Mohon tunggu...
Yusran Darmawan
Yusran Darmawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Tinggal di Pulau Buton. Belajar di Unhas, UI, dan Ohio University. Blog: www.timur-angin.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Saat Wayang Bali Terbang Hingga Ohio

12 November 2012   02:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:36 783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_222739" align="aligncenter" width="576" caption="Dr William Condee saat mendalang di Athens, Ohio"][/caption]

JIKA di Bali, pagelaran wayang dilangsungkan dalam bahasa Bali, maka di Amerika Serikat (AS), saya menyaksikan pagelaran wayang Bali yang dipentaskan dalam bahasa Inggris. Suasananya sangat menarik, menghibur, serta penuh dengan makna. Dalangnya adalah pengajar teater yang pernah menimba ilmu di Bali. Ia paham filosofi wayang Bali serta memahami makna kisah-kisah pewayangan. Dalang itu adalah Prof William Condee.

Seminggu silam, saya menyaksikan pagelaran wayang kulit di Alden Library, kampus Ohio University at Athens, di negara bagian Ohio, Amerika Serikat (AS). Di situlah pertama kali saya menyaksikan William Condee, seorang bule asli Amerika yang amat fasih menjelaskan wayang Bali dengan segala kisah dan filosofinya. Menariknya, sebelum mulai mendalang, ia bercerita tentang filosofi serta mengapa dirinya tertarik dengan wayang Bali.

Hari itu, saya menyaksikan Condee mempresentasikan wayang dengan mengenakan batik serta sarung khas Bali. Ia juga menampilkan layar untuk pagelaran wayang yang telah dimodifikasinya sendiri. Ia mengatakan bahwa di Bali, wayang ditancapkan di batang pisang, sebab memiliki karakter self healing atau penyembuhan sendiri. Usai ditancap lalu dicabut, batang pisang itu akan menutup kembali. Dikarenakan tak ada batang pisang di Ohio, maka ia menggantinya dengan styrofoam.

Acara ini disaksikan oleh puluhan mahasiswa dan pengajar di Ohio University. Di kampus ini, terdapat program kajian Asia Tenggara, yang sukses menelurkan beberapa peneliti yang kemudian mewarnai kancah kajian tentang Asia Tenggara, termasuk Condee.

Melihat dirinya menjelaskan wayang, saya seolah melihat seorang maestro kesenian Bali yang menjadikan seni sebagai darah yang mengalir di tubuhnya. Cara bertuturnya amat halus, seolah telah lama berguru di satu padepokan, dan kemudian turun gunung untuk berbagi pengetahuan. Sebagai professor yang bertahun-tahun mengajar teater, ia memahami dengan amat baik tentang berbagai jenis teater kontemporer di berbagai negara. Namun uniknya, ia justru jatuh cinta pada pagelaran wayang kulit di Bali.

"Sebelum ke Bali, saya mengajar teater di Amerika selama lebih 15 tahun. Namun saat ke Bali dan melihat wayang kulit, saya baru sadar kalau ternyata saya belum paham teater. Semua yang saya lihat di Bali telah meruntuhkan semua konsep yang saya ketahui tentang dunia pertunjukan. Saya akhirnya belajar ulang tentang seni bertutur dan bercerita. Luar biasa!" katanya saat berdiskusi.

William Condee mendapatkan gelar doctor pada Columbia University, salah satu universitas bergengsi Amerika. Ia dikenal sebagai penulis buku Theatrical Space: A guide for Directors and Designers (Scarecrow Press, 1995), serta buku Coal and Culture: The Opera House in Appalachia (Ohio University Press). Ia juga seorang penulis jurnal yang sangat produktif, serta telah mempresentasikan paper di banyak negara. Sebagai dosen, ia pernah mengajar di Leipzig (Jerman), Inggris, hingga beberapa kampus di Amerika.

[caption id="attachment_222741" align="aligncenter" width="576" caption="asisten William Condee membantu di belakang"]

1352686943288116742
1352686943288116742
[/caption] [caption id="attachment_222742" align="aligncenter" width="576" caption="gambar di layar"]
13526869991602203980
13526869991602203980
[/caption]

Bagi saya, bagian paling menarik adalah pengetahuannya tentang wayang kulit yang dibenturkannya dnegan pengetahuan tentang teater ala barat. Kata Condee, ia belajar teater ala barat, di mana pertunjukkannya selalu dalam satu gedung. Pertunjukan teater ala barat selalu konvensional dan menjemukan. Penonton selalu melihat ke satu titik yakni panggung. Penonton duduk sambil melihat apa yang terjadi di panggung. Mereka pasif sebab 'dipaksa' untuk menyaksikan pertunjukan, meskipun mereka tak terlalu tertarik.

"Tapi di Bali, pertunjukan wayang memiliki makna religi dan makna sosial. Pertunjukan itu selalu diawali sesajen atau persembahan, serta menjadi medium yang menguatkan komunitas. Semua orang datang dan duduk di situ. Mereka tak harus menonton. Ada yang sambil tidur-tiduran. Ada yang sambil ngobrol atau bercanda. Orang bisa memilih nonton pada bagian mana. Atau cuma duduk-duduk sambil merokok, dan sesekali minum tuak. Di Bali, para penonton adalah subyek yang bisa menyaksikan atau tidak," lanjut Condee.

Posisi penonton itu tidak penting, sebab yang jauh lebih penting adalah para arwah yang sedang menyaksikan pertunjukan. "Pada titik tertentu, manusia jadi tidak penting. Arwah (spirit) yang jauh lebih penting," katanya.

Dunia Bali, sebagaimana dikatakan Condee, bukan hanya dunia fisik atau dunia tengah. Namun juga dunia atas dan dunia bawah. Dunia atas adalah wilayah para dewa. Sedang dunia bawah adalah wilayah para demon atau setan. Keseimbangan dunia itu selalu dijaga dan dipertahankan orang Bali sehingga terciptalah harmoni.

Demi menjaga keseimbangan itu, posisi dalang menjadi sangat penting. Posisi dalang adalah sebagai sutradara, penulis skenario, penata cerita, hingga aktor. Dalang memainkan banyak posisi dan tidak hanya bercerita. Ia menjadi maestro seni sekaligus tokoh spiritual, dan penutur hebat yang menghidupkan seluruh rangkaian cerita.

[caption id="attachment_222743" align="aligncenter" width="576" caption="suasana pagelaran wayang"]

1352687070359817326
1352687070359817326
[/caption] [caption id="attachment_222744" align="aligncenter" width="576" caption="beberapa penonton yang menyaksikan wayang"]
13526871261026141684
13526871261026141684
[/caption]

Indahnya Tradisi

Di ruangan itu, saya merenungi betapa indah dan kayanya tradisi bangsa kita. Seorang professor dengan reputasi internasional, rela untuk berpayah-payah ke tanah Bali demi belajar ulang tentang konsep pagelaran, serta belajar pada masyarakat lokal.

Tapi di saat bersamaan, saya juga miris saat membayangkan nasib kesenian tradisi kita di mana-mana. Demi mengejar status modern, kita sering mengabaikan kesenian tradisi, dan melihatnya sebagai warisan masa silam. Padahal, dalam setiap tradisi itu terdapat kearifan, kebijaksanaan, dan kedewasaan yang maknanya ditemukan lewat kisah-kisah dahsyat alam pewayangan yang menembus berbagai dimensi kehidupan.

Kita abai dan alpa untuk merawat tradisi sehingga kelak kita akan kehilangan pengetahuan tentang tradisi tersebut. Dan di saat bersamaan, datanglah para pelajar dari luar yang kemudian mengagumi dan menghayati tradisi kita, lalu mendalami pengetahuan itu hingga level maestro. Kelak, kitalah yang akan banyak belajar pada mereka. Saya sedih membayangkan nasib kesenian tradisi yang mulai tergerus.

Namun pengalaman melihat Condee bermain dan mengagumi wayang telah membersitkan pengetahuan bahwa kita memiliki tradisi yang sedemikian unik. Kita mestinya bangga memiliki warisan pengetahuan yang lestari hingga ribuan tahun. Di ruangan itu, Condee membangkitkan kebanggaan saya pada tanah air yang demikian kaya-raya dan penuh pusaka pengetahuan. Tantangan yang kita hadapi di masa depan adalah bagaimana membumikan pengetahuan itu sehingga kita bukan sekedar memiliki, namun melestarikan, serta mengetahui segala hal menyangkut pengetahuan tersebut. Untuk itu, kerja keras para peneliti dan pengkaji budaya mutlak diperluan untuk menjelmakan pengetahuan itu sebagai darah yang mengaliri nadi semua manusia Indonesia. Ini memang tak mudah, namun mesti dilakoni jika ingin agar kekayaan pengetahuan kita tetap lestari.

Usai pertunjukan, saya tak langsung keluar. Saat sedang memperhatikan satu karakter wayang, tiba-tiba datang seorang mahasiswi cantik berambut pirang. Ia lalu bertanya, "Hai, apa kamu dari Indonesia? Apa kamu tahu sedikit tentang beberapa kisah wayang?" Saya mengangguk. Ia tersenyum dengan senyuman termanis, lalu berkata, "Apa kamu mau mengajari saya tentang negerimu dan juga tentang wayang?"

Athens, 11 November 2012

BACA JUGA:

Bom Makassar, Bom Kemanusiaan

Magnet Obama di Negeri Adidaya

Kisahkan Padaku tentang Cinta

Badai Sandy dan Kisah Badai-Badai Cantik

Halloween yang Membekukan Rindu

Menyerap Hikmah di kampanye Obama

Email Cantik dari Michelle Obama

Teka-Teki Cinta di the Ridges

Doraemon, Keabadian, dan Penetrasi Jepang

Perginya Seorang Gadis Jepang

Bahasa Inggris Hancur, Lulus Cumlaude di Amerika

Imam Bugis di Masjid Terbesar New York

Petualangan RA Kosasih di Tanah Amerika

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun