Mohon tunggu...
M Rosit
M Rosit Mohon Tunggu... -

Personally, I am an dreamer, loving reading and writing, learning how to play guitar, beautiful landscape lover, loving life freely, an ultimate Muslim.\r\n\r\n \r\nI graduated from State Islamic University (S1) and Post Graduated (S2) University of Indonesia.\r\n\r\n\r\nRosit adalah Dosen FIKOM Univ Mercu Buana, Univ Pancasila dan Univ Al Azhar Indonesia\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik

Wayang dan Propaganda Politik

20 Juni 2011   12:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:20 765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Wayang merupakan sebuah budaya lokal yang sangat erat dengan sistem masyarakat. Ini artinya seni tersebut lahir dan berkembang di tengah masyarakat yang dilingkupi berbagai macam sistem sosialnya. Wayang tidak hanya sebagai media hiburan rakyat, akan tetapi wayang juga berfungsi sebagai media propaganda politik. Hal itu disebabkan bahwa wayang tidak bisa dipisahkan dengan sistem kekuasaan.

Pada masa para wali songo atau zaman kerajaan Islam, wayang digunakan sebagai media dakwah oleh para penyebar agama Islam, salah satunya Sunan Kalijaga memanfaatkan seni wayang untuk menarik masyarakat agar berbondong-bondong masuk Islam. Karena memang pada masa itu wayang menjadi media yang komunikatif untuk mempercepat dakwah Islam khususnya pada masyarakat Jawa. Namun, bagaimana ketika wayang digunakan sebagai propaganda politik penguasa maupun orang-orang yang memiliki kepentingan kekuasaan?. Mengingat cerita wayang baik yang berasal dari kisah Ramayana maupun Mahabarata selalu menampilkan para kesatria pilih tanding. Nah, saya kira cerita wayang yang sebenarnya cenderung elitis ini begitu relevan ketika wayang dijadikan sebagai media propaganda politik oleh segelintir kelompok elit di negeri ini.

Pada era Orde Baru, Soeharto menggunakan jasa para dalang untuk tujuan propaganda pemerintah. Hal ini dapat kita ketahui sejak Repelita 1, dimana pertunjukkan wayang telah dititipi jargon-jargon pembangunan ala Orde Baru. Intervensi pemerintah terhadap pertunjukkan wayang begitu jelas ketika menjelang pemilu 1987. Ketika itu ki Dalang Nartasabda dan Anom Suroto menjadi media propaganda politik karena telah memerankan lakon “waringin Kencana” (beringin emas) yang ditayangkan oleh satu-satunya stasiun televisi pada masa itu, TVRI. Dibalik judul tersebut tersimpan misi politik Golkar (pohon beringin) yang mengkampanyekan partainya pemerintah.

Terkait dengan itu, ada beberapa macam propaganda politik yang sering digunakan oleh pihak penguasa, pertama, Bandwagon Technique yakni Teknik ini dilakukan dengan menggembor-gemborkan kesuksesan yang dicapai oleh seseorang, suatu lembaga atau suatu organisasi. Pada Era Orde Baru, pemerintah selalu mengklaim bahwa Golkar adalah partai pemerintah yang telah sukses mengantarkan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dan teknik ini juga sering digembor-gemborkan oleh pemerintahan SBY- Boediono sekarang ini, dengan mengklaim ada sebuah kenaikan ekonomi yang cukup signifikan sejak dipimpin SBY- Boediono.

Kedua, Using All Forms of Persuations, teknik yang digunakan untuk membujuk orang lain dengan rayuan, himbauan dan iming-iming. Teknik propaganda ini sering digunakan dalam kampanye Pemilu. Di Indonesia untuk mendapatkan simpati masyarakat, ada sebuah partai politik yang menjanjikan pada masyarakat untuk mengenyam pendidikan gratis jika partainya menang. Ada pula, partai politik yang menjanjikan akan mengaspal suatu jalan jika warga di daerah tersebut memenangkan partai tertentu.
Dari berbagai macam propaganda tersebut, jelas bahwa wayang adalah media sangat efektif dalam rangka mengantarkan pesan-pesan politik khususnya untuk tingkat masyarakat kalangan menengah ke bawah.

Dewasa ini, Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo juga lagi giat melakukan propaganda politik untuk mengusung pencalonannya kembali pada pemilu 2012 melalui media pertunjukkan wayang. Fauzi Bowo berkerja sama dengan ki Dalang Enthus, yakni salah satu dalang ternama yang memiliki julukan khas, ki dalang edan, menggelar pertunjukkan wayang di lima lokasi di DKI Jakarta. Tak tanggung-tanggung Fauzi Bowo pun mengalokasikan biaya 250 juta untuk setiap pertunjukkan wayang. Dalam pertunjukkannya itu ki dalang Enthus memberikan penjelasan mengenai mimpi-mimpi Fauzi Bowo kalau terpilih kembali sebagai Gubernur Jakarta. Misalnya kepada para pengusaha warteg bahwa gagasan mengenai “pajak warteg” yang sebelumnya sempat menjadi berita hangat, tidak berasal dari Fauzi Bowo, melainkan ia tidak akan membebani beban pajak kepada para pengusaha warteg, dan banyak mimpi-mimpi Fauzi Bowo dipropagandakan pada pertunjukkan wayang tersebut.

Yang lebih mengesankan lagi, pertunjukkan wayang beberapa hari lalu (malam minggu), ki dalang mengangkat judul “Dewa Ruci”, yakni bercerita mengenai lelakon kesatria pandawa, Bimasena (Werkudara) tengah mencari jati diri kesempurnaan abadi yakni dengan jalan menemukan air suci “prawitasari”, sesuai dengan dawuh guru tercintanya Prof. Dr Durno, maka kalau sudah menemukan air tersebut, Bimasena akan mencapai kesempurnaan, menonjol diantara sesama makhluk, mulia, berada dalam triloka, dan akan hidup kekal adanya. Meskipun mempertaruhkan jiwanya, dengan niat dan kemauan yang keras, Bimasena tidak sedikitpun memperhatikan segala akibatnya, larangan dari Anoman dan saudara-saudaranya tiada diperhatikannya, yang terpenting bagaimana mendapatkan air prawitasari yang terletak di sebuah segara (laut).

Nah, sosok kesatria Bimasena diidentikkan dengan Fauzi Bowo yang memiliki kemaun keras untuk menjadikan DKI Jakarta menjadi lebih baik, bebas banjir, pendidikan gratis dan janji-janji lainnya. Di tengah pertunjukkan wayang pun Fauzi Bowo sempat berceramah di depan ribuan penonton akan pentingnya menjaga kearifan lokal di negeri ini.

Ada beberapa faktor mengapa wayang dijadikan sebagai media propaganda politik yang efektif. Pertama, wayang merupakan teater rakyat, yakni para penonton khususnya kalangan menengah ke bawah merasa terhibur dengan pertunjukkan wayang. Kedua, pertunjukkan wayang banyak menyedot dari kalangan menengah ke bawah yang tentu saja sebagai basis pemilih yang sangat berpotensi pada pemilu mendatang. Ketiga, pertunjukkan wayang menampilkan para kesatria pilih tanding yang menjadi kebanggaan para penonton, sangat mungkin kandidat mengidentikkan dengan kesatria dalam pertunjukkan wayang tersebut. Keempat, wayang buat rakyat tidak hanya sebagai tontonan tetapi juga sebagai tuntunan rakyat dalam bertingkah laku.

Nah, intervensi terhadap pertunjukkan wayang memang sudah sejak lama seiring kesadaran seni rakyat yang menjadi media praktis. Namun, intervensi penguasa terhadap pertunjukkan wayang tentu saja memenjara kreatifitas dalang yang semestinya menjaga dan menjadikan wayang sebagai tontonan dan tuntunan. Wayang semestinya menjadi media kritis terhadap ketidakadilan yang terjadi di sekeliling kita. Banyak suri tauladan kebenaran dan keburukan yang patut dijadikan cermin masyarakat yang masih mencintai kearifan lokal khususnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun