Mohon tunggu...
Ali Mustahib Elyas
Ali Mustahib Elyas Mohon Tunggu... Guru - Bacalah atas nama Tuhanmu

freedom, togetherness, networking, collaboration, immolation

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mencegah Bullying melalui Budaya Literasi di Sekolah

20 April 2024   11:13 Diperbarui: 20 April 2024   11:19 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Dalam tulisan ini akan dibahas salah satu faktor yang sering diabaikan, yaitu rendahnya budaya literasi siswa, yang menurut saya sangat fundamental sebagai salah satu faktor pemicu semakin maraknya tindakan bullying. Permasalahan bullying yang terjadi di sekolah seolah-olah mengesampingkan pentingnya infrastruktur. Memang benar bahwa kemegahan infrastruktur sekolah tidak selalu menjamin kualitas pengajaran. Namun, banyak orangtua lebih memilih melihat kemegahan infrastruktur sebagai indikator kualitas lembaga pendidikan karena hal tersebut lebih terlihat nyata. Mereka juga seringkali menganggap biaya mahal sebagai jaminan kualitas, dengan anggapan bahwa "harga tidak akan berbohong" atau "ada harga ada rupa". Namun, kenyataannya bullying juga sering terjadi di lembaga pendidikan dengan infrastruktur yang sederhana atau bahkan minim. Oleh karena itu, tidak bisa kita jadikan alasan bahwa lembaga dengan fasilitas mewah tidak akan terjadi bullying, apalagi di lembaga dengan fasilitas yang kurang memadai.

            Kita harus menyadari bahwa potensi bullying atau kekerasan bisa terjadi di lingkungan manapun, oleh karena itu penting untuk menciptakan ekosistem yang baik. Siswa seringkali kesulitan untuk menemukan teladan di lingkungan sekitarnya. Ibu adalah sekolah pertama (al-ummu madrasatul-ula) bagi anak-anaknya, dan jika ibu dapat mempersiapkannya dengan baik, maka generasi yang akan datang pun akan terdidik dengan baik pula. Namun, peran ibu sebagai madrasah atau sekolah bagi anak-anaknya seringkali terabaikan.. Mayoritas orangtua mempercayakan pendidikan anak-anak mereka sepenuhnya kepada sekolah, entah karena tidak mampu, tidak peduli, atau karena kesibukan sehingga menitipkan anak-anak di sekolah menjadi pilihan yang praktis dan pragmatis, terutama sekali di sekolah-sekolah berasrama (boarding school atau pesantren)..

            Tantangan selanjutnya adalah bagaimana mengisi ruang imajinasi anak didik dengan narasi tentang pahlawan yang dekat dengan diri mereka sendiri, seperti ibu, ayah, guru, dan pahlawan nasional dari bangsa sendiri.

            Belakangan ini, penelitian mengenai hubungan antara budaya literasi dengan tindakan kekerasan semakin banyak dilakukan. Semakin tinggi budaya literasi di masyarakat, semakin rendah tindakan kekerasan dalam masyarakat tersebut, dan sebaliknya. Contohnya, penelitian di sekolah dasar menunjukkan bahwa siswa yang gemar membaca cenderung tidak melakukan bullying. Film "Freedom Writers" mengisahkan keberhasilan seorang guru dalam mengelola kelas yang sulit menjadi kelas yang penuh toleransi, solidaritas, dan prestasi hanya dengan menggunakan kisah dan buku sebagai senjata.

            Kisah nyata yang juga telah difilmkan yaitu kisah Malcolm X, yang dulunya seorang berandalan putus sekolah namun berhasil menjadi cendekiawan dan politisi karena kegemarannya membaca, juga menjadi contoh nyata betapa pentingnya budaya literasi. Sebaliknya, orang yang kurang membaca cenderung memiliki perilaku agresif dan cenderung melakukan kekerasan sebagai respons terhadap tantangan. Budaya literasi dapat menjadi indikator perilaku seseorang. Dari pengamatan kami sebagai fasilitator gerakan literasi sekolah (GLS), siswa yang terlibat dalam gerakan literasi sekolah cenderung memiliki perilaku yang santun dan positif. Gaya bicara mereka teratur dan pilihan kata-katanya juga baik dan tepat. Dalam kasus ini kita seringkali melihat  ada beberapa murid MTs/SMP yang memiliki pengetahuan lebih dewasa dari usia mereka. Dapat diduga hal karena kegemarannya membaca buku atau setidaknya mereka terbiasa mencerna pembicaraan orang dewasa secara penuh perhatian.

            Namun, sayangnya, mayoritas siswa di Indonesia tidak terbiasa dengan hal tersebut dan belum mampu menganalisis informasi dengan baik. Fenomena hoax yang marak belakangan ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih kesulitan membedakan informasi yang benar dan palsu, sehingga mudah tertipu. Membangun budaya literasi di lembaga pendidikan adalah solusi tepat untuk mengeliminasi perilaku bullying. Gerakan literasi sekolah yang didorong oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah tepat, namun perlu revitalisasi dan pengembangan berkelanjutan agar tetap relevan dan tidak tertinggal oleh kemajuan teknologi informasi.

            Namun, penting untuk diingat bahwa kemahiran literasi bukanlah jaminan untuk mengatasi bullying. Literasi hanyalah alat untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan. Di tangan orang yang tidak bermoral, kemahiran literasi justru dapat digunakan untuk melakukan kekerasan. Oleh karena itu, isi dari bacaan juga harus diperhatikan, agar pesan moral dan nilai-nilai yang baik dapat tersampaikan dengan jelas. Perpustakaan sekolah, yang seringkali terpinggirkan, seharusnya menjadi pusat gerakan literasi sekolah. Perpustakaan dapat menjadi "jantung sekolah" yang menjaga relevansi dan menjadi benteng moral untuk mencegah terjadinya bullying di sekolah.

            Dengan mengutamakan budaya literasi dan pengembangan perpustakaan sekolah, diharapkan dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, santun, dan penuh toleransi. Selain itu, memperkuat nilai-nilai moral dan keagamaan dalam kegiatan literasi juga dapat memberikan landasan yang kuat untuk mencegah perilaku kekerasan. Melalui pendekatan ini, diharapkan kita dapat membentuk generasi yang berakhlak mulia dan menghormati sesama sehingga bullying dapat dieliminasi dari lingkungan pendidikan kita.

Pembentukan budaya literasi di sekolah

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun