khusus untuk kawasan Asia Tenggara dan kawasan Pasifik Barat, kecelakaan motor menempati urutan ketiga dari total kecelakaan lalu lintas.
Menurut Chan, ada banyak penyebab yang mendorong tingkat kecelakaan di jalan raya masih tinggi. Salah satunya adalah kurangnya tingkat kesadaran berlalu lintas dari pengendara kendaraan bermotor. Khususnya dalam hal ini adalah pengendara sepeda motor. Untuk itu diperlukan perangkat regulasi yang mengatur para pengendara sepeda motor supaya tidak meningkatkan statistik kecelakaan.
Pemerintah Indonesia sadar betul arti penting pembuatan aturan serta bagaimana menegakkannya secara tegas. Sekitar 7 tahun lalu, kita telah memiliki Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan. Di sana ada poin penting yang dibahas untuk mencegah terjadinya kecelakaan, yakni membatasi kecepatan kendaraan berdasarkan kelas jalan.
Kementerian Perhubungan memberikan turunannya dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 111 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Batas Kecepatan. Peraturan tersebut merupakan implementasi dari Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2013 Tentang Program Dekade Aksi Keselamatan Jalan, yang termasuk dalam Pilar Kedua, yaitu Jalan yang Berkeselamatan.
Penetapan batas kecepatan ditetapkan secara nasional dan dinyatakan dengan rambu lalu lintas, yaitu, paling rendah 60 (enam puluh) kilometer per jam dalam kondisi arus bebas dan paling tinggi 100 (seratus) kilometer per jam untuk jalan bebas hambatan, paling tinggi 80 (delapan puluh) kilometer per jam untuk jalan antar kota, paling tinggi 50 (lima puluh) kilometer per jam untuk kawasan perkotaan; dan paling tinggi 30 (tiga puluh) kilometer per jam untuk kawasan pemukiman. Bagi yang melanggar ada sanksi yang menanti. Hukuman kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
Berpegang dari data di atas, kesimpulannya buat apa beli motor yang mengandalkan kecepatan semata. Apalagi saya akan banyak menggunakan sepeda motor di Jakarta yang memiliki lalu lintas yang padat, di beberapa tempat ada banyak pengerjaan proyek pembangunan yang menyisakan jalan berlobang atau bergelombang, dan aktivitas penduduk yang tidak sedikit memakan badan jalan. Jika dalam situasi seperti ini tetap menggeber motor, tetap nekad melewati ambang batas kecepatan, maka tidak heran terjadi kecelakaan.