DEKRIT Presiden 5 Juli 1959 adalah tindakan revolusioner di luar hukum dan konstitusi, Karena itu keabsahan Dekrit bukan harus dilihat dari sudut staatsnoodrechts atau noodstaatsrecht seperti pendapat Prof. Djokosutono. Keabsahannya, sejauh mana Presiden mampu mempertahankan Dekrit itu. Kalau dia berhasil dan Dekrit diterima rakyat, maka Dekrit menjadi sah. Kalau Presiden berhasil pertahankan Dekrit, dia bisa dianggap sebagai "Pahlawan" penyelamat negara yang berada dalam keadaan darurat. Sebaliknya, jika Presiden gagal pertahankan Dekrit, dia bisa dituduh "Pengkhianat" dan dapat dituntut di muka pengadilan.Itu pendapat saya tentang Dekrit sebagai revolusi hukum, yang saya ucapkan dalam pengukuhan sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia dahulu. Pendapat saya menyanggah pendapat pendahulu saya, Prof. Djokosutono, yang banyak dijadikan rujukan para ahli Hukum Tata Negara (HTN) sebelumnya. Karena itu jika Presiden mau keluarkan Dekrit, dia harus menghitung betul kekuatan politik dan rakyat yang akan mendukungnya.
Sukarno berani mengeluarkan Dekrit tahun 1959 karena didukung oleh TNI seluruhnya melalui AH Nasution, yang lebih dulu sudah umumkan negara dalam status SOB. Dalam darurat perang (SOB), Nasution memberangus semua media, kecuali RRI. Pertemuan-pertemuan politik dilarang tentara. Jam malam diberlakukan.
Di DPR dan Konstiituante, PNI, PKI serta beberapa partai lain mendukung rencana Dekrit. Kekuatan mereka kira-kira 52 persen. Yang menentang rencana Dekrit ialah Masyumi, NU dan PSII dengan kekuatan di Parlemen dan Konstituante sekitar 48 persen. Dalam kondisi seperti di atas, ditambah pengaruh pribadinya yang luar biasa, Sukarno berhasil pertahankan Dekrit. Maka tindakan revolusi hukumnya sah.
Saya terangkan hal-hal seperti di atas dalam Sidang Kabinet ketika Presiden Gus Dur mau mengeluarkan Dekrit membubarkan DPR/MPR. Saya berpendapat Gus Dur tidak mendapat dukungan TNI, Polisi, Politisi dan rakyat untuk keluarkan Dekrit, sehingga revolusi hukumnya akan gagal. Presiden Gus Dur marah dengan pendapat saya. Megawati hanya senyum. SBY, Widodo AS dan Agum Gumelar setuju pendapat saya, tapi mereka tidak mau kritik Gus Dur. Gus Dur menyuruh saya keluar sidang kabinet. Saya pun keluar. Besoknya saya dipecat dari Menteri Kehakiman dan HAM.
Sekarang kalau terjadi krisis konstitusional, sekiranya KPU gagal laksanakan pemilu, bisakah SBY keluarkan Dekrit untuk perpanjang masa jabatannya?
Saya tak ingin menjawab pertanyaan di atas, saya hanya ingin mengatakan bahwa kalau itu terjadi, negara ini benar-benar berada dalam dilema. Atau, mari kita dengar pendapat capres-capres 2014, bagaimana mereka mencari solusi keadaan yang sulit tersebut.
Wassalam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H