Mohon tunggu...
yswitopr
yswitopr Mohon Tunggu... lainnya -

....yang gelisah karena sapaan Sang Cinta dan sedang dalam perjalanan mencari Sang Cinta

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Puasa dan Lakon Bima Suci [01]

1 Agustus 2011   01:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:12 1672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_122299" align="aligncenter" width="630" caption="Raden Bima dalam pencarian jati dirinya"][/caption]

Sebelum berpanjang kata, saya jujur pada diri sendiri bahwa saya seorang non-Muslim. Meski demikian saya memberanikan diri untuk menulis artikel ini. Tentu saya sadar bahwa dengan menulis ini saya tidak hendak mencampuri urusan agama orang lain. Namun saya berusaha mencari makna sebab di dalam agama saya juga dikenal adanya puasa. Saya juga tidak ingin masuk dalam ranah aqidah.

Pada kesempatan kali ini, saya mencoba menggali makna puasa berdasarkan sebuah lakon pewayangan Bima Suci atau bisa juga disebut Dewa Ruci. Dengan menggali makna puasa berdasarkan lakon ini saya juga tidak hendak membenturkan agama dengan sebuah penghayatan tentang syirik.

Dalam kisah Bima Suci, ada dua bagian besar yang dilakonkan. Bagian pertama adalah pencarian Raden Bima untuk menemukan air suci perwitasari di hutan Tebrasara dan Gunung Reksamuka. Bagian kedua adalah pencarian air suci itu di dasar samudra. Kedua pencarian itu dibingkai dalam sebuah tujuan: mendapatkan ngelmu suci sangkan paraning dumadi. Air Perwitasari adalah inti dari kesucian [prawita = bersih, dan sari = inti].

Gambaran air perwitasari sebagai inti dari kesucian menurut saya merupakan inti atau hakekat dari berpuasa. Puasa bukan sekedar mencari ngelmu, tetapi mengatasi itu. Puasa merupakan penyucian diri sehingga semakin dekat dengan sangkan paraning dumadi, yaitu Allah sendiri. Untuk mencapai itu semua, dibutuhkan sebuah laku [tindakan]. Laku itu ditunjukkan dengan jelas dalam lakon Bima Suci.

1.Babat Alas Tebrasara

Untuk menemukan air perwitasari, pendita Druna menyuruh Bima untuk pergi ke hutan Tebrasara yang terletak di lereng gunung Reksamuka. Dalam perjalanan menuju tempat itu, ada banyak godaan yang dilalui oleh Raden Bima. Ketika berada di hutan itu, ia diserang oleh dua raksasam yaitu Rukmuka dan Rukmala. Dalam pertempuran yang hebat itu, Bima berhasil menyingkirkan dan membunuh keduanya.

Pencarian di hutan Tebrasara ini sangat sarat dengan makna. Tebrasara berasal dari kata tebra dan sara. Tebra berarti rasa prihatin, sementara sara berarti tajamnya pisau. Tebrasara merupakan sebuah lambang cita-cita untuk sampai kepada landeping cipta. Daya akal manusia harus benar-benar tajam. Ketajaman itu diraih dengan memelihara diri sendiri. Tidak mengherankan jika hutan itu digambarkan ada di gunung Reksamuka. Reksa berarti memelihara sementara muka berarti wajah.

Dalam tradisi, kegiatan berpuasa selalu diawali dengan ritus padusan. Inti dari ritus ini adalah keinginan untuk menyucikan diri, baik badan dan jiwanya, dengan membasuh diri dengan air. Kegiatan padusan memiliki makna lebih. Namun seiring berjalannya waktu, banyak orang lupa pada hakekatnya. Maka yang terjadi adalah bukan lagi usaha untuk semakin menyucikan diri, melainkan menjadi sebuah kegiatan berwisata.

[caption id="attachment_122300" align="aligncenter" width="630" caption="bertempur melawan raksasa rukmuka"][/caption]

Dalam usaha menyucikan diri untuk sampai kepada ngelmu sejati itu, ada banyak tantangan akan dihadapi. Rukmuka adalah nama raksasa yang melambangkan tantangan berupa hidup yang serba enak [kamukten]. Dalam praktek hidup sehari-hari, salah satu bentuk hidup yang serba enak adalah terpenuhinya segala kebutuhan. Misalnya makanan.

Bentuk konkret dari puasa adalah menahan lapar dan haus. Ini artinya soal makanan dan minuman. Terkait ddengan hal ini, ada dua hal yang sering kali menggelitik untuk dibicarakan. Pertama, kenaikan harga kebutuhan pokok menjelang puasa hingga Ramadhan. Tampaknya, kenaikan harga pokok ini dibarengi dengan meningkatnya nilai konsumsi di tengah masyarakat. Jika tidak percaya bisa menghitung: berapa banyak pengeluaran selama berpuasa dan dibandingkan dengan pengeluaran selama bulan-bulan sebelumnya.

Kedua, hormatilah yang berpuasa. Slogan ini sering terdengar dan menjadi alasan. Bentuk konkret dari slogan ini adalah munculnya perda atau sekedar himbuan bagi warung-warung makan untuk tutup selama berpuasa. Makan di antara keramaian dianggap sebagai sebuah “dosa”. Bahkan, ramai terdengar berita aksi sweping tempat2 hiburan seolah-olah tidak boleh ketika puasa, tetapi silahkan kalau sudah tidak puasa. Apa artinya berpuasa di tengah-tengah situasi yang telah dikondisikan. Saya yakin, nilai puasa akan berlipat ketika bisa menahan godaan yang ada di sekitar kita.

Rasa saya, hakekat puasa adalah melawan diri sendiri. Ketika ada orang yang sedang makan di dekat saya, sementara puasa. Apa yang tergambar diotal saya: doa atau makanan? Ketika terbayang makanan, ya pastilah kita jadi lapar. Lalu, saya akan marah-marah kepada orang itu: tidak menghormati orang puasa. Jika ini terjadi, masih sahihkan puasa yang saya lakukan?

Jika meminta orang yang tidak perpuasa untuk menghormati yang sedang puasa, apakah kita juga menghormati dan memberi ruang kepada yang tidak berpuasa? Apakah yang tidak berpuasa sudah tidak memiliki tempat lagi [selain di rumahnya sendiri]? Faktanya ada sekian banyak juga saudara-saudara Muslim yang belum berpuasa.

[caption id="attachment_122301" align="aligncenter" width="588" caption="raden bima melawan raksasa rukmakala"][/caption]

Tantangan berikutnya adalah raksasa bernama Rukmakala. Raksasa ini merupakan cerminan dari kemewahan yang berbentuk kekayaan material atau harta benda. Semakin maju peradaban manusia, kecenderungan untuk mengumpulkan kekayaan semakin besar. Banyak orang berlomba-lomba untuk menjadi yang terkaya. Akibatnya sikut sana sikut sini telah menjadi hal yang lumrah. Korupsi menjadi jalan termudah.

Tantangan kemewahan ini akan semakin tampak ketika banyak orang berlomba-lomba mempertontonkan apa yang mereka miliki. Perhiasan bergelantungan di sekujur tubuh. Hal ini bisa dilihat nanti pada seputaran lebaran. Banyak orang merasa bangga ketika bisa mengenakan perhiasan. Merasa wah ketika dilihat banyak orang.

Tapi, apa itu semua menjadikannya menunduk. Melihat orang lain yang kelaparan dan tidak memiliki apa-apa untuk bisa bertahan hidup. Kekayaan perlu tapi apakah kekayaan itu mendorong orang untuk solider dengan yang lain? Apakah kekayaan itu membawa orang untuk mau berbagi? Tentu cara berbagi yang wajar tanpa harus membuat yang lain malah menderita. Misalnya membagi zakat, tapi malah ada korban jiwa seperti yang pernah terjadi pada beberapa waktu silam. Berbagi tak perlu dipertontonkan. Ada sebuah slogan, jika tangan kananmu memberi, tak perlulah tangan kirimu mengetahui.

Perjalanan Raden Bima mencari air perwitasari dengan memasuki hutan Tebrasara adalah sebuah cerminan untuk semakin menunduk dan memaknai diri. Selamat Berpuasa bagi Saudara-saudari yang menjalankan.

[bersambung]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun