Berhembusnya kabar tentang pergantian para menteri sayup-sayup mulai terdengar dikalangan para analis politik negeri ini. Bisik-bisiknya ada beberapa menteri yang dicopot dan digeser oleh presiden Jokowi dalam waktu dekat ini. Jika memang ini benar adanya hal ini patut kita simak dan kritisi, jangan sampai pergantian atau pergeseran ini malah membuat pemerintahan Jokowi makin limbung dan kehilangan kompas dalam mewujudkan nawacita dan trisakti yang telah dicita-citakan sejak awal pemerintahannya.
Berkaca dari reshuffle yang lalu, bagaimana terlihat presiden Jokowi kurang cermat dalam mengganti dan merekrut para menterinya. Reshuffle yang diharapkan bisa mendongkrak kinerja pemerintahan dalam berbagai sektor malah menjadi blunder untuk dirinya sendiri. Ketidakmampuan para menterinya untuk menyerap dan memahami keinginan sang presiden terhadap program-program dan kebijakan negara makin menggerus kewibawaan pemerintah, terutama figur sang presiden sendiri, Joko Widodo. Berbagai kebijakan para menteri melalui program-programnya cenderung makin melebarkan jarak antara sang presiden dan rakyatnya. Nawacita dan trisakti tak ubah hanyalah sebuah jargon atau tagline branding presiden Jokowi saja, bukan sebuah harapan atau tujuan sebuah bangsa untuk menjadi maju dan mandiri. Hal ini terjadi dikarenakan beberapa menterinya yang tidak paham akan arti nawacita dan trisakti yang sesungguhnya.
Beberapa menteri yang terlihat gagap dalam mengimplementasikan tugas dari presiden salah satunya adalah Sri Mulyani, menteri keuangan saat ini. Semenjak menjabat sebagai menkeu, Sri Mulyani sampai saat ini belum menunjukan prestasi yang mumpuni, digadang-gadang sebagai salah satu ekonom terbaik asia, dirinya tidak memberikan kontribusi yang signifikan bagi kemajuan perekonomian indonesia sesuai label yang melekat padanya. Kebijakannya cenderung kontra produktif dan kontroversial, belum lagi berbagai pernyataannya yang sering blunder dengan keinginan sang presiden.
Rekam jejak Sri Mulyani pun banyak terdapat noda pada era pemerintahan sebelumnya. Berbagai kasus yang menghentak negeri ini dibidang ekonomi tak lepas ada peran dirinya. Mega skandal bank century yang belum selesai sampai saat ini menyeret nama Sri Mulyani hingga dirinya 'diamankan' ke luar negeri dengan alasan jabatan yang membanggakan bangsa luput dari persepsi publik. Sebagai anak emas dari IMF dan Bank Dunia, kebijakannya kental dengan aroma neolib, miskin inovasi dan hanya mengandalkan hutang dari para kreditur makin menjerat bangsa ini dalam lilitan hutang yang tak ada habisnya.
Seperti inilah tipikal seorang neolib sejati, yang hanya mementingkan asing dan para kapitalis daripada bangsanya sendiri. Entah disadari atau tidak, karakter Sri Mulyani sangat membahayakan presiden Jokowi, dengan iming-iming mudahnya mendapatkan dana berlimpah dari IMF dan Bank Dunia makin membuat sang presiden terlihat sangat bergantung terhadap sosok Sri Mulyani ini. Apalagi saat ini pemerintahan Jokowi sangat masif membangun berbagai infrastruktur besar diberbagai pelosok negeri yang sangat membutuhkan dana besar diluar APBN. Dan Sri Mulyani pun hadir memberikan solusi dana berbentuk hutang yang nantinya belum tentu sanggup dilunasi oleh generasi anak cucu negeri ini nanti. Inilah jerat yang sangat mematikan bagi presiden Jokowi terutama bangsa indonesia yang pada awalnya sangat berharap pada Jokowi untuk merubah bangsa ini menjadi lebih baik.
Situasi ini sangatlah tidak menguntungkan bagi Jokowi jika ingin dirinya melaju lagi untuk dua periode memimpin bangsa ini. Berkaca pada kasus Ahok, bagaimana presiden Jokowi menjadi sasaran empuk bagi lawan-lawan politiknya karena dianggap melindungi Ahok dari berbagai kasus yang menimpanya. Ketidaktegasan Jokowi dalam membaca arah angin politik negeri ini dimanfaatkan para sengkuni dilingkar inti istana, sehingga kasus Ahok ini sangatlah menguras energi bangsa hingga membuat pemerintahan Jokowi cenderung jalan ditempat. Ketidakjelasan berbagai kebijakan pemerintah dan cenderung melukai rakyat makin menggerus popularitas presiden Jokowi dimata rakyat. Dan tanpa disadari, inilah salah satu bentuk pengkhianatan gaya baru yang cenderung senyap yang akan membuat popularitas Jokowi akan anjlok dalam 2019 nanti.
Melihat gejala seperti ini, seharusnya presiden Jokowi diharapkan lebih bijak dan cermat dalam mengganti atau menggeser para menterinya jika nanti benar adanya reshuffle kedepan. Pertaruhan besar akan dihadapi presiden Jokowi untuk membawa bangsa ini menjadi lebih baik. Jangan sampai kisah mahabarata terulang dalam drama politik negeri ini, dimana pandawa dengan Yudhistiranya terusir dari istana oleh kurawa duryodana akibat pertaruhan main dadu. Berharap kemenangan besar dengan harta dan tahta yang menyilaukan, namun terpedaya oleh permainan licik yang sudah disetting para sengkuni serta kurawa duryodana hingga yudhistira dan pandawa terusir dari istana dan pergi tanpa hasil apapun.
Sekilas kisah tersebut bisa menjadi acuan bagi presiden Jokowi untuk lebih cermat dalan mengganti atau menggeser para menterinya. Jangan sampai dirinya terusir dari istana merdeka pada 2019 nanti. Jangan biarkan para pengkhianat bangsa ini duduk manis dalan kabinetnya nanti, bersihkan para sengkuni dari lingkar istana. Karena pertaruhannya adalah nasib bangsa ini, nasib 250 juta lebih rakyat indonesia, nasib para anak bangsa yang merindukan bangsa ini besar sesuai pesan para founding father kita. Jangan berikan bangsa ini kepada agen-agen neolib dan para kapitalis pemeras rakyat. Bangsa ini sudah terlalu lama dalam cengkraman mereka. Sudah terlalu dalam luka bangsa ini tergores oleh perilaku mereka. Jangan biarkan bangsa besar ini tunduk dan rakyatnya menjadi kacung dinegerinya sendiri.
Bijaklah wahai sang presiden, berikanlah yang terbaik untuk negeri dan rakyatmu ...
Wassalam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H