Di sebuah desa yang damai, ada seorang bocah bernama Raka. Setiap sore, ia selalu berlari ke sawah bersama sahabatnya, Rani, untuk bermain layang-layang. Layang-layang mereka terbuat dari kertas bekas yang mereka lukis sendiri. Warna-warni cerah menghiasi layang-layang itu, seperti keceriaan yang selalu mereka bawa ke mana-mana.
“Raka, lihat layang-layangku! Terbang tinggi, ya?”
teriak Rani dengan mata berbinar. Raka tersenyum lebar,
“Iya, Rani! Layang-layangmu cantik sekali.”
Mereka tertawa bersama saat angin membawa layang-layang mereka menari di langit.
Namun, musim kemarau membawa kabar buruk. Sawah mulai kering, dan orang tua mereka sibuk mencari air untuk sawah yang kekeringan. Raka melihat ayahnya bekerja keras setiap hari, wajahnya penuh keringat.
“Raka, kita harus kuat,”
kata ayahnya suatu sore, sambil menatap sawah yang mulai retak. Raka mengangguk, tetapi hatinya terasa berat.
Sore itu, Rani tidak datang ke sawah. Raka merasa kesepian, bermain layang-layang sendirian. Saat layang-layangnya terbang tinggi, ia berdoa dalam hati, memohon hujan agar desa mereka kembali hijau. Tiba-tiba, ia mendengar suara Rani dari kejauhan. Rani berlari mendekatinya, wajahnya berseri.
“Raka, lihat ini!”
Ia menunjukkan sebuah ember kecil berisi air yang ia dapatkan dari sungai yang jauh.